Chereads / De Pluvia / Chapter 7 - 5. Sub pluvia. <Di Bawah Hujan>

Chapter 7 - 5. Sub pluvia. <Di Bawah Hujan>

Wajah Karina memerah, membayangkan hal yang tak pernah terpikirkan olehnya membuat tubuhnya merasa gerah dan suasana di sekitarnya memanas.

Dengan langkah patah-patah, Karina berjalan kearah Vando yang menatapnya tajam dengan tubuh shirtless. Hujan masih turun dan seolah enggan berhenti.

Jarak diantara mereka tinggal 40 centimeter, dan hujan semakin deras.

"Terjun!"

Karina melotot pada tuan mudanya untuk memastikan pendengarannya tak salah tangkap, "A.. apa?"

"Tuli!" Vando membentak, "Saya bilang, terjun!"

Karina menggigit bibirnya hingga berdarah, berharap bahwa Vando menarik ucapannya. Sekian detik tetap hening, Karina yakin harapannya musnah.

Karina menatap arah bawah dengan pandangan berkunang-kunang, ia takut ketinggian, sejak kecil ia memang acrophobia. Dan sepertinya, tuan mudanya ini menghafal setiap phobia yang dimiliki para pelayannya. Jika tidak, kenapa tuan mudanya menghukumnya seberat ini. Iya kan?

Karina memegang pagar besi itu dengan cengkeraman kuat, dan menaikkan kaki kanannya ke atasnya.

Vando mengangkat sebelah alisnya, tersenyum sinis.

"Loncat! Berenang memutari kolam itu sebanyak sepuluh kali!"

Karina menelan ludah. Demi Tuhan, bukan luas kolam renang itu yang ia permasalahkan sekarang, karena ia bisa berenang. Tapi, ia takut untuk turun kebawah, ia tahu benar ketinggian rumah ini, meski ini bukan lantai tertinggi, ia setengah mati ketakutan jika harus loncat dari ketinggian 30 meter!

"LONCAT KARINA!"

Dengan gerak refleks akibat kaget dampak bentakan tuan mudanya, Karina meluncur jatuh kearah kolam renang dibawah sana.

Penjaga kolam renang kaget mendapati wanita berpakaian pelayan meluncur jatuh, merasa bertanggung jawab, ia langsung menghampiri Karina dengan raut wajah khawatir.

Karina menyembulkan kepalanya dan menyemburkan air dari mulutnya, lalu mengode pada Kae, sang penjaga kolam renang untuk menatap kearah atas.

Karina terpaku sejenak setelah mendapat tatapan tajam tuan mudanya, mengangguk patuh, lalu mundur perlahan dan teratur.

Vando menatap Karina yang berusaha mempercepat laju renangnya dengan seragam pelayan yang membuat tubuhnya berat. Vando tak peduli, ia ingin setiap pelayannya disiplin, dan ia memperingati mereka dengan cara demikian.

Vando menatap kearah gulungan awan kelabu yang menghalangi senja untuk mampir ke bumi.

Dan ingatannya terbang kearah masa dimana ia menemukan seorang gadis yang menjadi alasannya bertahan hingga di detik ini.

***

Suatu sore yang mendung, pertanda kuat bahwa hujan akan turun. Beberapa anak kecil yang berdiri disebuah gedung mewah yang merupakan tempat les mereka berdiri menunggu jemputan mobil pribadi mereka.

Beberapa anak berlari keluar gedung, berputar-putar anggun ditengah hembusan angin. Vando lebih dari tahu bahwa mereka adalah anggota balet yang telah menjadi senior di usia mereka yang masih belia.

Seorang gadis berambut hitam legam yang berada ditengah putaran teman-temannya melirik kearahnya dan tersenyum.

Vando mengangguk, ia kenal dengan gadis itu. Deviela Cathleen, ratu balet angkatan termuda ditahun kemarin.

Vando mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu aplikasi chat untuk menghubungi bundanya, untuk menyuruh Tommy agar segera menjemputnya. Ia merasa ada yang tidak beres, ia merasa ada yang salah, firasat tidak enak menghampiri perasaannya.

Vando kembali memasukkan ponselnya kesaku, ia benci menunggu. Tapi tidak dengan hujan yang menemani, rasa jengkelnya hilang tersapu air hujan.

Tangan kanannya yang tertekuk masuk kedalam saku tersenggol seorang gadis yang berlari kearah sampingnya, yang tampaknya juga menunggu jemputan.

Gadis itu menghembuskan nafas, seolah mengatur aliran nafasnya yang berdesakan agar teratur kembali. Sejenak kemudian, gadis itu mengusap lengannya dan mengeluh.

"Dingin banget sih. Mana gue ga bawa jaket."

Seorang gadis kecil berwajah bulat itu bermonolog sambil menggosok kedua tangannya didepan dada, berharap mampu menghasilkan sepercik kehangatan.

"Ya emang, kan lagi hujan," timpal seorang cowok yang berdiri disamping gadis tadi. Yang tak lain dan tak bukan adalah Vando, "Gak suka hujan ya?" lanjutnya.

"Suka sih." Gadis itu spontan menggeleng, "tapi kalau datangnya gak kenal waktu kayak gini kan jadi males," gerutu cewek itu. Menatap jengkel gulungan awan kelabu yang bertengger di langit.

