Malamnya, Syila kembali ke dalam kamarnya setelah mengikuti acara makan malam. Makan malam kali ini berdeda karena hanya ada dirinya dan vina. Sang kepala keluarga, Raka belum pulang dari kantor, sementara si cowok sok kegantengan itu entah dimana keberadaan nya. Cowok itu tidak keluar dari kamarnya sama sekali. Pergi keluar juga tidak mungkin karena mobilnya masih terparkir di garasi sejak tadi siang.
Sebuah deringan keras yang berasal dari ponselnya seketika mencuri perhatiannya yang tengah berada di balkon kamar. Senyum Kini mulai mengambang di bibir tipisnya setelah melihat nama Ana tertera di layar ponselnya. Ana tidak pernah ingkar janji sedikitpun padanya. Tadi siang dia janji akan menghubungi Syila lagi di malam hari, bukan?
"Halo?"
"Lama banget, buk?", tanya Ana jengkel di seberang sana.
"Sorry, sorry. Baru makan malem."
"Haduh... tuan puteri Asyila baru makan malem ternyata."
"Maaf deh!"
"Cepet cerita!"
"Soal?"
"Gak usah sok bego. Inget gak sih, lo lesu banget waktu telpon tadi? Lo gak mungkin gitu kalau gak ada masalah."
Tuh kan! Ana bisa menebak dengan benar, bahkan hanya melalui nada bicara Syila yang berbeda.
"Gue bingung mau mulai cerita dari mana."
"Secara runtut, dari awal. Gue bakal dengerin."
"Gak ngerjain PR, lo?"
"Udah selesai tadi. Sengaja gue selesain cepet-cepet biar bisa telpon lo."
Syila mulai tersenyum. Andai saja Ana ada di hadapannya, Ia pasti tak segan memberi pelukan erat sebagai ucapan terima kasih telah menjadi sahabat terbaiknya. Dan kalau perlu ditambah beberapa cubitan di pipi tembamnya.
"Jadi, gini," Syila mulai memposisikan tubuhnya lebih nyaman, tengkurap sambil memeluk bantal. "Lo udah tau gue bakal daftar di sekolah baru, kan?"
"Hmm. Terus?"
"Tante vina ternyata udah berencana sekolahin gue disana bahkan sebelum gue setuju buat pindah. Dia sudah nyiapin segala berkasnya. Dan lo tau?"
"Apa?"
"Gue didaftarin sebagai saudara sepupu Alex. Anaknya Tante vina. Padahal gue sama sekali gak akrab sama dia." Keluh Syila. Tapi dia yakin Ana mendengarnya dengan jelas.
"Sepupu? Lha Kok bisa?!"
Syila bisa membayangkan bagaimana ekspresi Ana sekarang ini. Cewek mungil (dan lebih mungil dari nya) itu pasti tengah membulatkan matanya yang agak sipit.
"Hm. Jadi, gue sama alex kan tinggal se rumah dan otomatis alamat di biodata siswa juga sama. Tante vina takut ada berita buruk yang bisa saja tersebar tentang itu. Dua siswa. Cewek dan cowok, tinggal di satu rumah tanpa hubungan saudara atau apapun. Dianggap jelek banget, kan? Kalau dibiarin, berita itu bakal ngerusak nama baik Alex dan gue, bahkan keluarga besar Prawira. Nah karena itu Tante vina terpaksa daftarin gue sebagai sepupu Alex. Dengan gitu, gak ada yang perlu dipermasalahin lagi." Syila menjeda penjelasannya saat tenggorokannya terasa kering. Lalu Ia meneguk air mineral dalam satu kali.
"Bayangin, An, lo jadi gue yang gak tau apa-apa terus terdaftar di SMA elite sebagai sepupu alex. Dan gue sama dia sama sekali gak bisa nunjukin keakraban sebagai sepupu. Gue gak bisa sandiwara jadi sepupunya setelah dia nyuri.." Syila seketika menutup mulutnya rapat-rapat.
"Astaga! Gue bisa bayangin gimana perasaan lo sekarang."
Dia menghembuskan nafas lega. Beruntung sahabatnya itu tidak menyadari ucapan Syila yang terputus. Hampir saja dia membocorkan masalah tadi malam perihal first kiss-nya. Tidak! Tidak ada yang boleh tahu soal itu!
"Mana abis itu Tante vina juga ngancem, kalau Alex gak mau, dia bakal nulis identitas gue sebagai istri Alex. Lebih parah gak sih?!"
