Chereads / life must Go on / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Vina dan Syila mendatangi dapur. Beberapa pelayan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, terdengar jelas suara pisau yang tengah beradu di atas talenan kayu. Ruang dapur keluarga Prawira tampak luas dan megah. Meja makan terletak tidak jauh dari dapur, sehingga lebih cepat dalam menata makanan di atas meja.

"Selamat pagi, Mbak." sapa Syila sambil tersenyum ke arah mbak Rani yang kebetulan tengah menggoreng sosis.

"Ada yang bisa Ila bantu?"

"Mbak syila tunggu di meja makan aja."

Syila menggeleng. Lebih baik dia membantu mbak Rani dan pelayan lain daripada menunggu di meja makan bersama Alex. Diberi 'makanan pembuka' berupa tatapan dingin Alex sebelum memulai sarapan.

"Mbak, sini aku gantiin!"

"Nggak perlu, mbak. Ini udah selesai, kok. Tinggal gorengan terakhir."

"Ya, udah aku tungguin aja. biar aku yang bawa ke meja makan."

Pembicaraan Syila dan mbak Rani berhasil membuat seseorang yang berada tidak jauh dari mereka tersenyum. Dia adalah bi Yani, seorang wanita berumur enam puluh lima tahun yang dipercaya sebagai kepala pelayan. Sebagai pembantu rumah tangga keluarga Prawira selama puluhan tahun, bi Yani sangat bahagia memiliki majikan baru seramah Syila. Karena tuan muda alex tidak memiliki sifat serupa. Saking dinginnya sikap sang tuan muda, bi Yani saja masih merasa segan bicara dengan alex.

Beberapa menit kemudian, beberapa menu makanan tersaji. Menu utama pagi ini adalah nasi goreng, dengan tambahan sosis goreng dan sayuran segar. Setelah menyelesakan tugasnya yaitu menata piring di atas meja, Syila memilih duduk di salah satu kursi sebelah Vina.

Alex mendongak, mendapati syila yang duduk di kursi seberangnya, hal itu sukses membuat Alex kehilangan nafsu makannya. Dia lalu mengambil tas sekolahnya, membuat vina keheranan.

"Kamu mau kemana, Alex? Sarapan dulu!" ucap vina.

"Udah kenyang, Ma. Barusan Alex makan roti." Alex menunjuk roti tawar yang selalu disediakan di atas meja makan.

"Itu udah mama bikinin nasi goreng kesukaan kamu, lho."

"Enggak deh, Ma, kenyang. Alex berangkat aja."

"Ngapain buru-buru? Biasanya mau jam tujuh baru berangkat." vina belum menyerah. Entah mengapa Alex merasa sang mama ingin menahannya di ruang makan.

Alex menghela nafas. Sang mama tidak tahu kalau putranya sedang tidak ingin berada di tempat yang sama dengan seseorang. Alex melirik sinis seseorang yang tengah asyik memainkan bibir gelas tinggi berisi air putih miliknya.

"Mama mau ngomongin sesuatu sama kamu, sama syila juga."

Syila seketika menoleh seraya mengerjapkan matanya. Membicarakan sesuatu dengannya Dan Alex?

"Maksud mama? Kenapa harus aku dan" Alex mendecih, tidak berminat melanjutkan perkataannya. Dia menatap Syila datar, dan dibalas dengan tatapan datar pula oleh gadis itu.

"Udah ah, duduk dulu!"

Syila memandang vina takjub. Wanita yang tampak lemah lembut itu ternyata bisa tegas juga. Nyatanya, Alex kembali duduk di kursinya meski dengan terpaksa dan berdecak. Decakannya terdengar jelas oleh sang kepala keluarga yang sedari tadi sibuk dengan koran paginya.

"Dengerin aja omongan mama kamu. Mama kamu mana mungkin ngelarang kamu berangkat kalau emang nggak penting." ucap Raka. Meski begitu, mata pria paruh baya itu tidak lepas dari koran bisnisnya.

"Benar, itu!" vina menyahut sambil terkekeh puas karena mendapat pembelaan dari suaminya.

Syila tidak menjawab. Cowok jangkung itu memilih untuk menyalakan ponsel keluaran terbaru miliknya, lantas membuka akun media sosial. Itu lebih baik daripada melihat wajah penghuni meja makan yang menyebalkan.

"Karena kamu buru-buru, mama mau ngomong sekarang aja."

