"Apa itu?" tanya Ruri dengan wajah lugunya, membuat Sesilia semakin kesal hingga berteriak, "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" lalu melangkah dengan penuh geram keluar kamar. Tak mengerti akan apa yang terjadi, Ruri hanya turut mengikuti kemana langkah Sesilia pergi.
Suasana mendadak tegang, Ayah telah menanti mereka di halaman samping. Halaman yang biasa tampak asri itu mendadak suram. Bukan karena malam, melainkan sikap mereka yang begitu dingin. Semakin menakutkan kala Ayah berkata, "Apa saja yang sudah kalian ketahui?"
Seketika bulu kuduk Ruri pun berdiri. Pria yang begitu lembut dan penuh kasih itu mendadak berubah menjadi kejam dan dingin. Berulang kali ia mengedipkan kedua matanya, guna memastikan bahwa pria yang ada di depannya itu Ayah. Namun, sikapnya yang jauh berbeda membuat Ruri menelan berat ludahnya.
"Apa yang kau lakukan. Cepat bilang semuanya!" bisik Sesilia. Ternyata gadis tegas nan berani itu pun turut ciut setelah berhadapan dengan Ayah.
"Ah, begini."
Ruri pun kembali membulatkan tekadnya. Tiada guna ia menahan semua info ini sendiri. Ibarat sebatang lidi, ia tak akan memiliki kemampuan untuk bertindak.
Ruri pun memulai ceritanya. Dimulai dari informasi yang ia dapatkan dari Suster Lita. Ternyata selama ini Suster Lita dengan sengaja bekerja di rumah sakit pusat guna mencari informasi akan keluarganya yang kini hilang tanpa jejak. Keyakinannya cukup besar bahwa rumah sakit itu menjalin kerja sama dengan kelompok yang sudah menculik kedua orang tuanya. Bermula dari tawaran kerja sama pada pihak obat-obatan, ayah dari Suster Lita yang begitu terobsesi akan penelitian tanpa ragu menerima tawaran itu. keputusannya untuk bergabung pun menjadi awal perpisahan mereka. Tekad mereka bulat, mereka memilih jurusan perawat guna untuk menyelidiki semuanya. Namun, jalan mereka buntu. Meski berulang kali mendapatkan korban hilang ingatan, namun tiada satupun dari mereka yang bisa memberikan petunjuk. Itulah alasan besar mengapa Suster Lita begitu baik dengan Ruri. Dari begitu banyak korban yang sudah ia rawat, hanya Ruri yang begitu bertekad untuk mencari ingatannya. Harapan mereka kembali, Suster Lita berharap mereka bisa bekerja sama. Ia berjanji akan memberikan banyak informasi lainnya kepada Ruri nantinya.
Ayah mengangguk, tatapan tajam itu tetap saja tak mengarah pada Ruri. Sedangkan Sesilia mulai menunjukkan senyuman di wajahnya. Entah apa isi pikirannya saat ini, namun terbayang jelas rasa lega pada dirinya. Namun, ego masih saja menyelimuti, hingga ia enggan untuk menatap ke arah Ruri.
Meski kini Ruri duduk dengan sikap seperti terdakwa, namun tak lantas membuat ia menghentikan ucapannya. Baginya ini kesempatan emas, dengan begini ia menjadi lebih mudah untuk melangkah kedepannya.
"Ada lagi? Aku pikir informasimu bisa membuatku puas."
Sedikit kesal, namun Ruri mengabaikan perasaannya. Bagaimanapun hanya mereka keluarganya saat ini. Ia sungguh tak mengerti seberapa jauh pencarian mereka tentang semua teka teki ini, sehingga ia layak disepelekan.
"Pria tua kenalanku dan Sesilia. Ternyata ia juga kehilangan putri satu-satunya. Gadis itu permisi untuk pergi karena mendapatkan tawaran kerja di salah satu rumah penelitian. Sebagai farmasi, ia pun menerima tawaran itu dengan iming-iming gaji besar. Seperti Suster Lita, gadis itu pun hilang hingga saat ini. Ada seorang teman farmasi gadis itu yang sudah ditemukan hilang ingatan. Pria tua itu juga yang menemukannya di tengah jalan, seperti apa yang aku alami."
Sebuah kesimpulan pun mereka dapati. Imbalan dalam jumlah besar yang membuat mereka tergoda. Namun, ada yang sedikit membingungkan. Jika keluarga Ayah, Dino, Sesilia dan Ibu hilang karena tawaran pekerjaan berupa ikut permainan. Namun, pria tua dan Suster Lita justru kehilangan mereka yang tersayang akibat tawaran kerja di bidang kesehatan.
