Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, akhirnya Lucas dan Ellena sampai di kediaman baru mereka. Begitu turun dari mobil, seorang satpam yang berjaga di rumah itu pun segera menghampiri mereka.
"Selamat sore, Tuan, Nyonya," sapa satpam tersebut dengan ramah.
"Selamat sore." Ellena membalas sambil tersenyum.
"Arley, tolong kau turunkan baranga-barang di dalam mobil, lalu bawa ke dalam!" perintah Lucas kepada Arley, satpam di rumah itu.
"Baik, Tuan."
Dengan sigap Arley membuka bagasi mobil Lucas, lalu menurunkan tas koper satu persatu.
Sementara itu, Lucas berjalan memasuki rumah. Sebuah rumah bergaya eropa klasik dengan pilar yang menjulang tinggi dan kokoh. Rumah yang didominasi cat berwarna putih itu cukup mengalihkan perhatian Ellena yang tengah berjalan di belakang Lucas.
Bagi Ellena yang terbiasa tinggal di tempat kecil dan sederhana, rumah itu sangat mewah dan megah, juga memiliki ukuran halaman yang begitu luas. Ellena memperhatikan setiap sudut rumah itu. Beberapa pohon palem yang berjejer, membuat suasana di sana tampak lebih asri dan sejuk. Belum lagi, beberapa tanaman bunga berwarna-warni yang makin mempercantik tampilannya.
Rasanya, siapa pun akan betah tinggal di sana. Namun, bagi Ellena rumah itu terlalu besar untuk ditempati hanya berdua.
"Pak." Lucas menoleh dengan sinis, saat Ellena memanggilnya.
"Ma-maaf." Ellena langsung memahami tatapan Lucas. Ya, Lucas bersikap seperti itu tentu karena dia salah memanggilnya. Padahal, Lucas sudah memperingati agar dia tidak memanggil dengan sebutan "Bapak".
"Apakah rumah ini tidak terlalu besar untuk kita tempati berdua?" tanya Ellena.
Lucas menatap datar wajah Ellna. "Kenapa? Apa kau tidak menyukai rumah ini?" tanyanya kemudian.
"Bukan itu maksudku. Hanya saja, menurutku rumah ini terlalu besar."
"Ingat Elle! Kau sekarang sudah menjadi Istriku. Jadi, mulai sekarang kau harus terbiasa dengan hal-hal yang mewah, apa pun itu!" tegas Lucas.
Ellena terlihat mengembuskan napas, sepertinya berdebat dengan Lucas hanya akan membuat tekanan darahnya naik. Jika perdebatan itu berlanjut pun, hanya akan percuma, karena sudah pasti dia yang akan kalah dan Lucas pemenangnya.
"Emm ... apa di rumah ini kita akan tinggal satu kamar?" Ellena mengulum bibir bawahnya, seolah merasa canggung.
Ellena memang perlu memastikan hal itu, demi mengetahui nasibnya akan seperti apa. Dua malam tidur di kamar yang sama dengan Lucas, membuat dia tidak bisa istirahat dengan tenang. Belum lagi drama yang cukup membuatnya gila. Ah, dia merasa tidak akan tahan jika harus satu kamar dengan Lucas dalam jangka waktu yang panjang.
"Memangnya apa yang kau harapkan, Elle?" Lucas bertanya balik. "Tapi, kurasa idemu bagus juga," imbuhnya kemudian tertawa. Tentu saja hal itu membuat Ellena makin kesal.
"Berlama-lama bicara denganmu, ternyata bisa membuatku gila!" gerutu Ellena kesal.
"Itu belum seberapa, Elle. Bagaimana kalau aku membuat peraturan baru di rumah ini? Kau harus menemaniku ngobrol sebelum tidur, sepertinya akan sangat mengasyikan," goda Lucas.
Ellena mencebikkan bibir sebelum dia menanggapi, "Kurasa kau membutuhkan Psikiater." Ellena pergi meninggalkan Lucas yang masih tertawa.
"Hei! Apa maksudmu berkata seperti itu? Apa kau pikir aku ini gila?" teriak Lucas seraya menatap Ellena yang melenggang makin menjauh darinya.
Ellena tak menanggapi. Dia terus berjalan, memasuki rumah itu makin dalam. Tampak beberapa barang mewah yang terpampang jelas di sana, mulai dari furniture dan berbagai pajangan yang harganya sudah dapat dipastikan mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah.
Ellena menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah tangga penghubung menuju lantai atas. Dia memfokuskan pandangan ke sebuah kamar yang berada tidak jauh dari tangga. Namun, tidak berlangsung lama.
"Jadi, di mana kamarku?" Ellena menoleh, kemudian menatap Lucas yang sudah berdiri di belakangnya.
