"Apa tujuan lo dateng kesini?"
Syila mencoba melepaskan diri tapi tak juga berhasil. "Maksud lo?"
"Kalau lo nggak punya tujuan, lo nggak mungkin ngemis tempat tinggal di keluarga gue."
Apa yang baru saja cowok itu bilang? Mengemis? Bola mata gadis itu membulat tak percaya. "Saya bukan pengemis, Tuan Muda," ujar syila penuh penekanan.
Jujur saja, syila tidak lagi setakut kemarin. Dia sudah menemukan kepercayaan dirinya yang sempat menghilang, saat berhadapan dengan putra Semata wayang keluarga Prawira yang sangat dingin itu.
"Dan satu lagi, saya ke sini karena tawaran dari orang tua anda agar saya bisa lanjutin sekolah dan kuliah. Nggak ada yang lain."
"Bullshit! Lo pikir gue percaya omong kosong lo?".
"Gue nggak minta lo buat percaya. Tapi memang seperti itu kenyataannya," sahut syila tak kalah dingin. Dia mendongak dan meringis merasakan pergelangan tangannya dicengkeram semakin kuat di atas tubuhnya.
"Gimana sama kekayaan keluarga gue, hm? Pengemis kayak lo butuh uang banyak buat bertahan hidup, kan?"
"Gue nggak tertarik."
Emosi alex membakar kewarasannya. Dia sama sekali tidak mempercayai perkataan gadis bermata bulat di hadapannya. Dia menelusuri tubuh syila dari atas ke bawah. Gadis itu tengah memakai atasan kaus putih longgar dan celana hitam yang tidak terlalu memperlihatkan lekuk tubuhnya. Namun tetap saja, tatapan Alex membuatnya membuatnya tidak nyaman.
"Lo mau ngapai –hmpppttt!!"
Mata syila terbelalak saat tiba-tiba alex memajukan tubuhnya dan mencium bibir tipisnya. syila berusaha melepaskan diri dari alex. Ini sama sekali tidak benar!
Syila tidak bisa berkutik. Tidak bisa melarang Alex menghentikan perilaku bejatnya pada bibirnya yang belum pernah terjamah sama sekali.
Ya, itu adalah ciuman pertamanya. Dan dengan kejamnya diambil oleh seorang cowok asing, bukan pacarnya dan lebih parah tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Bukan salah syila, jika ia memberi julukan alex seorangi Raja Iblis? Tingkahnya benar-benar menunjukkan kalau dia bukanlah manusia.
alex melepas tautan bibir itu setelah beberapa detik seraya menyeringai tipis. "Bibir lo... ternyata manis juga."
Syila merasa dilecehkan oleh cowok jangkung itu. Brengsek! Ucapnya dalam hati. Tangannya terkepal kuat, ingin mengatakan itu di depan alex langsung namun ia masih sadar jika dirinya harus menghormati salah satu anggota keluarga Prawira. Salah satunya dengan tidak mengumpat kasar dan memukul cowok itu..
"Lo bilang mau sekolah, kan? Lo tau kan sekolah itu nggak gratis?" syila memalingkan wajahnya saat alex meraih dagunya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya masih menggenggam kuat pergelangan syila. Entah kapan cowok itu akan melepasnya. "Gimana kalau elo bayar dengan tubuh lo aja?"
"Tubuh gue bukan alat pembayaran, sialan!" Kali ini syila tidak mengatakannya dalam hati. Langsung mengatakannya di hadapan alex, lantang dan tanpa rasa takut sedikitpun. Nafasnya terengah engah oleh amarah. Kalau saja alex tidak memegangi tangannya dengan kuat, mungkin ia akan memberi hadiah tonjokan pada cowok yang berani melecehkannya itu.
alex sempat terkejut, namun ia berhasil menyadarkan dirinya kembali. "Oh, lo pengin bikin gue terkesan dan jatuh cinta ke elo setelah nolak ciuman gue dan tawaran gue? Sorry, tingkah lo mudah tertebak."
"Nggak usah terlalu percaya diri!" seru syila lantang. Saat alex sedang lengah, syila segera melepaskan tangannya lalu mengusap bibirnya dengan kasar.
"Gue nggak punya alesan buat jatuh cinta ke elo. Gue nggak tertarik sama orang yang nggak bisa hargain orang lain kayak elo!"
alex mendecih lagi. Tidak memiliki kepercayaan sedikitpun pada perkataan syila meski gadis itu berani menatap matanya. Pertanda jika syila tidak berusaha berbohong.
"Oh ya? Gue nggak akan tertipu biarpun lo nyangkal ratusan kali."