"Pria tua sempat mendapatkan sebuah amplop cokelat yang tersimpan di kotak suratnya. Amplop itu berisi surat dari putrinya dan juga uang. Berikut selembar kertas yang berisi ..."
"Mana kertasnya? Kau enggak perlu jelasin kalau enggak mengerti!" teriak Sesilia kesal. Dengan lancang Sesilia merampas beberapa lembar kertas yang berada di tangan Ruri.
"Ini, ini kan?" ucap Sesilia. Matanya terbelalak setelah melihat apa yang tergambar di atas kertas-kertas itu.
"Apa itu?" tanya Dino. Ia pun melakukan hal yang sama, merampas salah satu kertas dari tangan Sesilia.
"Ini program permainan. Aku tau ini, karena aku sempat mencuri informasinya. Tapi aku masih belum paham apa hubungannya dengan ingatan?" sambung Dino. Tatapannya tak kalah menakutkan.
Ayah yang sedari duduk, Ibu yang hanya berdiri di dekat pintu pun kini mendekati Dino dan Sesilia.
"Ini rumus kimia sebuah zat. Tapi aku belum yakin jenis apa ini," sambung Ayah.
"Mungkin aku bisa membantu mencari tahunya," ucap Ibu dengan wajah penuh semangat. Sedangkan Ruri hanya bisa menatap bodoh ke arah mereka. Sungguh ia tak mengenal baik mereka semua. Namun, yang pasti mereka semua memiliki keahlian dan itu baru ia sadari sekarang.
"Hah! Pantas saja mereka memandangku sebelah mata, ternyata mereka suhu. Keluarga apa ini? Aku menjadi merasa tak pantas bergabung bersama mereka. Apalagi dia, kini aku tak akan lagi berkecil hati jika dia ataupun mereka semua mengatakan aku bodoh. Ternyata aku memang sebodoh itu!" gumam Ruri lemas. Namun, jauh di dalam hatinya ia merasa sangat bahagia. Harapannya untuk bisa mendapatkan ingatan kembali pun melambung tinggi.
Mulai hari itu, mereka terlibat dalam kesibukan masing-masing. Tak tahu pasti apa yang mereka lakukan, namun waktu yang biasa mereka habiskan bersama mendadak lenyap. Membuat Ruri jadi bingung sendiri.
"Aku harus apa? Aku sendiri enggak tau apa yang bisa aku kerjakan untuk misi ini," gumam Ruri yang hanya bisa menatap satu per satu wajah mereka.
"Meski belum begitu jelas jenis apa kelompok mereka, tapi dengan beberapa lembaran ini kita bisa mempelajari sesuatu. Sesili, Dino, lakukan sesuai kemampuanmu. Kalian tau kan apa yang harus kalian persiapkan?" tanya Ayah dengan nada tegas layaknya komandan batalion berucap.
"Dan kamu, persiapkan apa yang mungkin mereka butuhkan. Untuk sementara bantu aku menyelidiki jenis zat ini. Dengan kita tahu jenisnya, maka kita juga lebih mudah mencegah hal terburuk yang mungkin terjadi. Satu-satunya cara membawa mereka semua kembali hanya dengan mengikuti permainan mereka."
Penjelasan Ayah pun dijawab mereka dengan anggukan, namun tidak dengan Ruri yang masih menatap bodoh ke arah pria dewasa itu.
"Ada apa, kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang ingin kau katakan?" tanya Ayah, membuat Ruri kaget hingga tersentak.
Bingung harus menjawab apa, Ruri hanya terdiam kecut. Sedangkan Sesilia dengan mudahnya berucap, "Dia bingung kali mau buat apa. Dia kan enggak bisa apa-apa."
Ruri hanya mampu merundukkan kepala, menyembunyikan wajah. Ingin marah, namun apa yang Sesilia katakan adalah kenyataan karena saat ini ia sungguh tak tahu harus mempersiapkan apa.
"Kau mungkin bisa dengan mulai melatih fisik," pinta Ayah, namun kali ini nadanya lebih rendah dari sebelumnya. Sepertinya Ayah sadar kalau Ruri belum terbiasa dengan sikap tegas Ayah seperti ini.
"Ah, aku bisa mencari tahu cara agar bisa ikut permainan itu!" jawab Ruri dengan senyum menyeringai.
"Bagaimana caranya? Jangan bilang kau hanya berbasa-basi agar tak terlihat bodoh!" ledek Sesilia. Tatapan sinis itu diikuti senyuman merendahkan.
Ruri menggeleng, wajah percaya diri dan senyum teduhnya membuat Sesilia penasaran. Namun, ia terlalu gengsi untuk menanyakannya secara langsung. Malam itu di bawah langit mendung, mereka sibuk melakukan persiapan.