Chereads / Jangan Kembali / Chapter 23 - Penjelasan Panjang

Chapter 23 - Penjelasan Panjang

Perdebatan keduanya pun terdengar hingga keluar kamar, mengusik telinga Ayah yang lebih dulu memasuki rumah. Berjalan dengan tatapan cemas, Ayah berhasil menguping semua pembicaraan mereka.

"Sepertinya kalian membahas sesuatu yang sangat penting. Apa itu? Kenapa kalian enggak menceritakannya padaku?" tanya Ayah sambil menunjukkan wajah tenang dan senyum ramahnya.

Ruri dan Sesilia pun terdiam, saling pandang dengan tatapan menuduh.

"Jika bukan karena kebodohannya, sudah pasti aku enggak akan teriak!" gerutu Sesilia. Ketajaman matanya menatap Ruri sangat begitu dalam.

"Sial! Apa sebaiknya aku ceritakan aja semuanya?" gumam Ruri, matanya sesekali melirik ke arah Sesilia, namun meragu. Sedangkan Ayah masih saja menatap bergantian ke arah mereka menanti jawaban akan pertanyaannya.

"Baiklah, kalau kalian belum siap bicara sekarang. Tapi ingat! Jangan bertindak sebelum kalian menjelaskannya padaku!"

Ucapan tegas Ayah sontak membuat Ruri cemas. Rasanya ia ingin segera mengejar pria berkulit hitam itu, lalu mengatakan semuanya. Namun, Ruri menahan tangannya tepat saat kaki kanannya melangkah maju.

"Jangan! Apa kau yakin menyampaikan curhatan hatimu?" tanya Sesilia. Tidak hanya tajam, kini pupilnya melebar seakan hendak keluar.

"Tapi ... curhatan? Aku hanya ingin memberitahu dia akan semua informasi yang aku miliki! Apa semua ceritaku tadi kau anggap curhatan? Hah!" ucap Ruri. Kali ini nada suaranya mulai tinggi, tak disangka Ruri bisa menunjukkan wajah murka.

Sesaat nyali Sesilia pun melunak, pupilnya bergetar cemas. Seperti takut dan tak mengenali sosok pria muda yang ada di hadapannya.

"Apa kau enggak sadar? Kau terlihat seperti gadis manis yang sedang menceritakan keseharianmu. Bukannya aku enggak mengakui, hanya saja aku mau kau menceritakan kepadanya jika semuanya sudah jelas. Bukti, aku yakin Ayah akan setuju dengan tindakan kita kalau saja kita bisa menunjukkan bukti padanya. Bahkan mungkin dia, Ibu, juga Dino pun bersedia membantu jika bukti itu ada."

Penjelasan Sesilia kembali membuat Ruri tenang. Begitu bingung dan penat, Ruri memutuskan untuk duduk di atas ranjang Sesilia.

"Bisa kau ceritakan padaku apa saja yang sudah kau ketahui?"

Pertanyaan Ruri berhasil memaksa Sesilia menatap kaget ke arahnya. Cemas, Sesilia mengalihkan pandangannya berlakon seakan tak mendengar apapun.

"Bukannya kau sendiri yang bilang sudah lama menyelidiki ini semua. Aku harap, semua gambar, garis dan potongan koran ini bukan sebatas hiasan dinding!" seru Ruri. Sudut salah satu bibirnya menyungging dan ia mulai pintar memancing ucapan Sesilia.

Tetapi sepertinya cara ini belum berhasil, karena kini Sesilia masih saja mengatup rapat mulutnya meski kedua tangannya mengepal tak senang.

"Hah! Aku merasa telah salah mempercayaimu. Enggak seharusnya aku berbagi informasi kepada orang yang tidak mempercayaiku. Aku pikir kita teman, tidak, bahkan lebih dari itu. Aku pikir kita memiliki misi yang sama. Kau mencari Kakakmu dan aku mencari ingatanku. Meski aku tak yakin target kita kelompok yang sama, setidaknya harapanku hadir setelah bertemu denganmu. Tapi, kalau kau juga enggak mau berbagi kepadaku, anggap aja kita enggak pernah bertemu," jelas Ruri dengan tegas. Tanpa sedikitpun melemahkan nadanya. Ia berusaha menunjukkan sisi marahnya yang selama ini tertidur lelap. Berjalan tegap tanpa sedikitpun melirik ke arah Sesilia, Ruri pergi meninggalkan kamar kecil itu.

"Kau mau ke mana? Kami sedang menyiapkan makanan untuk kau juga," sapa ibu dengan kedua tangan memegang sayuran dan buah.

