"ALMA! APA YANG KAMU LAKUKAN DI SINI?! KENAPA KAMU MALAH DIAM SAJA?!"
Pak Calvaro tampaknya menyadari keberadaan Alma. Lelaki itu meneriaki Alma dengan lantang, lalu marah kepadanya.
Alma sontak kaget, gadis itu segera berlari ke arah Pak Calvaro. "Maafkan saya, Pak! Saya tidak tahu."
"Kalau tidak tahu ya cari tahu!" Lelaki ini malah marah-marah dan senewen.
Alma meringis. Dia ingin sekali bergabung lalu turut membantu. Akan tetapi semua orang sibuk. Seakan tidak ada ruang baginya untuk masuk dan turut serta. Maka dari itu, Alma masih diam saja di tempatnya.
Dan dia malah dimarahi Pak Calvaro ini! Hish!
Alma jadi kesal sendiri. "Ba-baik, Pak. Apa yang bisa saya bantu?"
"Kamu langsung bertemu saja dengan Mbak Devi. Bantulah dia untuk merevisi berita. Sebentar lagi waktunya bagi pihak berita memberikannya kepada lay out untuk naik cetak. Mengerti?"
Alma menganggukkan kepalanya.
Ia melihat ke arah kalender, sebentar lagi adalah akhir bulan. Alma rasa, setiap akhir bulan di mana saja selalu sibuk.
Seperti kata Faradina, beban kerja meningkat pada saat akhir bulan, tetapi gajian sudah menipis. Jadinya semuanya meledak.
Sialnya, Alma masuk juga di akhir bulan. 'Huh, aku harus sabar.'
Gadis itu lantas turut membantu Mbak Devi. Ia bahkan belum sempat dikenalkan kepada seluruh anggota di kantor, tetapi ia harus mengikuti semua arahan.
Baiklah, tak masalah.... Yang terpenting dia bisa melakukannya. 'Sabar sabar, hati... Bismillahirrahmanirrahim... Aku pasti bisa melakukannya.'
* * *
Setelah tiga hari berlalu, Alma berkutat dengan pekerjaan kantornya. Meskipun dia masih training, tetapi seakan tidak ada kata training di sana.
Semuanya berjalan dengan kehidupan yang serba cepat dan serbagegas. Seakan melewatkan satu momen pun, akan berpengaruh banyak dan besar.
Maka dari itu, Alma merasa kesal. Terlebih kepada dirinya sendiri. Tetapi, ya mau bagaimana lagi?
Dia masih baru. Dia masih belum berpengalaman. Dia masih belum bisa menghandle segala situasi.
Ia hanya bisa mengikuti instruksi, mendengarkan, dan mempelajari.
Hingga saatnya Alma tiba di apartemen Faradina, gadis itu selalu pulang larut malam. Ia bahkan lembur untuk memperbaiki beritanya. Mbak Devi, mentornya itu tak pernah puas dengan berita yang dibuatnya.
"Lembur lagi?" tanya Faradina kepadanya. Gadis itu malah menggunakan masker sheet mask. Dan membuat Alma agak iri. Bisa bisanya dia saat sedang pusing akibat pekerjaan, Faradina malah memakai sheet mask dengan santainya.
Tak dapat dipungkiri, Faradina ini bekerja sebagai Content Creator di salah satu toko pakaian terkenal di Jakarta.
Ia terbiasa untuk live streaming di akun tokonya, memperkenalkan produk. Atau membuat video-video dengan konsep tertentu.
Memang wajahnya yang cantik dan blasteran, sangat mendukung pekerjaannya. Ia juga terbiasa mendapatkan banyak viewers dan customer dari live streamingnya.
Apalagi, Faradina ini bekerja di fashion pria. Jadinya, banyak lelaki yang rela menontonnya hanya karena kecantikan Faradina.
"Ahhhh, aku iri padamu."
"Hei, hei... Kenapa kamu iri padaku? Apa yang aku lakukan?" tanya Faradina.
"Aku iri melihatmu bisa maskeran sedangkan aku malah dimarahi atasanku."
"Itulah namanya dunia pekerjaan, Sayang... Jangan putus asa, ya... Bersabarlah... Kamu masih baru, kamu pasti bisa."
Alma hanya mampu tersenyum kecut. Gadis itu merasakan rasa sedih.
* * *
Selama berhari-hari ia bekerja, dan di hari kesepuluh, barulah Alma mampu beradaptasi dengan baik. Gadis itu sudah bisa bekerja dengan tenang, tanpa adanya kesalahan yang besar.
Kini, Alma tengah beristirahat di pantry kantor. Ia turut bergabung dengan beberapa senior, salah satunya Mbak Geisha dan juga Mbak Devi.
Ia penasaran dengan Mbak Geisha. Gadis itu bisa tertawa dengan Mbak Devi. Kenapa dengan dirinya, Mbak Geisha sangat kaku dan tampak seakan membencinya?
"Hahahaha, benar! Aku bahkan tidak menyangka kalau kita bisa serempong itu menghadapi narasumber." kata Mbak Geisha yang bercerita ketika dia mewawancarai salah satu narasumber pedagang pasar yang sangat ribut tentang harga kenaikan minyak.
"Nah, maka dari itu! Mereka lebih tepatnya bukan rempong sih, tetapi curhat. Berharap kita bisa menyampaikan kepada pemerintah untuk menurunkan harga minyak." Sahut Mbak Devi.
"Hahahah, padahal reporter ini siapa? Kita hanya menulis berita. Urusan nanti turun atau tidaknya tetap kembali kepada pemerintah."
Mereka berdua tertawa dengan penuh suka cita. Seakan mereka sudah kenal akrab.
Sampai akhirnya, Mbak Devi ini bertanya ke arah hal yang personal. "Oh, ya. Bagaimana dengan Mas Ardi? Katanya kamu dan Mas Ardi mau menikah akhir tahun ini."
"Ah...? Itu?"
Alma yang sejak tadi tidak bisa menimbrung pembicaraan, mendadak merasa ikut tertarik dan bisa turut serta berkomentar dalam pembicaraan ini.
Mbak Devi kembali menyahut, "Aduh, Geisha. Kamu ini sudah cantik, mapan secara pekerjaan, sudah bisa beli mobil juga. Kan Mas Ardi sudah punya rumah. Kamu tinggal ikut sama dia. Apa sih yang kurang?"
Geisha menggarukkan kepalanya. "Bukan masalah itu sih..."
"Lalu kenapa masalahnya, Mbak?" tanya Alma turut penasaran.
Mbak Geisha tampak ragu untuk mengatakannya. Ia malah seakan sengaja menutupi hal yang dimaksudkan.
Karena mereka sudah terlalu lama di rumpi, sudah jelas Pak Calvaro itu senewen. Lelaki ganteng itu segera memanggil mereka. "Saya cari ke mana mana, malah ada geng ibu arisan di sini. Ayo kembali. Waktu istirahat kita sudah habis."
Semua orang terkekeh, meminta maaf juga kepada Pak Calvaro. Mereka pun kembali bekerja.
Sepintas, Alma mengernyitkan alisnya. Ia melihat Mbak Geisha yang sempat tertuju kepadanya manakala menyebutkan nama Mas Ardi. Kenapa, ya? Apakah dia ingin menceritakan sesuatu tentang Mas Ardi? Atau terganggu karena Alma ikut bertanya tentang Mas Ardi?
Semua pertanyaan itu menyelimuti otak Alma.
* * *