"Anjir! Sumpah?! Gue yakin kalau lo punya riwayat penyakit jantung, udah tewas lo di tempat dari tadi!" syila mendengus saat mendengar tawa ana yang menggelegar.
"Eh, tapi bentar deh! Kok gue nemu sesuatu yang aneh, ya?"
"Apa?" Syila meneguk air putihnya sekali lagi.
"Feeling gue bilang, Tante vina sebenarnya berharap lo jadi menantunya. Makanya dia ngancem gitu ke alex."
Byur!
Syila menyemburkan semua air yang baru memasuki kerongkongannya. Dia terbatuk-batuk sampai wajahnya memerah.
"Sialan! Ngaco banget, lo! Nggak mungkin, lah! Mana mungkin Tante vina mikir gitu! Nggak mungkin!" seru Syila setelah batuknya terhenti.
"Hahaha! Kenapa? Kok gue bayangin si Alex itu ganteng ya? Secara Tante vina bibit unggul gitu. Masa lo nggak mau?"
"Ganteng pun percuma kalau tingkahnya kayak iblis!"
"Hey, sis! Sekarang jamannya badboy lebih menarik daripada goodboy! Ehh bentatr bentar, maksud lo kayak iblis gimana?"
Syila menggigit bibirnya. Ingatan tentang alex yang menciumnya berputar di kepala. Ia segera menggelengkan kepalanya agar ingatan sialan itu segera pergi. Syila sangat ingin membuang ingatan itu sepanjang hidupnya, tapi kenapa sulit sekali?
"Lo nggak bakal percaya kalau nggak ngeliat sendiri."
Tok! Tok! Tok!
Syila segera meloncat saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Sebentar saja syila bisa menebak bahwa itu adalah vina. Memangnya siapa lagi? Toh syila tidak sedang meminta bantuan atau semacamnya pada pelayan.
"Bentar ya, ada yang ngetuk kamar gue. Kayaknya Tante Vina deh."
"Yaudah, cepetan dibuka!"
Syila segera turun dari ranjangnya, merapikan penampilannya yang sedikit berantakan karena ia habis tengkurap di atas ranjang. Dengan ponsel di genggaman dan masih tersambung dengan Ana, Syila segera membuka pintu.
"Siap –hmpp!!"
Satu detik setelah pintu kamarnya dibuka, Syila disambut oleh telapak tangan yang membekap mulutnya. Tubuhnya terdorong ke belakang dan menabrak dinding saat pemilik tangan itu memaksa masuk dan menutup pintu kamarnya. Lagi-lagi, Syila tidak bisa melakukan apapun ketika tangannya tergenggam sangat erat di atas kepalanya. Terkungkung tanpa bisa berkutik.
"Gue cium lo kalau berani teriak!"
Syila hanya menggeleng berulang-ulang. Detik kemudian mulutnya terbebas dan ia mendongak sambil menatap sengit. "alex gila!" umpatnya dengan suara tertahan. Menepati janjinya untuk tidak berteriak, atau alex akan kembali menciumnya seperti kemarin. Tidak! Dia tidak akan membiarkan ciuman keduanya diambil oleh orang yang sama.
"Baru tau?" Alex mulai menyeringai kejam. "Gue bisa lakuin hal lebih gila kalau lo masih bertingkah sok polos. Tadi itu salah satu rencana lo, kan? Lo pengen masuk ke keluarga Prawira dengan setuju jadi sepupu gue, kan?"
Syila mulai berdecak kesal. "Coba jelasin, bagian mananya yang gak lo ngerti? Gue udah jelasin ke elo sejujur-jujurnya kalau gue nggak punya rencana apapun! Dan lo sendiri yang milih nggak percaya, kan?"
Nafas syila terengah-engah. Dia kesulitan menghirup oksigen jika saja alex tetap mengungkungnya seperti sekarang.
"Oke, gue percaya." Syila belum bisa bernafas lega. Dia yakin ada sesuatu yang direncanakan alex sampai cowok itu langsung mempercayainya.
"Tapi setelah lo yakinin mama gue buat batalin rencana konyolnya tadi pagi."
Dugaan syila tidak salah. Alex ternyata punya cara licik untuk mengintimidasi lawannya. Syila menatap cowok itu lekat. Dari jarak yang sangat dekat itu, ia mampu melihat bola mata alex yang kecoklatan, persis dengan milik mamanya. Sayang, syila tidak memiliki banyak waktu untuk mengagumi bola mata indah itu.
"Rencana konyol?"
"Iya, konyol. Gue gak rela punya sepupu kayak lo."