"Aku harus pergi! Ada yang ingin aku temui. Mungkin aku enggak kembali lagi," jawab Ruri mencoba tersenyum ramah seakan tak terjadi masalah.

"Apa kalian bertengkar? Jangan masukkan ke dalam hati, omongan gadis itu emang tajam. Dia enggak butuh senjata untuk membunuh orang!" ledek Dino. Wajah bayi dan tubuh kecilnya kerap mengelabui usia. Tak heran jika kata-kata seperti ini yang keluar dari mulutnya.

"Hati-hati, Nak!" seru Ayah sambil melambaikan tangan.

Ruri hanya tersenyum dan mengangguk sebelum menutup pintu rumah. Kakinya melangkah tenang dengan tatapan riang, entah mengapa ia terlihat begitu bahagia. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini. Meski sedikit meragu, namun ia kembali meyakinkan dirinya seraya berkata, "Kali ini pasti berhasil!"

Klinik kecil tempat dimana Suster Lita dirawat pun menjadi tujuannya kali ini. Ia berharap bisa mendapatkan informasi lebih dari wanita baik itu, mengingat akan percakapan Suster Lita bersama kembarannya Lili tempo hari. Ruri merasa yakin kalau mereka memiliki tujuan yang sama. Mencari keluarganya yang hilang, keluarga yang diduga tergabung pada sebuah kelompok pendiri permainan gila yang mampu menghilangkan nyawa.

Terus melangkah tenang, jarak yang dekat membuat Ruri tiba lebih cepat. Selama perjalanan, Ruri kerap mencuri pandang ke arah belakang melalui cermin yang ia temui. Jendela kaca mobil ataupun spion, seakan tengah menyadari keberadaan penguntit.

Tidak seperti kemarin, kali ini Ruri memutuskan untuk masuk melalui pintu depan. Menyapa Suster penjaga dan berjalan memasuki ruang Suster Lita. Ketukan pintu membuat Suster Lita tersadar dari lamunannya, sepertinya ia baru saja menangis, terlihat dari jarinya yang sibuk menyeka mata.

"Ruri, masuklah!" pinta Suster Lita diiringi senyuman.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ruri. Ia memilih duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang.

"Lebih baik, mungkin besok aku sudah bisa kembali bekerja. Apa kau sengaja datang untuk mengunjungiku? Sepertinya kau datang ke sini dengan berjalan kaki, wajahmu terlihat lelah," ledek Suster Lita.

"Ah ya. Aku ingin mengunjungimu, sekaligus menanyakan sesuatu." Ucapan Ruri terhenti, ia meragu dan sedikit melirik ke arah pintu, memastikan seseorang yang ia harap turut datang mengikutinya hingga ke ruangan ini.

"Bertanya? Tentang apa itu. Mungkin aku bisa membantumu."

Suster Lita merasa senang sekaligus takjub akan kedatangan Ruri. Ia sangat tidak menyangka pria muda itu rela menyisihkan waktu hanya untuk melihat keadaannya.

"Maafkan aku," ucapan Ruri terhenti sesaat. Perasaannya kian meragu setelah melihat wajah ceria Suster Lita.

"Maaf?" tanya Suster Lita. Ia sama sekali tak mengerti akan arah pembicaraan Ruri.

"Aku sempat mendengar pembicaraan kalian. Yah, antara kau dan kembaranmu Lili. Apa benar kau juga menaruh curiga dengan rumah sakit itu?"

Kaget, kedua bola mata Lita membulat. Ia tak bisa lari lagi, terlebih Ruri tahu karena mendengar langsung pembicaraan mereka. Merasa bingung, Lita terdiam cukup lama. Ia tahu Ruri tak akan tinggal diam jika ia memutuskan diam. Kemungkinan terburuk bisa terjadi, Ruri akan nekad menyelidiki sendiri dan itu pasti bisa membahayakan nyawanya.

Jauh dibalik dinding ruang suster Lita dirawat, ada seorang gadis yang mengenakan jaket serta topi dan masker menutupi wajahnya. Gadis itu duduk merunduk sambil memasang telinga. Sepertinya ia berniat menguping pembicaraan Ruri dan wanita yang dirawat di dalam sana. Dengan sangat hati-hati agar wajahnya tak dikenali, gadis itu terus merundukkan wajahnya. Beraksi seakan tengah mengantuk karena lelah menunggu seseorang.

"Aku enggak menyangka, kau tidak hanya nekad, tapi juga bodoh!" seru gadis itu dengan nada penuh kebencian.