Hanya ada satu kata yaitu Lelah. Itulah yang dirasakan Syila setelah berkeliling mall, makan siang, lalu berkeliling lagi. Kakinya seolah mau patah, padahal dia memakai flat shoes yang bersahabat dengan kakinya. Tampaknya Vina tak kalah lelah. Bahkan wanita itu langsung melemparkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu sambil memukul pelan bagian bahunya yang tegang.
"Capek ya, Tan?" Syila menawarkan diri memberi pijatan kecil bahu vina agar wanita itu merasa bahunya lebih rileks. "Tante sih, ila bilangin pulang aja malah tetep lanjut shopping lagi. Padahal Tante bisa beliin sepatu lain kali."
"Sekalian, ila. Abis ini Tante nggak bisa ngajak kamu keluar lagi. Kamu sibuk sekolah, terus kerjaan Tante udah nunggu di ruang kerja." vina terkekeh di akhir kalimat. "Eh ngomong-ngomong, pijatan kamu enak juga. Belajar dimana?"
"Gak belajar, kok. Dulu iseng pijetin Bunda. Soalnya tiap pulang kerja, mama selalu ngeluh capek dibagian lengannya. Ila bantu mijetin mama dan lama-lama jadi kebiasaan."
"Dulu mama kamu kerja apa?" vina hanya tahu Siska bekerja di tempat usaha tetangganya tanpa tahu usaha apa itu. vina selalu merasa tidak enak jika harus bertanya macam-macam soal mendiang Siska. Dia baru berani bertanya di waktu-waktu tertentu, misalnya ketika Siska tiba-tiba melibatkan bundanya dalam sebuah topik pembicaraan.
"Bikin roti. Tempat produksinya gak jauh dari rumah. Karena pemilik tokonya deket sama Mama, beliau sering bantuin Mama ke Rumah Sakit kalau nyerinya kambuh. Bahkan waktu aku pamitan pindah kemarin, mereka keliatan shock dan berpesan supaya aku gak lupain mereka. Aku juga janji bakal ngunjungi mereka waktu liburan nanti."
Syila tersenyum manis, membuat vina ikut tertular senyumnya.
Entah terbuat dari apa hati seorang Siska. Dia masih bisa tersenyum ketika mengingat bundanya yang telah tiada. Vina yakin, tidak semua orang memiliki sifat positif yang dimiliki Syila, bahkan vina belum tentu memilikinya.
"Sudah, deh. Entar gantian tangan kamu yang capek. Makasih, sayang." vina merasa bahunya lebih rileks dari sebelumnya. Dia mengelus puncak kepala Syila, sebuah kebiasaan baru ketika vina menunjukkan kasih sayangnya pada gadis yatim piatu itu.
"Kalau butuh pijet lagi, langsung kasih tau ila aja!"
"Jangan sebel kalau Tante gangguin malem-malem cuma buat mijetin Tante, ya?"
"Iyaaa," balas Syila mendayu-dayu hingga membuat vina tertawa puas.
Cklek!
"Oh, Alex? Udah pulang, sayang?" tanya vina melihat Alex baru saja membuka pintu utama.
Cowok jangkung itu sempat terlonjak sedikit, sebab biasanya ia disambut dengan kesunyian. Maka maklum jika melihat vina duduk di ruang tamu membuatnya terkejut. Apalagi ditambah dengan beberapa paperbag yang diletakkan sembarangan di atas meja.
Sedangkan untuk Syila, Alex tidak perduli dengan keberadaan gadis itu.
"Mama ngapain?" tanya Alex menghampiri vina.
"Abis dari mall . Beliin keperluan Syila sebelum mulai sekolah."
Jawaban vina sukses mengerutkan kening Alex. Cowok beriris cokelat itu tak segan memberi tatapan tajam pada Syila.
"Pinter banget nguras duit Mama gue sampek sebanyak ini. Dasar gadis penjilat! " ucap Alex dalam hati. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak bersahabat.
Vina melihat lagi sirat kebencian itu, lalu menghela nafas. Dia menarik tangan Alex agar duduk disampingnya. Kini wanita itu diapit oleh Alex dan Syila yang sedari tadi tidak beranjak dari duduknya. Menyandarkan seluruh punggungnya di badan sofa.
"Jujur sama mama, kamu kenapa keliatan benci banget sama Ila?" tanya vina meski lebih mirip menginterograsi.
Alex memalingkan wajahnya. Tidak mau sang Mama melihatnya berbohong. "Gak apa-apa."
"Tatapan kamu enggak bisa bohong, Alex." Mungkin alex lupa, vina telah mengenalinya luar dalam sebagai seorang ibu.
"Tatapan alex emang kayak gini, Ma. Mau gimana lagi?" sahut alex tak mau kalah. Cowok itu berniat bangun dari posisi duduknya, namun segera ditahan oleh vina.