"Iya, Ma." Alex mematikan layar ponselnya. Ia hafal sekali kalau mamanya tidak suka diabaikan ketika bicara.

"Karena Syila setuju pindah sekolah, mama mutusin buat masukin Syila ke sekolah favorit. Syila akan pindah sekolah ke SMA Nusa Bangsa, sama kamu. Mama akan segera ngurus kepindahannya termasuk berkas yang dibutuhkan secepatnya."

"Terus?" Alex menaikkan alisnya. Dia merasa kepindahan sekolah syila tidak ada hubungannya dengannya. Memangnya kenapa kalau pindah? Alex harus bersorak senang? Cih, mamanya berharap terlalu banyak jika berpikir seperti itu.

"syila akan Mama daftarkan dengan menggunakan identitas sebagai sepupu kamu."

"Sepupu?" seru alex dan stila bersamaan. Ya, bersamaan. Di detik yang sama setelah vina menyelesaikan satu kalimatnya. Alex dan syila kontan berpandangan sepersekian detik sebelum mereka memalingkan wajah.

"Mama... bercanda, kan?"

"Serius, lez. Untuk apa Mama bercanda?" tanya vina dengan ekspresi yang dibuat seserius mungkin. "Atau kamu mau mama tulis Syila sebagai istri kamu? Mama sih mau-mau aja kalau syila beneran jadi istri kamu."

"Astaga, Ma!" alex mengurut dahinya. Kepalanya terasa akan meledak detik itu juga. Kenapa mama bisa berpikir satu hal yang jauh tidak masuk akal?

Hal yang sama juga dirasakan syila. Gadis itu seakan kehilangan fungsi indera pengucapnya. Memang ia sedang kehilangan fungsi indera pendengaran hingga mendengar sesuatu yang aneh-aneh.

"Tante... Aku cuma setuju buat pindah sekolah ke tempat yang dipilih Tante. Bukan setuju untuk..." Violet mulai bicara. Dia juga tidak percaya kalau identitasnya akan berubah menjadi saudara sepupu Alex. Mana ada sepupu yang memberi tatapan kebencian pada sepupunya sendiri?

"gak ada pilihan lain, Ila." sela vina cepat. "Karena kalian tinggal di rumah yang sama, otomatis alamat kalian juga sama. Mama nggak mau ada berita buruk yang muncul saat ada yang tau kamu tinggal sama Alex sedangkan kalian gak ada hubungan apa-apa. Kalau sampai berita itu kesebar, nama baik kalian juga yang rusak. Satu-satunya jalan keluar yang tepat adalah mengisi berkas identitas kamu sebagai sepupu Alex."

"Gak mungkin ada berita kayak gitu, Ma." ujar Alex. Dia masih belum mau menganggap Syila sebagai sepupunya. Bagi Alex Syila tetaplah orang asing, dan selamanya akan menjadi orang asing!

"Mencegah lebih baik daripada mengobati, kan? Kalau beneran terjadi, gimana? Kamu yakin bisa handle semua akibatnya?" Devina menaikkan sebelah alisnya, menunggu reaksi Alex yang tak berubah. Cowok itu sibuk memegang dahinya karena kepalanya terasa pening. Entah apa kejutan yang diberikan mamanya besok-besok lagi.

"Udah ah, kamu ngikutin mama aja. Nggak bakal terjadi apa-apa, kok."

"Ma.."

"Untuk sementara, cukup itu yang bisa mama omongin. Setuju atau nggak, mulai detik ini Syila adalah sepupu kamu. Titik!" ucap vina, pertanda perdebatan dengan putra semata wayangnya itu berakhir tanpa memberi kesempatan Alex untuk mendebatnya lagi.

Diam-diam Alex menatap Papanya untuk minta pertolongan. Namun Raka hanya menggeleng pelan. Dia tidak mau ikut campur kali ini.

"Udah mau jam tujuh, tuh. Cepet berangkat, lex!"

Demi Tuhan. Kalau vina bukan seorang wanita yang melahirkan dirinya ke dunia dan mengalami banyak penderitaan untuk mempertahankannya, Alex tidak segan untuk menyumpahi wanita itu. Meluapkan emosinya yang mendidih layaknya air panas dalam panci.

Alex ingat, dia masih punya satu orang untuk bisa ia gunakan untuk meluapkan emosinya.