"Terserah! Gue juga nggak mau ngabisin waktu ratusan kali buat ngurusin pikiran buruk lo tentang gue itu!"
syila menatap tajam pada alex sebelum memutuskan keluar dari kamar milik cowok itu. Sementara alex hanya diam. Cowok itu hanya menatap punggung syila dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Lo pikir lo adalah orang yang paling nakutin di muka bumi? Lo nggak tau gue pernah hadepin orang yang jauh lebih horror daripada lo, alex!" uvap syila dalam hati sambil berlalu, tiba-tiba terlintas dipikiran nya seorang wanita yang pernah memarahinya di restoran tempatnya kerja part time beberapa bulan lalu. syila bergidik ngeri mengingatnya. Sungguh, wanita itu adalah alasan mengapa Syila belum memutuskan kerja part time lagi.
"Aaw!" Namun sepertinya syila lupa kalau sisa kekacauan yang dibuat alex masih ada di depan pintu. Sandal rumahan yang dipakai tidak mampu melindungi tepian kaki nya hingga pecahan gelas berhasil menggoresnya. syila menunduk dan menemukan kakinya sedikit berdarah.
"Mbak syila nggak apa-apa?!" rani yang baru datang tergopoh-gopoh memeriksa kaki syila yang luka.
Pelayan itu tampak khawatir sekaligus bersalah. "Maaf, Mbak syila jadi terluka gara-gara saya lama ambil kain pel."
"E-eh, nggak usah minta maaf, Mbak. Ini aku yang ceroboh, kok. Sini Mbak, aku bantuin!" syila meraih roti yang dibawa rani dan mulai mengumpulkan pecahan gelas menjadi satu. Mengabaikan luka di kakinya yang tidak terlalu besar namun tetap terasa perih.
Dalam waktu sekejap, lantai kembali bersih. Diam-diam syila melirik dongkol pemilik kamar yang sedari tadi tidak keluar sama sekali. Benar-benar nggak punya hati, pikirnya.
"Makasih, ya, Mbak. Saya benar-benar nggak bisa bayangin kalau tadi nggak ada Mbak syila."
"Sama-sama, Mbak." syila tersenyum manis. "Oh, ya, Mbak, ini."
"Iya, terimakasih sekali lagi."
"Oh ya, Mbak, bentar! Sebenarnya aku penasaran." syila mengurungkan niatnya untuk masuk kamar, lantas melirik sekeliling lalu berbisik, "Tadi kenapa dia sampai marah kayak gitu?"
"O-oh, tadi Mas alex menyuruh saya membuatkan susu coklat hangat. Tapi katanya , susunya terlalu dingin. Jadi nya marah." rani sengaja menurunkan volume suaranya agar alex tidak mendengar atau dia akan benar-benar dipecat. Dipecat disaat baru bekerja satu minggu bukanlah hal yang bagus.
Syila mengangguk paham. Satu hal yang tidak ia pahami, apa semua orang kaya akan melakukan tindakan seenaknya seperti itu?
"Ya, udah, makasih. Akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Mbak rani juga tidur yang nyenyak, ya? Nggak usah kepikiran soal tadi. Yang penting Mbak rani nggak jadi dipecat."
Rani menggumamkan kata terima kasih, sebelum membawa peralatan dan pecahan gelasnya ke belakang, sementara syila berniat kembali ke kamarnya untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Hanya saja, sebelum itu terjadi, seseorang menabrak punggungnya hingga syila nyaris tersungkur. Untungnya dia berhasil memegangi tembok sebagai pegangan.
Orang itu adalah alex. Melirik syila dengan ujung matanya, sekilas, lalu kembali melangkah pergi. Tanpa ucapan maaf. syila mendesis kesakitan.
"Arrgghhh!!!"
Syila melemparkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya ia sembunyikan di bawah bantal, lalu berteriak sekeras-kerasnya disana. Kakinya bergerak asal dan tangannya memukul bantal yang tak berdosa dengan brutal. Tidak menghiraukan luka di kakinya yang hanya ia basuh dengan air di kamar mandi.
Syila sedang berupaya meredam emosi yang membludak akibat seorang cowok bernama alex yang dengan kurang ajarnya mencuri ciuman pertamanya.
Ciuman pertama yang syila jaga untuk orang yang ia cintai di masa depan, harus hilang dalam sekejab mata tanpa izin pemiliknya.
Memang, syila tampak biasa-biasa saja. Seakan ia tidak terprovokasi walaupun kenyataannya syila ingin sekali menonjok, dan mencakar nya sepuas yang ia mau sebagai bentuk pertahanan diri. alex beruntung tidak menerima perlakuan itu karena syila masih sadar diri dan ingat dengan kebaikan orang tua cowok itu.
Syila lebih tenang beberapa menit kemudian. Dadanya naik turun ketika nafasnya belum benar-benar stabil. Kemudian mengubah posisinya menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi bintang hasil kerja keras syila yang memasangnya tadi siang. Entah disadari atau tidak, syila mengangkat jemarinya untuk meraba permukaan bibirnya yang tak lagi suci. Lantas mengingat wajah alex yang tadi berjarak sangat dekat dengannya. Dan juga bibir Alex yang lembut masih tersisa di sana.
