Chereads / De Pluvia / Chapter 4 - 2. Pluvia Poema. <Puisi Hujan>

Chapter 4 - 2. Pluvia Poema. <Puisi Hujan>

Dan hatinya yang porak poranda selalu damai ketika rintik hujan turun. Meski terkadang hujan mengembalikan semua kenangan, ia tak akan menyesal telah berani mengenang segala yang baginya menyakitkan.

Gadis itu duduk di kursi besi dan menaruh buku hitam tadi si meja bundar yang selalu ada di balkon kamarnya.

Kembali mendongak dan menatap bulan, dan mengingat bahwa dimana dia berada 'mereka' juga selalu ada mengikutinya mengancam nyawanya, merasa bodoh sekali karena ia tetap berharap hidupnya selalu baik-baik saja. Meski terkadang ia merasa harapannya selalu menyakitinya, tapi apa salahnya dari berharap?

Gadis itu menimang-nimang pena timahnya dengan tenang, pena mahal itu berkilau terkena cahaya bulan dan beberapa lampu kecil yang menyinari balkon kamarnya.

Menatap kertas kosong itu dengan wajah sendu, mengingat kenangannya di masa kecil ketika hujan turun.

Gadis itu tersenyum mulai mengerti hal apa yang seharusnya ia tulis. Dengan gesekan pelan pada kertas gadis itu mencoba mengungkapkan isi hatinya lewat puisi yang ia tulis di malam ini.

Hujan dalam ingatan

Sepoi angin yang syahdu meniup rambut gadis itu, menambah ketenangan yang telah gadis itu kumpulkan.

***

Seseorang lelaki masih betah duduk di lantai balkonnya, berkutat dengan laptop yang ia letakkan di pangkuannya. Jam yang menunjukkan bahwa kini sudah jam 2 pagi seolah tak mempengaruhinya untuk bangkit menuju ranjangnya dan tidur bergelung selimut.

Pagi ini suasana cukup terang, jutaan bintang-bintang bersinar terang di langit kelam, sedang bulan sabit yang bersemayam di langit sana laksana lukisan terindah yang tak mampu dilukis oleh seniman sehebat apapun.

Lelaki itu mengirim file yang sudah ia koreksi, file ke-23 yang ia tangani malam ini. Demi Tuhan ia sangat lelah sekarang!

"Tuan Vando?"

Dari balik pintu kamarnya yang terbuka seorang pelayan perempuan berdiri tegap, menunduk hormat, dengan nampan yang membawa secangkir kopi.

"Bawa kemari!" ujar Vando.

Maid itu mengangguk, lalu dengan gerak terlatih dan anggun, ia meletakkan secangkir kopi yang ia bawa di samping tuan mudanya, tersenyum sejenak lalu mengangguk untuk undur diri.

Vanda menghela nafas pelan, dewasa sebelum waktunya memang sangat melelahkan, dan ia terpaksa melalui semuanya sendirian tanpa seorang penyemangat yang mungkin saja bisa membuat hidup lebih berwarna.

Ponsel yang ia letakkan di atas nakas berbunyi nyaring dengan nada yang amat dikenalnya, ia mengerti, salah satu temannya lah yang menghubunginya di jam-jam seperti ini.

Vando menatap malas ponselnya yang masih setia bergetar serta berbunyi nyaring, jarak antara balkon dan nakas itu seolah Korea Utara dan Korea Selatan. Dekat, tapi sulit ditembus. Bukan tembok penyekatnya, tapi rasa malas nya.

4 kali sudah panggilan itu Vando abaikan kali ini terdengar suara tang-ting-tung secara beruntun dan kali ini ia juga yakin bahwa itu adalah spam chat dari pemilik ponsel yang panggilannya enggan ia terima.

Vando menyesap kopinya, menikmati angin malam yang dinginnya mengeringkan kulit wajah, Vando tersenyum tanpa alasan, setelah sekian detik ia menatap langit dan menikmati keindahannya, ia berusaha menemukan maknanya.

Segala sesuatu punya arti dan kelebihan masing-masing. Bintang adalah penghias malam, tanpa nya malam akan terlewati dengan suram dan sepi yang terasa mati. Bulan adalah patokan utama dari keindahan itu, namun tanpa munculnya bulan pun langit sudah tampak indah dengan kerlip bintang.

Berbeda dengan matahari yang hanya ada satu tapi terlalu spesial untuk dibandingkan dengan bulan, matahari adalah bintang yang tak bisa disandingkan dengan bintang biasa, bintang yang kuat dan menjadi pusat tata surya dengan garis rotasi yang mengelilingi, matahari yang tak bisa digantikan oleh apapun, tanpa adanya matahari semuanya hitam dan gelap kehidupan tak akan pernah terbentuk.

Matahari punya sinarnya sendiri, indah namun sulit di pandang, berbeda dengan bulan yang indah, namun tak akan ada apa-apanya jika cahaya matahari tak ada.

Vando ingin menjadi seperti matahari, hanya ada satu dan tak pernah tergantikan. Datangnya selalu dinantikan, hangat dari kejauhan dan panas ketika didekati. Ia ingin menjadi sosok individualis dan mengagumkan pada saat bersamaan, menjadi poros, untuk segala sesuatu yang baik dan buruk mengitarinya, mendapatkan kehangatan dengan jumlah yang sudah tertakar.

Vando menghela nafas, merilekskan tubuhnya yang kaku akibat terlalu lama duduk diam dan tak bergerak.