Bukan menjawab, Lucas justru menatap Ellena beberapa saat. Bukan karena ada sesuatu hal dari wanita itu yang menarik perhatiannya, melainkan dia tiba-tiba teringat kembali dengan Selena, sang mantan kekasih. Andai saja wanita di depannya adalah Selena, bukan Ellena. Mungkin, dia akan senang sekali menghabiskan waktu berdua di rumah itu.
"Kau tidak mendengarku?" Suara Ellena seketika membuat Lucas terlonjak dan tersadar dari lamunan.
"Kamarmu di atas dan aku akan tidur di kamar itu," jawab Lucas seraya menunjuk sebuah kamar yang sebelumnya menjadi fokus perhatian Ellena. "Kau pilih saja, kamar yang kau inginkan!" imbuhnya kemudian.
Ellena menghela napas pendek. Bersyukur sekali karena Lucas menyediakan kamar khusus untuknya. Jadi, dia tidak perlu tinggal satu kamar lagi dengan Lucas.
"Kenapa? Kau keberatan?" tanya Lucas yang ternyata sedari tadi memperhatikan Ellena.
"Oh, tidak!" Ellena menggelengkan kepala dengan antusias. "Tapi, kenapa harus di lantai atas?" tanyanya sedikit heran.
Tidak! Bukan heran, melainkan khawatir. Setelah dipikir-pikir, ternyata akan menakutkan juga jika tidur sendirian di lantai atas dalam rumah sebesar itu.
Lucas tersenyum smirk. "Baiklah, kau tidur di kamarku, kurasa kau takut tidur sendirian," ucapnya sengaja menggoda Ellena, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran wanita itu.
"No!" Ellena menolak dengan tegas. "Aku akan tetap tidur di atas!" Dia bergegas menaiki anak tangga satu per satu.
Lucas hanya tertawa melihat tingkah Ellena yang terlalu paranoid. Dia senang sekali melihat sikap Ellena, seperti memiliki mainan baru.
"Oh Tuhan!" Ellena menjerit sambil membelalakkan mata saat membuka salah satu pintu kamar di lantai 2.
Kamar itu memangsangat luas dan memiliki furnitur yang mewah, tetapi sangat kotor dan berantakan. Dia tidak habis pikir rumah semewah itu bisa hancur seperti kapal pecah. Debu bertebaran di mana-mana. Bagaimana mungkin dia tidur di tempat yang kotor seperti itu?
Mendengar jeritan Ellena, Lucas segera berlari menaiki anak tangga, karena merasa khawatir terjadi sesuatu di sana.
"Apa yang terjadi?" Ellena langsung membalikkan badan, saat Lucas sudah berdiri tidak jauh darinya.
"Kau?" Ellena menatap sinis. "Kau sengaja ingin membiarkanku tidur di kamar kotor seperti ini?" geramnya kemudian.
Lucas mendengkus, lalu berkacak pinggang. "Bisakah kau tidak menjerit seperti itu hanya karena masalah sepele?" protesnya kesal.
"Apa? Sepele kau bilang?" Ellena membulatkan mata. "Kau pikir aku akan bisa tidur di tempat yang banyak debu seperti ini, ha?" Dia pun berkacak pinggang, tak mau kalah oleh Lucas.
"Aku memang orang miskin, tetapi bukan berarti aku terbiasa tidur di tempat kotor seperti ini. Aku selalu menjaga kebersihan tempat tinggalku, tetapi kali ini? Bagaimana mungkin aku bisa tidur," keluh Ellena sedikit memberengutkan wajah.
"Bodoh!" umpat Lucas seraya melengos sejenak. "Kau pikir hanya kamarmu saja yang kotor? Semua kamar di rumah ini kotor, bahkan dapur dan ruangan-ruangan lainnya. Ingat! Ini rumah baru, bukan hotel yang setiap saat ada yang membersihkan. Lagi pula, aku belum sempat menyewa pelayan. Jadi, kau bersihkan sendiri kamarmu, sekalian kamarku juga! Bukankah kau suka menjaga kebersihan?" Jelas Lucas panjang lebar, diakhiri dengan ucapan sindiran.
"Shit! Yang benar saja? Mana mungkin aku membersihkan rumah sebesar ini sendirian?" Ellena melayangkan protesnya. Namun, Lucas tidak menanggapi dan langsung pergi meninggalkan Ellena.
"Kau menyebalkan, Lucas!"
Mendengar Ellena menyebut namanya, Lucas langsung berhenti. Namun, tidak menoleh. Ini memang kali pertama Ellena menyebut namanya, sehingga dia sedikit terkejut saat mendengar itu. Lucas hanya tersenyum tipis, lalu menuruni anak tangga satu per satu.