Suatu besi panjang terhempas, jauh tepat ke punggung telanjang seorang gadis yang tak berdosa. Gadis itu diam, ia lelah untuk berteriak.
Sebuah tamparan keras mendarat untuk kesekian kalinya ke pipi pucatnya, kali ini menyebabkan darah segar mengalir dari lubang hidung mancungnya.
Sebuah jambakan kasar gadis itu dapatkan di rambut hitamnya. Gadis itu memekik kesakitan, meringis.
Sebuah tatapan kebencian ia dapat dari pria yang umurnya ia perkirakan lebih tua dari ibunya, tapi lebih muda dari ayahnya.
'Apa salahku?' Gadis itu merintih dalam hatinya. Menangisi nasib buruknya yang tiba-tiba hadir seperti mimpi buruk.
"Aku kasihan sekali padamu gadis cantik," bisik pria itu di telinganya, membuatnya merinding.
Lalu pria itu melanjutkan ucapannya yang terpotong,
"seharusnya ayah mu lah yang mendapat perlakuan seburuk ini, bukan anak gadisnya yang tak tahu apa-apa."
Hujan masih sederas tadi, dari ventilasi udara yang kotor, gadis itu melihat air hujan meluncur jatuh dengan anggun melalui talang air. Gadis itu tersenyum miris, hujan yang biasanya menjadi penenang, kini beralih fungsi menjadi sebaliknya.
Ketakutan merayap dihatinya ketika seorang lelaki bertubuh kekar menghampirinya dan mengangkat tubuhnya, sesaat setelah ia berusaha menghadapi rasa peningnya, tubuhnya meluncur jatuh ke permukaan tanah yang begitu keras.
Sebuah cambuk menghampiri punggungnya, seolah cambuk itu telah dilumuri sesuatu yang membuat gadis itu merasa kesakitan.
Matanya terpejam rapat.
Dan ketika ia bangun, ia mendapati bahwa itu semua benar-benar mimpi buruk yang berasal dari kenangan buruknya beberapa tahun silam.
Gadis itu diam menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong dan nanar, lagi-lagi ia memimpikannya. Meski terbesit sedikit rasa syukur dalam hatinya karena keadaannya saat ia tidur tidak menyeramkan. Setidaknya ia tidak terlihat sering mengalami mimpi buruk.
Tidak seperti kebanyakan orang yang bermimpi buruk hingga berteriak-teriak kesetanan dan menganggu malam yang seharusnya berlalu dengan damai. Gadis itu bersyukur ia tak seperti itu. Ia pun juga tak perlu repot-repot meminum obat penenang untuk meredakan kalutnya pikirannya, atau pun meminum obat tidur agar tidurnya lebih nyenyak. Psikolog pribadinya berkata, ia lebih dari mampu untuk menstabilkan dirinya sendiri. Meski terkadang, mimpi buruknya datang dan mengganggu tidur lelapnya.
Seperti saat ini, tapi bagaimanapun, ia tak ingin mengeluh, ia selalu mencoba menikmatinya selagi bisa. Karena semakin dilawan, rasa sakit, takut dan kekecewaan itu akan semakin jelas dan dalam.
Gadis itu melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi, sebelum itu ia melirik kearah jam dinding hitam yang menunjukkan bahwa sekarang masih jam 2 pagi.
Gadis itu melengos, ia tak akan bisa tidur lagi. Ia jamin hal itu, karena selama ini setelah ia bermimpi buruk, tak sekalipun ia mampu memejamkan matanya barang sedetik. Malah yang ada, bayang-bayang mimpi buruknya akan datang lagi dan membuatnya semakin ketakutan.
Gadis itu membasuh wajahnya dengan air hangat yang mengalir dari kran wastafelnya, ia merasa sedikit tenang.
Beberapa menit kemudian ketika ia sudah melipat rapi sajadahnya, ia berjalan ke arah balkon dengan langkah tenang. Tentu saja karena ia yakin, jam segini tak akan ada sosok yang bangun di rumahnya, yah, kecuali satpam dan para pembantu yang sedang jaga malam.
Jika saja kakaknya tahu, adiknya sudah bangun di jam segini, dan tak berniat tidur lagi, entah apa hukuman yang gadis itu dapatkan dari sang kakak di esok hari.
Ia mengangkat kepalanya dan menatap bulan dengan tatapan tajam, ia begitu indah, berkilau menenangkan, dan memancarkan cahaya kedamaian serta mampu menghipnotis pikiran menjadi lebih tenang. Sayangnya keindahan itu mampu dinikmati oleh banyak orang. Dan gadis itu tak ingin memiliki jenis keindahan yang sama seperti bulan.
