Chereads / Jangan Kembali / Chapter 13 - Pria Tua Yang Menakutkan

Chapter 13 - Pria Tua Yang Menakutkan

"Hei! Kamu mau kemana?" tanya Ayah kepada Sesilia. Ia terlihat cemas, terlebih melihat keadaan fisik Sesilia saat ini. Namun, Sesilia enggan menjawab. Ia hanya terus berlari kencang meninggalkan rumah. Tubuhnya terasa lemas dengan napas yang lebih cepat sesak. Sesaat ia berhenti untuk mengatur peredaran oksigen yang masuk. Merunduk dengan tangan memegang dinding, Sesilia menunjukkan wajah pucat.

"Aku tidak boleh membiarkan Ruri menghadapi ini sendiri. Tapi aku bingung harus mencarinya kemana?" gumamnya yang terus menatap kesekitaran.

"Rumah sakit, apa dia kembali ke sana? Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Ayolah Sesilia, jalankan neutronmu. Cobalah menerka kemana dia mungkin pergi?"

Sesilia masih saja memaksakan pergi. Kakinya melangkah dan kian lama semakin lambat hingga kembali berhenti. Memandang ke arah jalan raya yang begitu ramai. Sesilia masih saja mencoba menebak di mana Ruri saat ini.

"Ayolah ... Ruri hanya pria cemen. Otaknya juga tidak secerdas diriku. Aku yakin dia tidak pergi terlalu jauh dan tidak kemana-mana pula," ungkap Sesilia yang kini kembali melangkah tegap menuju suatu tempat. Matanya terlihat tajam seakan hendak menerkam. Kedua tangan mengepal dengan mulut yang terkatup rapat. Ia benar-benar kesal saat ini.

***

Mencoba mengigat alamat pria tua, Sesilia terus memasuki lorong kecil. Namun, sudah beberapa lorong ia masuki dan tak berujung rumah reot perkumuhan.

"Ayolah Sesilia! Kau gadis yang cerdas. Pejamkan matamu dan cobalah mengingat jalannya," gumam Sesilia sembari berdiri dengan mata terpejam. Namun, kejadian ini cukup memalukan. Karena ia melakukannya di keramaian. Hingga tak sedikit dari mereka yang melemparkan koin ke arahnya menyangka ia seorang gadis buta.

"Apa?" jeritnya melihat beberapa koin berada di kakinya. "Tapi ini tidak buruk, setidaknya bisa membeli sebuah roti untuk menambah tenagaku.

Berjalan menuju toko dan menikmati sebungkus roti, berhasil memancing kembali ingatannya. Kini ia tahu jalan apa yang harus ia lewati.

Terus mengunyah dan berjalan, Sesilia kini tiba di rumah pria tua. Rumah itu terkunci, namun bukan hal yang sulit bagi dirinya untuk masuk. Terlebih atapnya yang bolong. Cukup memanjat dan Sesilia pun berhasil masuk.

"Sebungkus roti cukup ampuh membantuku memanjat," ungkapnya dengan senyum terkembang.

Tak ada seorang pun di sana. Namun, ia tidak menyia-nyiakan keadaan yang ada. Sesilia mengitari rumah dan mencari benda yang mungkin menjadi petunjuk untuknya.

Lemari tua yang terganjal, ranjang kayu dengan busa tipis, semua barang yang ada di sini terlihat seperti rongsokan. Lelah dan kesal, Sesilia mulai jerah dan memutuskan untuk menyerah. Tetapi saat ia hendak duduk di salah satu kotak, "Brak!"

Kotak itu retak hingga membuat tubuh Sesilia terjatuh. Dengan penuh berang Sesilia mengutuk, "Sialan! Rumah ini petaka!" teriaknya lantang. Namun, matanya menangkap sebuah map cokelat. Map berisi berkas tentang data diri seseorang. Seorang pria yang terlihat tak asing.

"I, ini wajah pria tua itu!" ungkapnya dengan semangat. Sesilia memutuskan untuk membawa pulang semua berkas yang ada untuk dipelajari.

***

Ruri berjalan menuju rumah sakit. Ia mengikuti pria tua yang tanpa sengaja ia temui di tengah jalan. Berjalan mengendap-endap, Ruri terus bersembunyi di balik pohon untuk memantau pergerakan pria tua. Entah mengapa ia merasa yakin ada sesuatu yang tak asing dari pria itu. Pria tua yang sampai saat ini belum mereka ketahui namanya.