"Sialan! Sialan! Sialan! Apa yang lo pikirin!"
Ia kembali bergerak brutal. Berguling ke kanan-kiri, dari sisi kanan berguling ke sisi lainnya. Sampai akhirnya, syila kelelahan sendiri.
Tapi tidak apa-apa. Sekarang perasaan syila jauh lebih ringan. Emosinya telah memadam sedikit demi sedikit. Tapi tidak tahu kalau syila berhadapan dengan alex lagi.
Siapapun tolong ingatkan syila untuk bersikap biasa saja ketika bertemu dengan alex.
Tok! Tok! Tok
syila terbangun ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.
"ila, udah tidur?" tanya seseorang dari luar.
"Tante vina?"
syila bergegas merapikan sprei dan penampilannya. Dia berlari membuka pintu kamarnya tergesa-gesa. vina sudah berdiri di depan kamarnya dengan penampilan biasa, tak lagi bergaun mewah seperti dua jam yang lalu.
"Tante ganggu, ya?"
"Nggak kok, Tan. Mari masuk!"
syila mempersilahkan vina memasuki kamarnya. Wanita itu duduk di atas ranjang, memandang sekeliling kamar syila dengan takjub. Ia sangat pintar mendesain kamarnya hingga enak dilihat dan tampak nyaman. Tata letaknya juga tampak dipikirkan dengan matang dan rapi.
"Aku kira Tante belum pulang ."
"Udah, kok. Sebenarnya Tante nggak terlalu suka pesta. Berisik. Jadi Tante ngajak pulang terus."
"Mungkin Tante terbiasa dengan ketenangan?" tebak syila. Dia duduk di kursi belajar, berhadapan dengan vina.
"Bisa jadi. Kalau nggak tenang kan, Tante nggak bisa dapet inspirasi." vina teringat tujuannya jam sembilan malam ini ke kamar syila. Tak lama, ekspresi vina berubah serius. "Tante mau ngomongin sesuatu sama kamu."
Dia hanya mengangguk.
"kan kamu pindah kesini. Kamu tau kan, sekolah kamu jauh banget dari sini?
"Eung... iya. Sekitar satu jam dua puluh menit."
syila sebenarnya juga memikirkan hal yang sama. Awalnya syila juga kebingungan dengan nasib sekolahnya. Ia baru tahu tadi pagi jika ternyata kediaman Prawira lumayan jauh. Ah, tidak lumayan, tetapi sangat jauh untuk mencapai sekolahnya. Sebenarnya tidak terlalu berat jika ia memiliki kendaraan pribadi, tapi selama ini ia selalu menggunakan fasilitas transportasi umum.
"Nah, benar kan? Bukannya Tante nggak mau nyuruh sopir buat nganter sekolah, tapi Tante mikirin kamu bisa kecapekan di jalan. Kamu juga bakal ngabisin banyak waktu di jalan nantinya. Jadi, kamu mau nggak, pindah sekolah?"
Pupil mata nya melebar. Ucapan vina benar-benar tak terduga. Setelah berhasil membuat syila terkejut karena keinginan untuk memboyongnya ke rumah, kini wanita itu kembali mengejutkan nya dengan hal lain. Meminta nya pindah sekolah bukan memberi solusi supaya perjalanannya ke sekolah lebih mudah.
"Tapi... itupun kalau kamu mau. Tante nggak maksa, kok. Kamu pasti susah ninggalin temen-temen kamu."
Lagi-lagi itu membuatnya diterpa kegalauan dalam memilih dua hal yang sangat sulit. Tetap belajar di sekolah lamanya namun terhalang jarak, atau pindah sekolah dengan konsekuensi nya harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru. Walaupun sejujurnya dia adalah tipe cewek yang mudah beradaptasi. Sifatnya yang ramah, ceria dan positif menjadi poin mempermudah adaptasi di lingkungan baru seperti sekolah. Dan seharusnya syila tidak mempermasalahkan hal itu.
Tapi tetap saja, ada beberapa hal yang menahan nya untuk tidak segera mengambil penawaran vina. Bagaimana syila bisa pergi dan meninggalkan sahabat sehidup-sematinya? Lalu teman-temannya yang lain?
"Tan..." syila menggigit bibirnya, ragu untuk bicara. "Bisa... ngasih ila waktu, nggak?"
vina tersenyum. Jemarinya terangkat dan mengelus elus rambut syila. "Kamu pikirin baik-baik, ya. Tante tunggu keputusannya besok. Sekarang kamu tidur aja."
Sepertinya vina paham sekali bahwa syila masih sulit untuk memutuskan. Karena itu, vina memberi waktu agar syila berpikir dan menemukan pilihannya. Lagipula, apapun pilihan nya nanti, vina tetap akan menyediakan fasilitas agar ia aman, selamat dan tepat waktu ke sekolah.