Nathan membuka laptopnya dan membuka Gmail, Nathan memutuskan untuk mengirim email kepada Vando.
Dari saya kepada Jovando
Gue ke Prancis, bareng adek-adek gue. Mau ketemu? Jaga jarak, biar Zeana ga tahu kalo lo disana.
Kirim.
Sehela nafas dihembuskan Nathan, sepikul rasa bersalah lenyap dari hatinya. Perancis yang begitu kecil, membuatnya mustahil tidak memberi kabar pada Vando. Ia lebih cemas jika di tengah perjalanan nanti ia dan adik-adiknya berpapasan dengan Vando.
***
"Prancis?" beo Zeana ketika melihat 3 lembar tiket pesawat.
Irvi mengangguk, "Kita akan tinggal disana selama kurang lebih tujuh hari," terang Irvi.
Zeana membulatkan bola matanya, "Serius lo kak?"
"Lo pikir-pikir deh sono, buat apa gue boongin lo?" Irvi merotasikan bola matanya, ia terlalu malas untuk mengulangi ucapannya.
"Terus, sekolah gue? Kerjaan lo gimana? Kak Nathan juga?" Zeana bingung.
"Itu udah diurus, Ze. Santai aja lah. Absen seminggu, ga bakalan bikin lo ga naik kelas!" cetus Irvi yang sejak dulu tak pernah bersungguh-sungguh dalam belajar, beruntungnya ia punya otak yang cemerlang.
"Bentar deh, kak Nathan dimana?" tanya Zeana celingak-celinguk.
"Di-"
"Dari mall! Kenapa nanya? Kangen lo?" celetuk Nathan yang bersandar pada kusen pintu.
Zeana mengelus dadanya, "Dalam mimpi lo, kak!"
Nathan mengangguk. "Iya-iya, gue tunggu mimpinya!"
"Siap-siap, Ze!" peringat Irvi yang segera meninggalkan Zeana bersama Nathan untuk segera menyiapkan diri.
Zeana termangu sejenak, lalu dengan langkah berat ia berjalan gontai menuju lemari berukuran lebar dan membukanya.
Ia dengar, bahwa Prancis sedang mengalami peralihan dari musim gugur ke musim dingin. Zeana memutuskan memakai mantel tebal yang membantu tubuhnya menghalau hawa dingin.
Zeana meraih sebuah mantel berwarna abu-abu gelap dengan model Military Coat Double Breasted. Lalu tangan lainnya meraih scarf berwarna hitam-abu-abu dengan motif pencil stripe.
Zeana melemparkan kedua busana yang telah ia ambil tadi dari lemarinya ke atas ranjang. Kemudian ia berjalan ke ruangan tempat ia menyimpan sepatu dan aksesoris lainnya yang letaknya di sebelah kamarnya.
Zeana membuka lemari kaca yang berisi topi-topi koleksinya. Lalu Zeana meraih peruvian hat berwarna abu-abu gelap, setelah menimangnya sejenak, Zeana mendekapnya. Lalu berjalan ke sisi lain ruangan tersebut, lebih tepatnya ke rak sepatu.
Zeana menggeser pintu kaca rak sepatu tersebut, lalu meraih over the knee boot berwarna hitam. Zeana segera kembali kembali ke kamarnya dengan dua barang yang tadi sudah dipilihnya.
Tepat setelah Zeana memakai semua kostum, Irvi menerobos masuk, "Udah?" serbu Irvi.
Zeana mengangguk malas, "Lain kali ketok dulu!" peringat Zeana, untung saja ia sudah mengganti bajunya.
Irvi mendengus, "Ya ampun, Ze! Saudara lo sendiri ini! Yang pantes ngomong gitu itu gue! Bukannya lo! Ini mah kebalik!"
Sebelah alis Zeana terangkat, "Apa? Kalo lo mau dihormati, yang hargai dulu lah!"
"Kalo lo mau di hargai, ya hormati gue dulu lah!" sengit Irvi tak mau kalah..
"Balik aja terus!" sindir Zeana.
"Lah, itu bukannya hobi lo ya?" balas Irvi.
"Hebat banget kalo ngibul," ketus Zeana.
"Dih, ga usah sok sama yang lebih tua, nanti nangis!" tutur Irvi dengan mata melotot.
"Mata lo biasa aja lah! Mau keluar noh!" sorak Zeana.
Irvi semakin melotot, "Kalo ngomong biasa aja dong! Segala bentak!"
"Gue doain mata lo copot," sarkas Zeana.
"Sumpah lo ya! Durhaka banget jadi adek!"
