Chereads / life must Go on / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

Syila masih beruntung dapat tidur malamnya di kediaman keluarga Prawira dengan cukup nyenyak meski hanya beberapa jam saja karena ia harus memikirkan dan menentukan pilihan perihal sekolahnya. Syila sedikit merindukan kamar lamanya, namun selebihnya ia merasa nyaman berada di kamar barunya.

Syila terbangun tepat pukul lima pagi. Pertama-tama, gadis berambut hitam itu membuka jendela dan pintu balkon kamar. Udara dingin dan menyegarkan langsung menyapa lapisan kulit di pipinya. Menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Terasa sangat menyegarkan.

Matahari masih belum terbit, namun Syila sudah meraih handuk dan segera mandi.Ia sudah terbiasa mandi pagi. Sang mama yang mengajarinya sejak kecil, agar putrinya itu terbiasa lebih disiplin waktu. Karenanya kebiasaan itu terbawa hingga Syila menginjak remaja. Membuatnya tak pernah mengeluh kedinginan meski di rumah kecilnya tidak ada air hangat otomatis.

Jam menunjukkan tepat pukul setengah enam, setelah mandi dan bersiap diri, Syila keluar dari kamarnya. Disaat yang sama, alex terlihat dari arah tangga dengan wajah penuh keringat dan terlihat handuk kecil tersampir di bahunya. Alex melirik syila sekilas, lalu dengan tatapan sinisnya ia berjalan melewati syila menuju kamarnya. Sedangkan syila hanya mengendikkan bahu tidak perduli. Selama alex tidak bersikap kelewatan padanya, ia akan baik-baik saja meski mendapat perlakuan dingin dari nya. Dia harus bisa bertoleransi pada sikap dingin alex untuk menghormati Vina.

Di lantai bawah, syila langsung disuguhkan dengan pemandangan vina yang tengah asyik menonton TV di ruang tengah. Sebuah cangkir dengan asap mengepul terhidang di atas meja.

"Selamat pagi, Tante," sapa syila sambil menghampiri vina. Wanita paruh baya itu terkejut untuk beberapa saat, namun kemudian menepuk sofa sebelahnya, mengisyaratkan agar syila duduk disana.

"Pagi pagi. Kamu udah bangun aja."

"Udah kok tan, dari tadi malah. Tante lagi ngapain?"

"Biasa. sebelum memulai aktivitas setiap pagi tabte nonton berita pagi ditemani teh hijau. Tante melakukan itu agar lebih semangat."

Syila hanya menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Kegiatan vina hampir mirip dengan mamanya dulu. Bedanya, sang mama rutin minum air hangat dan sambil menonton TV pula.

"Gimana tidur kamu? Nyenyak?"

"Iya, Tan."

"Syukur deh kalo gitu. Tante takut kamu nggak betah tinggal disini."

"gak kok tan. Hehe gak ada yang bikin aku gak betah disini. Semuanya baik-baik saja."

kecuali putra Tante yang nyuri first kiss-ku itu! lanjut nya dalam hati.

"Oh ya, gimana kalau kita sekarang keliling rumah? Kan kamu belum sempet keliling, Biar kamu gak bos di kamar kamu doang."