Ada di suatu waktu ia mengasihani diri sendiri, di saat teman-teman sebayanya menggapai cita-cita masing-masing, mewujudkan mimpi-mimpi tinggi yang sedari kecil sudah mereka gantungkan setara awan, dan ia malah terjebak di sini.

Di antara tumpukan kertas yang selalu menyita waktu tidurnya, membuatnya memeras tenaga dan merampok jatah kebebasannya. Belum, ini belum saatnya ia menanggung itu semua, namun, tua bangka itu, bagi Vando adalah penyebab semua ini.

Bukan ini impiannya, bukan ini keinginannya, bukan ini kemauannya, tapi ia bisa apa? Apa yang harus ia lakukan, agar ayah yang kerap ia sebut tua bangka itu mengerti keinginan nya? Vando ingin pergi jauh, berlari mengejar gadis yang selama ini menjadi alasan ia tetap hidup, menjadi alasan ia tetap bertahan, setelah ia kehilangan berlian yang selalu ia banggakan, setelah ia kehilangan mutiara yang selalu ia elu-elukan.

Ironisnya, ia tak tahu apakah setelah tahun demi tahun berlalu, musim demi musim berganti, perasaan di gadis yang ia cintai sejak pertama kali ia tatap, tetap tumbuh dan semakin mengakar, atau malah seperti daun kuning yang gugur ketika angin sepoi menyenggolnya santai.

Zeana, nama gadis itu.

***

____________________________________________________________________

Hujan dalam ingatan

Dibawah rintikan hujan

Aku mengulang semua ingatan

Di tujuh tahun silam

Ketika waktu mulai larut malam.

...

Aku memandang langit malam

Tak berbintang tertutup awan kelam

Cahaya kilat muncul dalam gelap

Membuat langit terlihat lebih seram.

...

Aku membuka pintu dengan perlahan

Mencoba meraba angin dan bias air melalui tangan

Aku menengadah, memfokuskan pandangan pada satu titik

Tepat ketika kilat bersinar dalam satu detik

Membuat mataku berkedip.

...

Aku berjalan menembus rinai hujan

Mencoba merekam semuanya dalam memori ingatan

Betapa aku bahagia dimalam itu

Betapa aku bebas diwaktu itu.

...

Aku menjatuhkan diri diatas rumput

Membiarkan baju kotor terkena lumpur

Aku tak peduli semua itu.

...

Suara gelegar petir mengagetkanku

Merusak bayangan indah masa lalu

Aku kembali ke masa kini dengan separuh ikhlas

Berharap dalam ingatan , hujan ini tak kan berbekas.

_____________________________________________________________________

Gadis itu menghela nafas kasar, setelah membaca ulang puisi yang dituliskannya.

Kejadian itu dulu sekali, saat ia masih terlalu kecil untuk memahami dunia dengan lebih tajam. Ketika pikirannya masih sepolos kertas yang belum ternoda dan selembut kapas yang biasanya digunakan untuk membalut luka.

Gadis itu menyukai hujan, ia menemukan kedamaian disetiap rintiknya turun perlahan, juga menemukan kebahagiaan sesaat, kala ia mencium petrichor. Ia memilih hujan dari apapun. Dan selalu menantikan jatuhnya rinai hujan dari langit ketika mendung tampak di atas sana.

Hidupnya menjadi idaman para gadis seusianya. Ia sadar hal itu, tapi ia tak bisa membanggakannya. Alasannya simpel, karena meskipun dari luar, tampilan hidupnya sesempurna itu, hatinya tidak.

Gadis itu sebenarnya cukup bingung dengan apa yang menimpanya, tapi hatinya seolah menolak untuk memberi tahukannya pada kakaknya yang selalu peduli padanya, ataupun pada ayahnya yang namanya pernah menjadi alasan bagi seseorang itu mengintai dan mengancam dirinya.

Gadis itu merasa hidupnya penuh teka-teki, penuh kebohongan. Dan bodohnya lagi, ia tak tahu alasannya untuk merasakan hal itu. Gadis itu merasa hidupnya baik-baik saja dari luarnya, tapi ia yakin sekali.. ada sesuatu yang gelap dan tersembunyi yang tak bisa dirinya bahkan orang lain lihat.

Hujan dalam ingatan, tragedi yang terjadi padanya juga terjadi pada sore yang berhujan, sayangnya.. gadis itu tak mempunyai alasan khusus untuk membenci hadirnya hujan yang sebenarnya bisa saja mengingatkannya pada memori buruk yang tersimpan pada lubuk terdalam ingatannya.

Bagaimanapun, bagi gadis itu, semua yang terjadi padanya adalah takdir, ia kuat juga karena takdir, ia sabar juga karena takdir. Ia menganggap dirinya memiliki special fated, atau bisa diartikan... takdir spesial.

Sampai detik ini gadis itu masih mampu bersyukur, ia memiliki kekuatan hati dan kesabaran lebih untuk menghadapi semuanya. Dan mampu untuk tetap terlihat baik-baik saja, itu poin utamanya. Punya keluarga yang lengkap, dengan kasih sayang yang terus menerus mengalir, adalah hal yang patut disyukuri oleh Zeana, setidaknya ia tak merasa sendirian tanpa teman. Sedang yang ia lakukan sekarang hanya diam.

Gadis itu, tetap diam.. ia hanya mampu menunggu sampai takdir sendiri mangatakan usai pada ujiannya, dan sampai saat itu, gadis itu berjanji dengan tekad kuat dalam hatinya.

Ia tak akan memperlihatkan kesedihannya pada siapapun, kelemahannya pada apapun, dan masalahnya pada apa dan siapapun.

Sampai hatinya mengatakan, tidak sanggup lagi bertahan sendirian.