"Serah gue lah! Gue aj-"
"Udah belom berantemnya?" sarkas Nathan yang sudah berdiri diluar kamar Zeana sedari tadi. Ia terlampau bosan karena setiap hari harus mendengarkan perdebatan tak bermutu adik-adiknya.
Padahal ia berada di rumah sejak jam 7 malam ke atas. Tapi, ia tak memungkiri, jika ia akan rindu suasana itu lagi.
"Belom!" sorak Zeana dan Irvi bersamaan.
Nathan menghela nafas, lalu berjalan ke arah Irvi dan menarik telinganya, menarik Irvi keluar.
"Ah! Aw.. aw.. aw.. aduh!" jerit Irvi kesakitan.
"Ayo!" pinta Nathan dingin, masih dengan tangan yang setia menarik telinga Irvi.
"Sakit kak!" rengek Irvi.
"Kalo lo lama jalannya, makin sakit kuping lo!" bentak Nathan.
"Lo ngapain sih kak? Marah-marah mulu!" sentak Irvi.
"Lo yang ngapain?! Segala marahin Zeana lagi!" cetus Nathan.
Irvi melirik kearah Zeana yang menutupi separuh wajahnya dengan scarf yang dipakainya. Irvi tahu jelas bahwa adiknya itu kini tengah menertawakannya, Irvi dengan penuh emosi mengacungkan jari tengahnya ke arah Zeana.
"KAK NATHAN! KAK IRVI MELOTOTIN GUE!"
Irvi semakin melotot demi mendengar ucapan Zeana. Belum sempat berkata sepatah pun, Irvi meringis karena Nathan menariknya semakin kuat.
***
"Puas lo?!" cetus Irvi yang menghempaskan tubuhnya ke kursi pesawat. Zeana yang duduk di sebelahnya melirik sinis.
"Gue ga denger, lo ngomong apa tadi?" tanya Zeana polos dengan wajah tanpa dosa.
"Anjir lo, Ze! Hari ini bikin gue emosi mulu lo!" gertak Irvi.
Zeana meringis, "Suasana hati gue lagi baik, kak! Makasih udah diingetin, nanti gue diem aja!"
"Ngomong buih! Gara-gara lo gue dimarahi kak Nathan!" curhat Irvi.
"Masa? Gara-gara apa?"
"Hah?! Otak lo lemot ya?! Kan udah jelas-jelas gue bilang gara-gara lo!"
Zeana mengangguk pelan, lalu memilih mengabaikan Irvi lalu memasang earphone dan menyalakan lagu.
Belum 10 detik berjalan, lagu yang tadi disetelnya kini tak lagi terdengar, Zeana menghela nafas, dan menatap sengit sosok yang menjadi penyebabnya.
"Lo lagi kurang kerjaan ya?" sarkas Zeana.
"Lo ga punya sopan santun ya, Ze?" sindir Irvi.
"Gue mau istirahat, kalo lo masih ganggu gue mulu, gue aduin lo ke kak Nathan," ancam Zeana.
Irvi mendengus, "Nasar! Ngadu mulu hobi lo!"
Zeana mengangkat kedua bahunya, "Lo yang maksa gue ngambil keputusan sulit ini, Kak!"
"Shit!"
"Segala ngumpat, ga punya tempat duduk sendiri?" cetus Zeana.
"Gue balik!" tutur Irvi bersungut-sungut.
Zeana mengangguk santai, "Gitu dong! Jadi gue ga perlu nguras tenaga buat ngusir lo!"
Irvi melototi Zeana lagi sebelum kembali ke tempat duduknya, sayangnya Zeana sedang peka mode off, dan tak menyadari bahwa kakaknya marah kepadanya.
"Gue mending istirahat daripada ngurusi lo kak!" lirih Zeana tepat sebelum kembali menyalakan lagu favoritnya.
Lagu Happy Kids melantun pelan, membuat Zeana tersenyum jika seandainya ia benar-benar menjadi anak kecil dalam lagu itu.
Do you remember when we used to be
Them happy kids, them happy kids?
When we were better, but in our memories
We are happy kids, them happy kids
Ooh, take me back to the days
We were dancing in the streets going insane
We had no money, had no name
But I knew that you and I would never change
Do you remember when we used to be
Them happy kids, them happy kids?
When we were better, but in our memories
We are happy kids, them happy kids
Ooh, take me back into the streets
Where I met the cutest girl I've ever seen
We fell in love at seventeen
And got my heart broken when she had to leave
Kesadaran Zeana terombang-ambing, ia seakan berada di antara deburan ombak mimpi yang melenakan, gelap yang ia benci melingkupi seluruh indranya.