Syila terlihat berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Boleh, Tan."

~~~

Matahari sudah mulai meninggi. Setelah vina mengajak syila mengelilingi ruangan di lantai satu, mereka pergi ke halaman belakang rumah yang cukup luas. Syila takjub melihat sebuah kolam renang, beberapa kursi santai, kebun bunga warna-warni dan sebuah pondok yang terpisah dari rumah. Pondok itu tampak unik dan khas dengan anyaman jerami sebagai atapnya, ditambah dengan satu set meja mambu yang menambah kesan estetik disana.

"Tante biasanya nulis di sini. Kalau di ruang kerja biasanya gak muncul idenya. Haha!"

Syila mengangguk. Menjadi seorang penulis memang hal yang tidak mudah. Perlu suasana yang bagus dan mendukung untuk memunculkan ide-ide yang nantinya tertuang dalam deretan kalimat.

"Ayo, duduk disini!"

Syila mengekori vina untuk duduk di kursi kayu. Suara dari pancuran air yang mengalir ke kolam renang terdengar begitu menenangkan di telinga nya. Syila berpikir sejenak, dia pasti akan betah di tempat outdoor ini dalam waktu yang lama.

"Tante suka bunga?" ucap syila sambil menunjuk pada bunga warna-warni yang tumbuh apik dan terawat di beberapa tempat.

"Eum... gak terlalu juga sih. Tapi karena tante suka keindahan, jadi tante tanam bunga-bunga itu. Lagian, Tante ingin mengenang masa lalu juga."

"Masa lalu?"

"Hmm. Dulu, Om Raka waktu ngelamar tante pakai beberapa jenis bunga dan terus di bentuk bucket. Tante gak terlalu paham arti dari bunga itu, jadi Om Raka jelasin satu persatu. Dan artinya indah banget, tante jadi mau nerima lamaran Om Raka. Akhirnya tante mutusin buat menanam bunga yang sama." Terlihat pipi vina mulai merah merona saat menceritakan masa lalunya, membuat syila tersenyum membayangkan kebahagiaan vina pada waktu itu.

"Om Raka romantis, ya..." komentar Syila.

"Banget." Rona merah itu semakin terlihat jelas.

"Beliau juga inget setiap arti bunganya? Whoaah..."

"Kata Om Raka, dia tanya artinya ke penjual bunga, terus dihafalin biar bisa jawab kalau tante tanya. Haha..." vina tertawa lepas. Dia benar-benar salut oleh perjuangan sang suami untuk meyakinkannya. "Kalau kamu? Suka bunga juga?" tanya vina balik.

"Biasa aja, Tan. Gak suka, tapi juga gak benci. Sebenernya mama sih yang suka banget sama bunga. Mama juga ngerawat banyak bunga di halaman rumah. Kayaknya emang mama ditakdirkan buat dikelilingi bunga di sepanjang hidupnya." jelas syila panjang lebar. Ia tersenyum saat mengingat mendiang Mamanya.

"Pantesan kamu cantik kayak bunga."

"Tante, ih! Kalau aq besar kepala, gimana? Berat dong" syila pura-pura merajuk. Bibirnya melengkung sedih namun beberapa detik kemudian tersenyum lebar. Diakhiri dengan tawa renyah dari dua perempuan itu.

Suara tawa itu terdengar hingga dalam rumah, di mana alex baru saja keluar kamar dengan memakai seragam dan menggendong tas sekolahnya. Mendengar suara tawa itu, membuatnya menjadi penasaran. Diam-diam alex mengintip bagian belakang rumah melalui jendela besar di bawah tangga. Cowok jangkung itu melihat sang mama dan syila asyik mengobrol. Entah seseru apa obrolan mereka sampai tidak sadar hari semakin siang dan mereka perlu melakukan kesibukan selain mengobrol santai.

Alex tersenyum tipis. Sudah berapa lama Alex tidak melihat mamanya tertawa serenyah itu? Dua tahun? Tiga tahun? Benarkah selama itu?

Satu harapan nya yang belum terwujud selama ini adalah melihat mamanya tersenyum dan tertawa tulus tanpa paksaan. Namun, entah bagaimana, harapan alex itu justru diwujudkan oleh orang asing yang sangat ia benci.

"Kamu ngapain, Ga?"

Alex tersentak oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba dibelakangnya. Dia berbalik dan melihat sang papa menatapnya bingung.

Senyuman nya lenyap, tergantikan oleh ekspresi dingin yang sama tiap kali berhadapan dengan papanya. "Bukan urusan Papa," ucap alex sambil berlalu.

Meninggalkan sang kepala keluarga yang tersenyum miris. Entah kapan ia berhasil meruntuhkan kemurkaan alex padanya. Namun demikian, pria itu tidak pernah menyalahkan alex.

Karena dari sisi manapun, Raka Prawira adalah satu-satunya orang yang berhak disalahkan atas 'kehancuran' keluarga Prawira di masa lalu.

~~~

"Lagi ngobrol apa? Kayaknya seru banget."

Kehadiran rala membuat pembicaraan vina dan syila berhenti di tengah jalan. Syila menggaruk tengkuknya malu. Dia memang sudah cukup akrab dengan vina, namun tidak terlalu akrab dengan Raka.

"Aku ngajakin Syila keliling rumah biar gak asing sama rumah barunya." jelas vina.

"Kalau udah selesai, ayo ke ruang makan. Alex udah turun barusan."

"Memangnya sekarang jam berapa, Pa?"

Raka melirik jam tangan mahalnya. "Jam enam lebih sepuluh menit."

Devina membelalakkan mata terkejut. Biasanya jam segini ia sudah berada di dapur untuk memeriksa hidangan sarapan untuk suami dan putranya. "Astaga! Sudah siang ternyata."

"Dasar! Keasikan jadi lupa waktu, kan? Ya udah, aku tunggu di dalam."

Raka beranjak pergi, meninggalkan syila dan vina yang kini mulai berdiri dari tempat duduk masing-masing.

"Tan, bentar." syila menahan tangan vina. "Ila udah bikin keputusan."

Vina sempat kebingungan, namun akhirnya ia ingat dengan pembicaraannya dengan syila tadi malam. "Jadi, gimana? Kamu mau pindah?"

Syila menghela nafas. "Syila mutusin buat pindah sekolah."

"Beneran? Gak becanda kan?"

"Iya."

Senyum vina mengembang. "Pilihan yang tepat, Sayang. Jangan khawatir, tante yang bakal ngurus semua berkas kepindahan kamu. Ayo, kita bicarain nanti setelah sarapan."

Syila hanya diam dan menurut saja saat vina menarik tangannya untuk masuk ke rumah dan langsung menuju ruang makan.

Yang jelas ia sangat berharap, keputusannya kali ini tidak akan membuatnya menyesal di kemudian hari.