"Iya udah. Tapi inget, kamu harus bersikap lebih baik ke syila. Bagaimanapun, syila sudah menjadi bagian keluarga kita. Dia saudara sepupu kamu, ingat?"
"Iya, iya, Ma." alex menyela cepat, ingin segera meninggalkan tempat itu.
"Oke. Kalau kamu sampai melakukan sesuatu yang nggak pantes ke Syila, baik di rumah ataupun di sekolah, Mama bakal membekukan semua ATM kamu dan nggak akan ngasih kamu uang jajan selama satu bulan penuh. Ngerti?" ancam vina dengan serius. Tidak ada raut bercanda di wajahnya.
"Ma! Mama bercanda, kan? Masa cuma gara-gara cewek ini mama main-main sama ATM aku? Mama nggak akan tega. Aku yakin." Alex mencoba berpikir positif. Selama ini, senakal apapun perilaku alex di luar sana, Vina tidak pernah mengancam alex sampai melibatkan kartu ATM cowok itu. Bahkan hukuman vina yang paling parah adalah melarang alex diantar sopir atau taksi ke sekolah, membuatnya mau tidak mau naik bis umum berdesakan dengan pelajar lainnya.
"Gak percaya? Butuh bukti? Pokoknya kalau Mama lihat kamu bikin masalah sama syila, Mama nggak akan segan membekukan ATM kamu saat itu juga!" Raut wajah vina sedikit melembut melihat kerutan samar di wajah alex, lantas menepuk pelan bahu putranya yang tegang akibat ancamannya. "Jadi, Alex Sayangku, tolong bersikap baik-baik ke syila. Oke? Kalau nggak, kamu tau jelas akibatnya, kan?"
~~~
Syila baru saja selesai membersihkan tubuh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia meletakkan handuk basahnya di sandaran kursi, lalu membuka pintu kamarnya sedikit, hanya sebatas ujung jari. Semenjak kejadian Alex tiba-tiba masuk kamarnya, syila menjadi sedikit takut cowok itu kembali masuk kamarnya tanpa izin. Beruntung waktu itu vina tidak tahu.
Bagaimana kalau tahu? Ada dua kemungkinan. Alex yang disalahkan atau bahkan syila ikut terseret. Bukan tidak mungkin kalau vina serius dengan ancamannya untuk menikahkan Syila dan cowok dingin dan agak kurang ajar itu. Benar-benar mengubah status syila menjadi istri alex. Sial! Benar-benar mimpi buruk kalau sampai terjadi!
Dan keputusan untuk membuka pintu sedikit sangatlah benar. Karena sosok yang kini berada di depan kamarnya adalah alex.
"Mau ngapain lo?!" tanya syila galak, namun tetap tidak lupa menurunkan volume suaranya agar tidak terdengar oleh vina yang sekarang entah dimana.
Alex mendecih malas. "Gue mau bikin perhitungan sama lo. Buka pintunya!" perintah alex seraya mendorong kecil daun pintu malang itu.
"Gak! Jangan berharap banyak!" syila mengerahkan tenaganya untuk menahan pintu agar tidak terbuka. Bahkan syila sudah berencana untuk mempertemukan daun pintu dan dahi alex sekalian kalau cowok itu masih memaksa masuk.
Aksi saling dorong pintu tak terelakkan. Alex bisa saja mendobrak pintu kamar berwarna putih gading itu. Tapi alex tidak mau mengambil resiko vina akan mendengar kegaduhan di lantai atas. Alex harus berkilah seperti apa?
"Kamu ngapain, alex?!"
Sebuah suara yang terdengar tiba-tiba sukses membuat gerakan alex terhenti. Begitu pula syila yang ikut mendengar suara tak asing di telinganya itu.
Suara vina.
Alex melepaskan tangannya dari pegangan pintu, lantas memutar tubuhnya dengan raut ketakutan. "M-ma..."
"Baru beberapa jam yang lalu mama ngasih peringatan ke kamu, dan udah kamu langgar? Oke! Mama bekukan ATM kamu sekarang juga!"
Vina berbalik, menuruni tangga untuk mengambil ponselnya yang berada di ruang tengah. Benda yang kini sangat penting untuk menghubungi seseorang kepercayaannya. Apalagi kalau bukan untuk membekukan ATM alex? Tentu vina tidak bisa melakukannya sendiri.
"Ma! Tunggu, Ma! Alex bisa jelasin! Alex gak-"
Terlambat. vina lebih dulu menghilang dibalik tangga.
"Semua gara-gara lo! Dasar, pengemis!"
Jari telunjuk alex terangkat tepat di wajah syila. Beberapa detik sebelum cowok itu melangkah pergi untuk menghampiri mamanya. Membujuk mamanya agar tidak membekukan ATM kesayangannya atau ia tidak bisa membeli barang-barang kesukaannya lagi dalam waktu satu bulan.