"Apa keuntungan yang gue dapetin kalau lo percaya sama gue?"
"Gue... Gak bakal ganggu lo."
"Kalau gue gak berhasil meyakinkan Tante Vina?"
"Berarti lo emang gak bisa dipercaya. Jadi, siap-siap hidup gak tenang di sini sampai lo angkat kaki dari rumah ini."
Syila memutar bola matanya seraya terkekeh. "Gue kesini karena Tante vina, jadi gue pergi pun kalau Tante vina yang minta." syila kembali menatap cowok itu. "Bukan karena lo, Alex."
Dugh!
"Akh!"
Alex terlihat meringis menahan sakit. Kakinya baru saja mendapat sepakan dari kaki Syila, tepat di tulang keringnya. Membuat tangan syila berhasil terlepas dan ia langsung mengelus pergelangan tangannya. Bekas merah akibat genggaman erat dari alex kemarin malam saja belum hilang, sekarang cowok itu menambah warna merahnya lagi.
"Jangan nyalahin gue abis ini, syila." ucap alex sebelum memutuskan keluar dari kamar Syila.
Brak!
Pintu kamar syila tertutup keras. Ia memejamkan matanya dan berharap vina tidak akan mendengar apapun. Disaat yang sama ketika alex baru saja keluar, cowok itu berpapasan dengan seorang pelayan yang kemarin malam sempat dibentaknya. Rani.
"Apa lo liat liat?!" bentak alex galak dan langsung meninggalkan rani untuk masuk ke kamarnya. Lengkap dengan suara dentuman keras dari pintu yang ditutup kasar.
Mungkin alex lupa jika ia baru saja keluar dari kamar syila. Menimbulkan pemikiran tidak-tidak dari rani yang kini tersenyum.
Di sisi lain syila baru saja teringat jika sambungan telepon dengan Ana belum terputus. Apa ana mendengar pembicaraannya dengan Alex barusan? Tapi... tidak apa-apa. Setidaknya syila sekarang tidak perlu menjelaskan panjang-lebar perihal sifat Alex.
"Halo?"
"Ana disiniii...."
"Gue kira udah dimatiin telponnya."
"Gue lagi speechless nih. Gue serasa lagi nonton drama tapi gak ada gambarnya, tau gak?" komentar Ana yang dilanjutkan dengan gelegar tawa.
Syila memosisikan tubuhnya lagi namun sekarang ia duduk bersandar . "Udah paham kan, sekarang?"
"Udah! Udah! Paling gak gue udah tau kalau Alex ini benar-benar badboy. Paling gue jadi lo bisa gemeter ketakutan kali. Lo hebat banget, Nyet!"
"Iya, lah! Baru tau? Haha!"
"Eh tapi, kayaknya si ALEX ini benci gara-gara dia pikir lo punya rencana jahat, deh?"
"Gue juga mikirnya gitu, kok. Tapi gimana lagi? Mau gue jelasin sampai berbusa pun kayaknya dia tetep Keras kepala, gak percaya."
"Gue kalau jadi dia juga pasti mikir yang sama lah. Maklum, kali. Entar dia juga capek sendiri saking keseringan bikin spekulasi yang gak berdasar soal lo."
Syila mengangguk menyetujui pendapat ana barusan. Benar, satu-satunya hal yang bisa Syila lakukan adalah memaklumi kebencian alex pada dirinya. Kecuali kalau alex kembali melecehkan dirinya, ia tidak akan segan-segan membalas cowok itu.
"Tumben lo ngomongnya dewasa, Ndut?"
"Anjir lo! Udah ah gue mati bobok cantik. Gue matiin telponnya ya?"
"Iya, deh. Makasih, Ndut udah dengerin curhatan gue." ujar syila sambil tersenyum tulus. Dia benar-benar beruntung memiliki ana sebagai sahabat sejatinya. Sahabat yang tidak pernah bosan mendengar curhatan darinya, menemani nya ketika dalam titik paling menyedihkan, dan tentunya memberi warna pada hidup syila melalui omongannya yang ceplas-ceplos atau candaannya yang garing.
"Nevermind. Lo tau kan harus curhat ke siapa kalau ada masalah lainnya?"
"Tau lah. Ke cewek gendut yang sering nyangkal kalau yang gendut cuma pipi doang, kan?"
"Sialan lo! Sini gue ketekin! Sana, ke Tante avina kayak yang diminta Alex!"
Oh ya. Syila hampir terlupa kalau ia masih punya satu tugas besar setelah ini.