"Dibikin santai aja lah!" Vando menyeringai sesaat setelah menengadah menatap hujan yang sepertinya terlalu malas untuk menghentikan laju airnya.

"Itu mah, elo!" sergah si cewek. Ia hanya ingin cepat pulang, mood-nya amat buruk hari ini. Meski hujan sedikit menenangkan hatinya.

Vando mengernyit tak nyaman, menatap gadis di depannya dengan sebersit rasa bersalah karena telah memancing emosi gadis tersebut. "Kenapa lo? Suntuk habis di marahin miss Zulia karena ga bisa jawab soal matematika yang dia kasih?" Vando mengangkat sebelah alisnya. Bukan karena sok tahu, ia hanya menebak. Sebab dirinya tadi memang mendengar suara toa miss Zulia yang sedang mengomeli seorang murid.

Pipi gadis itu memerah, sepertinya ia malu sekali.

"Dari mana lo tahu?" Gadis itu berbisik, seolah tidak mampu berbicara karena menahan malu, padahal Vando terbiasa dan sudah mengerti bahwa miss Zulia memang tidak terlalu suka pada murid yang tidak mampu, dan wajahnya selalu saja terkesan seolah meremehkan.

"Semua orang yang les disini juga pasti kenal miss Zulia dari sifat pemarahnya dan suara toanya, tadi kelas les gue pelajaran sastra dan Mrs. Laili ga masuk, semua anak ribut baca novel, suasana kelas juga sunyi, dan boom! Jadilah! Suara melengking Mrs. Zulia ngehancurin ketenangan gue," cerocos Vando mengangkat bahunya.

"Maaf," lirih gadis itu mendesis panjang, dan wajahnya semakin memerah. Ia merasa sangat bersalah, karena ia berkemungkinan menimbulkan rasa tak nyaman di beberapa murid lain, bukan hanya cowok berwajah setampan dewa didepannya.

"Hah? Kenapa? Emang lo punya salah ke gue?" tanya Vando menggeleng tidak mengerti.

"Yah, secara ga langsung sih. Seandainya tadi Mrs. Zulia ga marah-marah ke gue, gue yakin ketenangan lo bakal bertahan lama," terang gadis itu.

"Hey, gue udah biasa... nikmati aja semuanya selagi bisa," balas Vando sembari merentangkan tangannya.

"Gimana caranya?" tanya gadis itu, ia maju 1 langkah ke depan dan menyejajarkan dirinya dengan Vando yang tadi telah maju 1 langkah lebih awal darinya.

Vando menghela nafas, merasa geli dengan pertanyaan yang gadis itu ajukan. Ia bertanya dalam hati, 'apa dia belum pernah menikmati suatu keadaan?'

"I repeat once again, do you like rain?" Kali ini nada bicara Vando agak menggantung, entah kenapa. Tapi, si gadis bisa merasakannya dengan jelas.

"Yes, I like rain," jawab gadis itu setelah diam sesaat, seolah memastikan bahwa jawabannya bersumber dari hatinya.

"Me too," sahut Vando mantap dan meraih tangan kanan si gadis lalu menggenggamnya, dia tidak sadar kalau perilakunya itu membuat si gadis gugup.

"Then, let's prove that we really like rain!" Vando itu menarik tangan si gadis dan membawanya kearah taman yang tersedia hanya untuk anak yang les ditempat tersebut.

Vando berlari menerjang hujan, tangan gadis yang ia genggam menghangat dalam genggamannya. Vando tersenyum tipis, tanpa sadar ia tertarik untuk mengenal gadis itu lebih jauh.

Vando berlari menerabas rumput yang tumbuh tinggi, sesekali menatap sang gadis yang tak kewalahan sama sekali mengimbangi kecepatan larinya.

Justru gadis itu tampak sangat bahagia, Vando menatapnya seolah waktu berjalan lambat, slow motion.

Senyum gadis itu tercetak jelas dalam ingatan Vando, pun dengan tawa serenyah biskuit yang terekam tanpa jeda.

Hujan semakin deras, dan si gadis justru meraih kedua tangan Vando dan mengajaknya berputar secepat gasing

Vando tertawa, si gadis juga tertawa.

Ada kerlip bintang dimata si gadis yang tampaknya sangat bahagia, meski vang Vando tahu, ada sekat tak kasat mata yang gadis itu buat. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua orang yang ada disekelilingnya. Vando tetap bertekat agar kerlip itu tak sampai pudar dan padam.

"How is your heart now?" Vando mengatur nafasnya yang tak beraturan, wajahnya memerah kelelahan

"I feel.." gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam dan menghempaskannya keras. Si gadis menatap Vando intens, membuat Vando salah tingkah.

Dan si gadis hanya tersenyum tak mengerti ketika Vando memlih untuk memalingkan muka.

"Free, how are you feeling?"

Gadis itu berusaha menatap Vando yang melirik ke sembarang arah, memastikan jawabannya.

"Free!" Mereka berdua mengatakannya bersamaan.

"Perasaan kita sama ya?" Si gadis bertanya polos.

"Of course, since we both like the rain." Vando itu mengangguk pasti.

"Bukan hanya menyukai.." sela si gadis itu menengadah, pandangannya menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang menyenangkan.

Vando tersenyum tipis, menatap gadis didepannya kini dengan pandangan seksama.