Meninggalkan syila yang terpaku ditempatnya berdiri. Mengusap matanya yang entah sejak kapan menjadi basah.
Padahal syila sudah berusaha masa bodoh dengan panggilan kasar alez yang ditujukan padanya. Tapi mengapa terasa sakit sekali?
~~~
"Cewek pengemis itu benar-benar harus dikasih pelajaran!" ujar alex emosi. Alex melemparkan beberapa benda pipih bernama ATM di atas sebuah meja kaca. Seluruh ATM-nya benar-benar tidak berfungsi. vina membekukan semuanya tanpa menyisakan satupun untuk putranya yang butuh hidup dengan uang-uang itu. Ditambah lagi, uang cash di dompetnya tinggal beberapa lembar uang berwarna merah. Yang tentunya tidak cukup untuk digunakan sepanjang waktu satu bulan.
Tubuhnya ia baringkan diatas sofa empuk, lalu menutup wajahnya dengan lengan. Kepalanya terasa berat, mungkin akan meledak sebentar lagi.
"Minta bokap lo balikin ATM lagi apa susahnya?" Seorang cowok tidak kalah jangkung dari alex berkomentar. Dia adalah Roni, teman baik yang menjadi tempat curhat alex. Akhir-akhir ini teman baiknya itu selalu datang ke apartment-nya dengan penuh kemarahan. Puncaknya adalah malam ini, setelah alex mengecek ATM-nya dan ternyata tidak berfungsi, dia langsung datang ke apartment Roni sambil mencak-mencak tidak karuan.
Untungnya Roni sudah sangat paham dengan watak alex. Dia hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Papa itu gak bisa ngapa-ngapain kalau mama udah bersabda. Jadi, percuma aja!"
"Lagian elo juga, ngapain nyari gara-gara sama anceman nyokap lo yang jelas nggak main-main." Roni duduk di sofa depan alex lalu menyeruput kopi dengan santai. Mendengar alex mencak-mencak padahal diluar terlihat dingin menjadi hiburan tersendiri bagi Roni. Lumayan mengurangi stres gara-gara pelajaran di sekolah.
"Mana gue tau kalau mama liat? Toh, gue juga nggak gangguin cewek itu!"
"Udah, lah. Mending sekarang lo pulang terus minta maaf sama nyokap lo. Mungkin beliau mau berubah pikiran kalau lo bersungguh-sungguh minta maaf. Atau kalau perlu, minta maaf sekalian sama cewek itu," ucap Roni memberi saran. Inilah peran sebenarnya Roni. Dia menjadi tempat curhat, pendengar, dan setelah alex selesai menumpahkan kekesalannya Roni akan memberi saran terbaiknya. Terlepas manjur atau tidak, Roni mampu memberi dampak positif agar alex bisa berdamai dengan kekesalannya.
"Ogah banget gue minta maaf ke pengemis itu!"
"Lo gak mau juga nggak apa-apa, sih. Terserah lo. Tapi mending ikutin saran gue yang minta maaf ke nyokap lo."
"Iya deh..." Setelah berpikir beberapa saat, alex memutuskan untuk mengikuti saran teman baik sekaligus tempat curhatnya itu.
"Kalau perlu lo ngeluarin air mata sekalian biar beliau percaya. Kayak waktu lo ditinggal sama si anu, lo nangis juga, kan?"
"Sialan, lo! Enggak bakal, ya!"
~~~
"Tan, beneran deh, alex nggak ngelakuin apa-apa tadi. Nih, buktinya ila baik-baik aja, ya, kan?"
Entah menggunakan cara seperti apa lagi agar vina memercayai ucapannya. Syila benar-benar tidak tahu. Yang pasti melihat alex merengek namun sama sekali tak digubris vina berhasil membuat syila merasa kasihan juga. Terlepas dari perilaku buruk cowok itu akhir-akhir ini, alex tidak pantas mendapat hukuman seberat itu.
"Bukan gak, tapi belum. Iya, kan?" tanya vina. Wanita itu dengan santai mengganti channel televisi, tidak peduli dengan ponselnya yang berdering beberapa kali dari nomor yang sama. Nomor milik alex. Dan akhirnya ponsel itu berhenti berdering sejak beberapa menit lalu. Mungkin alez mulai menyerah dan pasrah menghadapi hukumannya.
"Enggak, kok. Beneran. Please... cabut hukuman alex ya, Tan?"
Vina menghela nafas. Bagaimana ia bisa bertahan ketika syila terus membujuknya dengan tatapan memelas?
"Iya iya..."
Tatapan syila berubah berbinar. "Beneran, Tan? Syukurlah..."
"Tapi kalau sekali lagi ketahuan dia gangguin kamu, Tante nggak akan ngasih ampunan lagi!"