Akhirnya Alex berdiri. Dia tidak ingin berlama-lama di tempat yang memuakkan itu. "Alex berangkat," pamitnya singkat, padat, dan jelas.

"Hati-hati, sayang!" balas vina tanpa beban. Seakan tidak melakukan apapun, padahal tanpa sadar dia telah menimbulkan suatu presepsi lain di diri alex tentang syila.

Cowok itu semakin yakin, ada rencana yang disembunyikan Syila dan mendiang mamanya. Rencana yang kemungkinan menjadi bom waktu yang mampu menghancurkan semuanya jika ia tidak segera menjinakkan bom itu.

~~~

"Halo?"

"Na..."

"Kenapa lo? Masa baru pindah rumah udah kena masalah aja?"

Kepala Syila bersandar di besi pembatas balkon, memeluk kakinya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya memegang ponsel yang tengah tersambung dengan seseorang.

Matahari semakin meninggi, tanda hari semakin siang. Syila terpaksa harus libur sekolah hari ini dan mungkin satu minggu ke depan untuk mengurus kepindahannya. vina sudah memberitahunya setelah sesi sarapan yang sangat tidak mengesankan pagi tadi.

"Kapan masuk sekolah? Mentang-mentang pindah rumah terus nggak sekolah gitu?"

Syila ingat,, sahabat terbaiknya, tidak tahu menahu perihal kepindahannya yang mendadak.

"Gue mau ngomong sesuatu."

"ngomong apaan, dari tadi Cuma diem dong lo?"

"Serius, Ndut!" seru syila disertai umpatan.

Tidak heran, keduanya tidak hanya sekedar sahabat, sudah seperti saudara kandung yang tidak terlepas dari saling mengumpat satu sama lain. Salah satunya adalah panggilan 'Gendut' yang syila berikan karena sahabat kesayangannya itu memiliki pipi bulat. Sering kali Syila akan menggigitnya ketika terlalu gemas.

"Iya, iya. Galak banget sih ah!"

"Sebenernya... gue pindah sekolah. Gue nggak sekolah di sana lagi..."

"Anjir! Nggak usah bercanda, lo!" Syila seketika menjauhkan layar ponselnya saat suara cempreng ana yang berteriak menembus gendang telinganya.

"Gue nggak bercanda," sela syila. Dia sudah menduga jika ana akan bereaksi serupa.

"Dan lo nggak ngomong ke gue dari kemarin waktu lo pergi?"

"Gue baru mutusin pindah sekolah tadi malem, Na. Kata Tante vina gue nggak mungkin bolak-balik rumah-sekolah dengan jarak yang lumayan jauh. Gue bisa capek di jalan, ngabisin waktu juga."

"Kalau gitu kenapa nggak dari awal sekalian lo nolak ajakan dia pindah rumah?"

"Nggak kepikiran. Lagian awalnya gue pikir rumah Tante vina nggak terlalu jauh dari sekolah."

"Lo belum pernah ke rumah Tante vina sebelumnya?"

"Belum."

Kinan mendengus di seberang telepon. Dia jadi meragukan kepintaran Syila. "Terus lo pindah kemana sekarang?"

"Rencananya di SMA Nusa Bangsa."

"GILA! Itukan SMA swasta terfavorit di Jakarta?! Yang biayanya satu semester sama kayak biaya sekolah kita tiga tahun?!"

"haaah? ... Gak becanda kan lo?"

Syila mengendikkan bahu meski Ana tidak melihatnya. Syila tidak lagi tertarik meski SMA itu adalah sekolah terfavorit di Jakarta, atau terfavorit di Indonesia, atau bahkan terfavorit di seluruh dunia. Karena yang menjadi masalah nya sekarang adalah syila harus sekolah di tempat yang sama dengan seorang cowok yang kemarin menyulut amarahnya. Cowok yang kini harus ia anggap sebagai saudara sepupunya.

"Halo? Ila lo masih idup kan?"

"Ngedoain gue mati?"

"Haha ya nggak lah! Udah dulu, ya? Udah bel masuk ini! Nanti gue telpon lagi."

Syila melihat jam di layar ponselnya. Sudah jam setengah sebelas . Pantas saja jam istirahat berakhir. Syila harus rela telponnya dengan sang sahabat nya itu berakhir. Ana harus kembali belajar, dan syila juga harus kembali menyadari takdir Tuhan yang lain yang digariskan untuknya.

"Iya deh. Salam ke anak-anak lain!"