Seperti biasanya, pria tua itu menyapu halaman rumah sakit, membakar sampah dan membuang sampah pada penampungan. Tak lupa ia mengutip barang bekas yang ia temui di sana, lalu membawa pulang dan dijual untuk kebutuhannya.

Ruri terus mengikuti, bahkan hingga sore hari. Ia begitu semangat hingga tidak menunjukkan rasa lelah. Padahal sudah seharian ia mengikuti pria tua tanpa memasukan makanan sedikit pun ke dalam mulutnya.

"Masuklah! Apa kau tidak lapar?" teriak pria tua yang ternyata menyadari keberadaan Ruri di luar dinding rumahnya.

Ruri masih saja diam dan menyangkal bahwa dirinya yang disapa. Hingga panggilan kedua dilayangkan.

"Pemuda amnesia, masuklah! Apa kau tidak lelah mengikutiku seharian tanpa makan?" tanyanya.

Kini Ruri melangkah masuk dengan wajah merunduk. Tangannya terus menggaruk karena malu.

"Makanlan!" ujar pria tua sambil menyodorkan sepiring indomie kuah panas.

Ruri menolak dengan senyuman, namun segera mengambil piringnya setelah perutnya berbunyi, "krucuk!"

"Apa tujuanmu mengikutiku? Bukankah kita sudah saling mengenal?"

"Ah, aku hanya ...."

"Aku tahu, ada banyak pertanyaan yang ingin kau layangkan padaku. Tapi maaf ... aku tidak yakin bisa menjawab karena aku sudah menceritakan semua yang aku ketahui. Tanpa tertinggal sedikitpun," jelasnya dengan wajah penuh keyakinan.

"Maafkan aku."

"Apa kau berencana menginap?"

Ruri terdiam. Saat ini ia tidak memiliki tempat tinggal. Hanya rumah Sesilia yang ia ketahui, itupun ia masih merasa tidak yakin untuk kembali ke sana.

"Tinggallah di sini. Tidak ada yang marah. Justru aku merasa bahagia memiliki teman cerita."

Ruri dengan setulus hati meraih dua piring kotor dan berniat mencucinya. Namun, betapa kagetnya ia melihat kamar mandi yang kering tanpa air.

"Hahahah, jika kau mau mencucinya pergilah ke sumur di dekat hutan. Semua gembel menumpang air di sana. Tapi ... jika kau takut, kau bisa meletakkan piring itu di bawah."

Ruri menurut lalu berbalik badan mengikuti pria tua yang kini terlihat duduk santai di atas ranjang tuanya.

"Ada apa dengan kursi ini?" tanya Ruri yang seketika kaget melihat kotak kayu yang biasa mereka gunakan untuk duduk sebelumnya.

"Pasti ada seseorang yang masuk ke rumahku, biarkan saja," ungkap pria tua dengan tenang.

"Ada apa? Mengapa wajahmu seperti itu menatapku?" tanya pria tua kembali setelah melihat wajah bingung Ruri.

"Ini rumah tua dan bolong. Mungkin ada gelandangan yang singgah dan menumpang istirahat di sini. Itu tidak jadi masalah. Tidak ada barang berharga dan aku tidak perlu takut kehilangan," sambungnya yang kini mememjamkan kedua mata dengan tenang.

Pria itu tertidur dengan lelap membuat Ruri kesepian. Ia memutuskan untuk berjalan kesekitaran. Tanpa tujuan, Ruri mencoba mencari sumur yang dikatakan pria tua. Ternyata keberadaan sumur itu cukup jauh dan itu membuat banyak orang kerap mengunjungi sumur itu.

"Apa kau penduduk baru di sini?" sapa seorang gadis gembel dengan gaun yang kotor.

"Penduduk? Apa kau tidak salah bertanya? Seharusnya kau katakan, 'Apa kau gembel baru di sini?" ujar mereka dengan nada mengejek. Lalu tertawa terbahak bersama teman-temannya meninggalkan mereka berdua.

"Kau tinggal di mana? Aku di rumah kayu yang ada di tengah lorong," tegurnya ramah. Gadis itu terlihat manis dengan tubuhnya yang kecil. Namun, sikapnya begitu dewasa hingga membuat Ruri geli sendiri.

"Aku tinggal di rumah pria tua. Maksudku berkunjung ke sana."

"Apa? Jangan bilang pria tua dengan rambut penuh uban? Tinggal di ujung gang dengan rumah dan atap yang bolong?" teriaknya ketakutan. Matanya mendelik dengan wajah shok ke arah Ruri. Membuat Ruri turut bingung dengan apa yang telah gadis itu alami.