Tak bisa berucap, gadis itu terus saja membelalakkan kedua matanya setelah mendengar semua pembicaraan mereka. Napasnya mendadak sesak dan keberadaannya nyaris ketahuan oleh Lili.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lili yang sudah berdiri tepat di depan gadis itu. "Aku yakin kau punya niat jahat di sini!"
Pernyataan Lili cukup pahit, tak ingin Ruri keluar dan mendapati dirinya, Sesilia segera berlari menjauh. Langkah seribu menjadi keunggulannya dan ini menjadi andalannya untuk kabur.
"Sialan!" murka Sesilia dengan napas yang terengah-engah. "Pembicaraan apa itu? Siapa gadis yang dirawat di dalamnya? Kenapa dia bisa bertemu dengan banyak informan? Argh ... kalau begini bisa-bisa aku yang menyesal mengabaikannya. Mau enggak mau, aku harus berbagi informasi kepadanya. Jika enggak, langkahku bisa terhenti di sini," gerutu Sesilia. Matanya terus menatap ke arah pintu pagar klinik. Ia masih menanti kepergian Ruri, berniat menjegat pemuda itu dan menanyakan banyak hal. Namun, sudah sepuluh menit berlalu Ruri tak kunjung keluar. Sesilia tahu, hanya ada satu pagar yang bisa dilewati meski memiliki tiga pintu keluar.
"Argh! Andai aja aku enggak ketahuan, aku pasti bisa mendengar lebih banyak pembicaraan mereka. Sial, sial, sial! Kenapa justru aku yang terlihat bodoh saat ini!"
Sesilia tak sedikitpun menunjukkan rasa lelah menunggu. Matanya tetap awas menatap ke arah pintu pagar klinik, tanpa tahu apa yang tengah terjadi pada Ruri.
***
"Terima kasih, karena sudah mau menceritakan semuanya. Aku senang saat mendengar kita memiliki misi yang sama. Sepertinya kita bisa saling bekerja sama. Mulai saat ini, aku akan memberitahukan apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku berharap suster juga melakukan hal yang sama. Setidaknya suster memiliki akses lebih untuk menyelidiki rumah sakit."
Ucapan Ruri pun mendapat anggukan dari Suster Lita. Ia merasa semakin yakin akan semua perasaannya, bahwa Suster Lita wanita yang dapat dipercaya. Kini ia merasa tak lagi sendiri, semangat untuk mengungkap segalanya pun kian besar. Ia berharap, dengan keberadaan mereka di sisinya mampu menjawab semua rasa penasaran yang ada.
Memutuskan pergi, suara batuk yang berasal dari ruang sebelah Suster Lita mengusik telinga Ruri. Sesaat ia melirik ke arah pintu yang tak tertutup rapat. Betapa kagetnya Ruri melihat keberadaan pria tua yang tengah terbaring di dalamnya.
"Aku ingin istirahat!" ucap pria tua kepada Suster cantik yang tak lain kembaran Suster Lita.
"Baiklah! Anda bisa memanggil kami dengan menekan bel yang ada di sisi kanan ranjang," jelas Lili dengan nada yang tegas.
Meski memiliki fisik yang begitu mirip, namun sikap mereka sangat jauh berbeda. Setidaknya itu terlihat saat keduanya tengah merawat. Lita akan tersenyum tulus dan bernada suara yang lembut, berbanding terbalik dengan Lili yang tegas dan disiplin. Namun, tak dapat dipungkiri keduanya baik dalam merawat pasien.
"Apa kau ingin pulang?" tanya Lili yang kini menghampiri Ruri.
"Yah, begitulah. Pria tua itu sakit apa?" tanya Ruri seraya menunjuk ke arah pintu kamar yang kini sudah tertutup.
"Ah, dia hanya kelelahan dan batuk. Diumurnya yang enggak muda lagi, ia terlalu giat bekerja," jelas Lili dengan entengnya. Sepertinya Lita sudah bercerita banyak tentang Ruri, tak heran jika sikap Lili cukup ramah kepada Ruri.
"Apa kau mengenalnya?" tanya Lili kembali, tatapan curiga itu membuat Ruri tak bisa mengelak.
"Yah, aku pernah berbincang dengan beberapa kali. Mungkin aku harus menyapanya lagi sekarang," ungkap Ruri.