Matahari, gadis itu membayangkan bagaimana matahari dapat bersinar terang, panas dan penuh gairah, bagi seseorang tertentu matahari mempunyai makna tersendiri. Pun begitu pada gadis yang tengah berpikir dalam ini.
Matahari juga indah, ia begitu kuat dan tak tersaingi. Juga indah,dan betapa beruntungnya ia keindahannya tak mampu dinikmati oleh orang-orang hina seperti mereka.
Gadis itu menghela nafasnya perlahan, seolah ia takut nafasnya akan berhenti ketika ia menghembuskannya dengan kasar.
Pikirannya kembali pada kejadian-kejadian yang tak mengenakkan pada hidupnya, sayangnya gadis itu terlalu kuat untuk menanggungnya sendiri, jadilah tak ada seseorang pun yang mengetahui tentang kejiwaan dan mental gadis ini, kecuali dia sendiri, dan psikolog tempatnya bercerita dan tuhan tentu saja.
Selama ini ia berhasil menekan dalam-dalam luka hatinya agar tak sampai naik ke permukaan dan membuat orang-orang di sekitarnya menemukan keanehan pada dirinya. Ia tak mau menjadi sorotan, sekalipun ia sudah sering menjadi pencuri perhatian publik, karena kecantikannya yang unik.
Ia hanya ingin menikmati hidup, bagaimanapun jalannya ia akan menikmatinya. Karena apa? Ia tak memiliki kekuatan magis yang mampu untuk menentang takdir yang telah digariskan. Dan baginya, menentang takdir hanya membuang-buang waktu dan melelahkan.
Terkadang, ia melupakan bahwa mentalnya tak baik-baik saja ketika ia memikirkan betapa bahagianya semua orang yang di sampingnya. Ia hanya memikirkan satu nama untuk itu. Nama seseorang yang berhasil membuatnya tetap berdiri hingga sampai saat ini tanpa seseorang itu sadari.
Special Fated, itu yang tertulis di buku hitam yang berada disampingnya. Tempat ia menceritakan tentang apa yang ia rasakan, kecuali tentang apa yang membuatnya se-down ini. Sebaik apapun buku itu, ia tak akan berani menulisnya disana, setidaknya untuk saat ini, ia tak punya keberanian lebih untuk menanggung akibatnya jika kakaknya mengetahui hal itu.
Tapi ada beberapa, ya... hanya beberapa, dari banyaknya halaman di buku itu ia menuliskannya. Tentu tidak secara gamblang, ia menulisnya dengan penuh hati-hati. Ia menggunakan bahasa kiasan sebaik mungkin. Agar tidak ada yang apa maksudnya selain dirinya sendiri. Dan ia memang berniat menyimpan ini untuk dirinya sendiri. Bukankah, luka juga sebaiknya ditanggung sendiri? Jika kau menceritakannya pada orang lain, maka luka yang seharusnya ditanggung satu orang malah ditanggung oleh dua orang?
Gadis itu mengusap lembut cover buku itu, buku yang ia pesan secara khusus di suatu negara dibelahan eropa sana.
Di halaman pertama tertulis jelas namanya menggunakan tinta yang terbuat dari emas murni yang dicairkan, tulisan miring besambung yang indah.
Zeana Arvarenzya Maldwyn
Meski terkadang ia merasa ada yang aneh dengan namanya sendiri, namanya bukan suatu yang aneh tetapi ia merasa bukan itu namanya yang sesungguhnya. Gadis itu mendengus, merutuk kinerja otaknya yang keluar dari rel kerjanya.
Gadis itu membalik lembarnya lagi, tulisannya 3 tahun silam terpampang jelas di sana, tetap bagus meski tak serapi tulisannya sekarang.
Ia ingat sekali, sore itu setelah ia berkenalan dengan dia, ia langsung menulis namanya di buku itu tanpa perlu berpikir panjang.
[Jovando Adalvino Taiso]
Padahal, ketika diingat-ingat lagi, tak ada yang istimewa dengan perkenalan mereka, hanya ketika berlarian bebas di bawah hujan lah yang membuat gadis itu berjanji akan selalu mengenang kenangan itu.
Setiap rintik hujan yang turun.
Ia menganggapnya sebagai butiran bahagia yang diturunkan langit untuk bumi. Di jutaan rinai yang turun, ia memaknainya dengan hatinya yang penuh. Menganggap bahwa setiap rintik, adalah memori hujan, yang disana terekam jutaan peristiwa.