Vando keluar dari lift, kini ia berada di lantai 2 menara Eiffel. Ia berjalan lurus kedepan, tanpa niat akan pergi kemanapun. Ia hanya mencari celah kosong yang sepi, yang bisa untuk menenangkan hatinya yang gusar.
Dari Lantai 2 Menara Eiffel, terlihat lanskap Kota Paris yang indah dari ketinggian 115 meter, indah tapi kosong. Begitulah yang Vando rasakan.
Vando menarik nafas dalam-dalam, hawa yang ia rasakan adalah kebebasan yang tak pernah ia cecap. Namun, hari ini, dengan datangnya seseorang yang menjadi alasannya bertahan, ia datang kemari, melihat Paris dari ketinggian.
Terlihat jelas Sungai Seine yang seolah membelah Kota Paris, Grand Palais, Museum Lovre dan masih banyak lagi. Kotanya yang tertata rapi memang sedap dipandang, tapi Vando lebih berharap jika ia bisa menikmati pemandangan ini bersama seseorang.
Di lantai yang sama, juga terdapat beberapa toko suvenir. Jika ia mau, ia bisa berburu gantungan kunci, kaos-kaos Paris Saint Germain, hingga berbagai camilan - mengingat ia jarang keluar - tapi lagi-lagi ia tak ingin apapun.
Kecuali menatap gadis yang telah ia tinggalkan selama 6 tahun. Gadis yang tak dapat ia pastikan ingatannya tentang dirinya. Lagi pula hanya bermain hujan-hujanan kan? Di mana letak spesialnya?
"How I really miss Indonesia," lirih Vando dengan nada getir.
Ada banyak kenangan yang tertinggal di negara seribu pulau tersebut, kenangan yang menyimpan beribu alasan untuknya tetap bertahan.
Hawa sore kali ini begitu berbeda baginya, terasa dingin namun menyejukkan, alih-alih membekukan. Vando sempat berpikir, apakah ini adalah efek dari gadis yang ia cintai berada di satu negara yang sama dengannya?
Vando tak bisa menahan senyum ketika menyadari bahwa ia bisa menatap Zeana dari jarak dekat, hal yang sangat ingin ia lakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Waktu mungkin saja bisa merubah seseorang, tapi perasaan adalah hal yang di luar jangkauan waktu. Vando adalah saksi bahwa fakta itu benar adanya.
Foto Zeana yang terpampang di layar ponselnya membuatnya semakin merasa campur aduk. "Di mana lo sekarang?" gumam Vando lirih.
"Êtes-vous seul ici? Êtes-vous venu ici pour le travail?"¹
Bayangan Vando buyar seketika ketika mendengar suara seorang gadis menyapanya, sapaan yang seolah diberikan pada teman yang telah saling mengenal begitu lama, tapi mereka tidak. Mereka asing satu sama lain.
Vando melirik gadis yang berdiri di sebelahnya, warna matanya hijau terang, warna mata yang sering dimiliki oleh penduduk Eropa barat. Anak rambut yang berwarna hitam dengan gradasi emas, hidung mancung, rambut yang tertutup pomhat berwarna mullbery, bagian wajah sebelah bawah yang juga tak terlalu nampak akibat syal tebal yang melingkar ketat di lehernya.
Baby face, itu yang terpikirkan oleh Vando. Vando dapat menebak umur gadis itu, mungkin 2 atau 3 tahun lebih muda darinya.
Vando melirik ke arah bawah, menilai kostum yang dipakai gadis itu. Princess Coat Double Breasted yang juga berwarna mullbery sangat pas dengan pom hat yang dipakainya. Sarung tangan model Lace berwarna abu-abu terang, serta sepatu boat setinggi paha.
Vando tahu dia adalah anak orang kaya dari merek pakaian dan aksesoris yang ia kenakan, tapi itu tak berpengaruh untuk Vando bersikap sedikit hangat kepada gadis itu. Lagi pula, ia tak pernah suka dengan orang asik yang sok kenal sok dekat.
"Rentrez chez vous si vous venez ici seule, petite sœur ! Il fait presque nuit."²
Gadis itu termangu sejenak, lalu menggeleng keras, "Je ne veux pas, je ne veux pas!"³
Vando menghela nafas, lalu mengangkat bahunya, "Aku tak punya banyak waktu untuk mengurusi bocah ingusan sepertimu!"