Pintu diketuk, namun tak ada jawaban. Ruri merasa hawatir dan nekad membuka pintu ruangan itu. Tak disangka, suara kuat yang menyambutnya.
"Hei! Bukannya sudah aku bilang. Aku ingin istirahat?" ucap pria tua itu. Nada suara yang tinggi pun menggema, mungkin terdengar hingga ke ruangan Suster Lita.
"Ini aku," ucap Ruri dengan nada merasa bersalah.
"Kau? Ya Tuhan ... maaf, masuklah!" pinta pria tua. Ia terlihat memaksakan diri untuk duduk, namun begitu kesulitan.
"Tidurlah, aku enggak akan lama. Hanya ingin menyapa, enggak sengaja aku melihatmu di sini," jelas Ruri.
Pria tua itu kembali berbaring, namun tidak lagi menutupi wajahnya dengan selimuat. Seperti memikirkan hal penting, pria tua terdiam cukup lama dengan kedua mata menatap langit-langit kamar.
"Katanya penyakitmu tidaklah parah, kau hanya butuh istirahat. Maaf mengganggumu, aku akan pergi."
"Tunggu! Siapa yang bilang itu?" tanya pria tua. Ucapan lantangnya berhasil menghentikan langkah kaki Ruri yang berniat beranjak pergi.
Merasa tak enak hati karena secara tidak langsung memberitahukan pria tua, bahwa Suster Lili membocorkan keadaannya pada sembarang orang, Ruri terdiam dengan raut wajah sendu.
"Duduklah! Ada yang ingin aku katakan."
Seketika nada bicara pria tua melunak. Ia sepertinya tidak lagi marah akan kelancangan suster Lili yang sudah memberitahukan penyakitnya.
"Sudah sampai mana informasi yang kau tau?" tanya pria tua. Nada tenang itu mengguncang kuat hati Ruri. Terdesak, Ruri merasa menjadi terdakwa dalam sebuah sidang. Gugup, ia tak bisa berakting tenang saat ini. Bisa saja ia mengaku tak mencari informasi apapun, tetapi perasaannya begitu kalud saat ini. Hingga ia memutuskan untuk merundukkan kepala dan tak menjawab.
"Aku sudah sangat tua dan aku yakin usiaku tidak akan lama. Namun, ada satu harapan terbesarku. Aku ingin bertemu dengan anak gadisku, gadis yang tersenyum manis pada foto di dinding itu."
Tersentuh, Ruri pun berniat membantu menjemput putri si pria tua. Baginya ini harapan penting mengingat usia si pria tua.
"Tetapi aku enggak tau dimana keberadaannya, namun yang aku tau pasti dia masih hidup saat ini."
Kalimat ini sontak membuat Ruri tertegun. Awalnya ia mengira pria tua tengah bertengkar dengan anak perempuannya dan enggan menemuinya hingga saat ini. Namun, dugaannya salah dan ia pun mendadak bingung. Terlihat dari dahinya yang mengernyit.
"Aku yakin, kau dan teman wanitamu yang bisa membawanya kembali. Saat ini dia terjebak di dalam sana. Sudah cukup lama aku menantinya, bahkan aku berharap dia salah satu orang yang hilang ingatan dan dibuang di tengah jalan."
Kaget, Ruri tak bisa menutupi reaksinya. "Jangan bilang, kalau putri pria tua ini juga korban yang sama seperti aku dan yang lainnya?"
"Yah, kau benar."
Terkulai lemas, Ruri seketika menyandarkan punggungnya. Ia tak menyangka ternyata si pria tua juga memiliki misi yang sama dengannya.
"Kalian harus bekerja sama. Maka aku yakin, kalian pasti bisa mengungkap semuanya. Aku memiliki banyak berkas penting di rumah. Kau bisa mengambilnya dan mulailah mempelajari semuanya. Geser meja berkaki patah yang ada di dinding sebelah kanan, tekan sebuah tombol yang tersembunyi di bawah tikar dan kau bisa mengambil semuanya."
Ruri mengangguk, ia tak boleh terlihat lemah. Dengan dada membusung, Ruri menunjukkan tekad besarnya kepada si pria tua.
"Yah, percaya padaku. Aku akan membawa putri manismu kembali!"