Setelah mengatakannya, Vando membalik tubuhnya dan pergi dari sana. Ia sangat tak suka kedamaiannya diganggu, apalagi dengan seorang gadis asing seperti dia.
Gadis tersebut mengeratkan sarung tangannya, ia memang sensitif dengan hawa dingin. Tapi ia malah terpaksa keluar karena perintah kakak tirinya yang serupa majikan tiran. Namun, ada satu hal yang ia syukuri, gadis yang ditatap Vando tadi, bisa membuatnya lebih mudah menyelesaikan perintah kakaknya.
Dengan setengah hati, ia mencari sebuah nama di daftar kontaknya.
'Nirina'
Gadis itu menghela nafas sejenak, sebelum kemudian memencet tombol 'memanggil.'
Beberapa detik setelah status panggilan berganti dari berdering menjadi menyambung, yang gadis itu dengar adalah lagu hip-hop yang amat sangat ramai.
Gadis itu mengerutkan alisnya, ia bisa menebak bahwa kakak tiri perempuannya itu sedang ada di sebuah pesta, bar, atau malah diskotik.
"Udah ada kabar belom?! Kalo belom, ga usah hubungi gue! Gue itu orang sibuk, lo sendiri tahu kan!"
Mendengar suara kakaknya yang begitu menggelegar, gadis itu hanya memejamkan matanya yang terasa panas.
"Gue udah ketemu dia, beberapa menit yang lalu, di lantai dua menara Eiffel," balas gadis itu dengan suara bergetar menahan emosi.
"Lo udah pastiin kalo itu dia?! Awas aja kalo lo sampe salah orang! Gue bunuh lo!"
Sang gadis menelan ludahnya, ia merasa ketakutan, bahkan pada ancaman yang tak mungkin menjadi tindakan nyata.
"Ciri fisiknya mirip sama kaya yang lo sebutin, Kak! Dan visualnya mirip banget sama foto yang lo kasih ke gue!"
Hening, tak ada jawaban. Hanya lagu yang penuh hentakan yang memenuhi sambungan telepon.
"Gimana, Kak?" tanya gadis itu lagi. Sebenarnya ia sangat ingin pulang ke kosnya, ia ingin menghangatkan diri dan makan daging panggang. Ia sangat lapar setelah 3 jam penuh berkeliling.
"Jangan sampai lo kehilangan jejaknya!" sorak Nirina.
Gadis itu tersenyum kecut, keinginannya akan selalu patah kalau ia berharap sesuatu pada kakaknya.
***
Zeana baru saja keluar dari kantor keamanan bandara ketika ponsel di sakunya bergetar. Zeana mengeluarkan ponsel tersebut dan mendapati telepon dari sahabatnya, Olyn.
Zeana segera mematikan telepon tersebut dan kembali mengantonginya, ia enggan mengeluarkan tangannya dari saku mantelnya karena hawa di sekitarnya benar-benar dingin.
Tak sampai 1 menit, ponsel Zeana bergetar lagi. Dengan gaya malas, Zeana meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelponnya, dan ternyata dari sahabatnya yang lain, Alula.
Zeana mematikannya lagi, dan memasukkan ponselnya ke saku mantelnya, lagi. Namun, kali ini disertai dengusan jengkel. Wajah Zeana langsung berubah keruh, ia ingin kedamaian tanpa gangguan, sekalipun itu dari sahabat terdekatnya sendiri. Ia ingin menjauh dari teritorinya sendiri.
Ponselnya kembali berdering, Zeana menghela nafas sebal, kau membuka ponselnya untuk segera mematikan telepon, tapi tangan Nathan menahan Zeana melakukannya.
Nathan menatap Zeana hangat, lalu menggeleng.
"Kenapa?" tanya Zeana, badmood mode on.
"Angkat, Ze!" perintah Nathan sembari sesekali melirik layar ponsel Zeana
Zeana menggeleng, "Biarin napa!" tolak Zeana bete.
"Kali aja penting," sahut Nathan memaksa.
Zeana mendengus, lalu mengangkat panggilan telepon.
¹ Kau disini sendirian? Apa kau datang kemari karena pekerjaan?
² Pulanglah jika kau kemari sendirian, adik perempuan! Ini sudah hampir malam.
³ Tak mau, tak mau!