Kaum lelaki lebih tinggi derajatnya di atas para wanita. Dalam hal kesabaran dalam memikul beban, agar keindahan keluarga terus berlanjut. Maka dari itu Allah juga memberi kepercayaan untuk para suami memiliki lebih dari satu istri jikalau mereka mampu.
Sebagai suami, dia juga harus bersikap adil terhadap kedua istrinya. Seperti sebuah kutipan yang pernah kubaca, "Maka hendaknya engkau menujukkan sikap adilmu semaksimal mungkin. Dan hendaknya engkau menyembunyikan rasa cintamu jika tidak mau mampu berbuat adil."
Kuharap Habib bisa melakukannya padaku dan juga Farida. Karena jujur, sudah satu minggu terakhir ini dia masih bisa menjaga perasaanku dan bersikap biasa. Kadang romantis, kada jahil, kadang juga membuatku kesal.
Tak apa, itu adalah salah satu kelebihan Habib yang membuatku tetap bersamanya sampai detik ini. Dia adalah sumber kekuatanku. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia, jadi apapun keadaannya aku akan berusaha menerimanya sebisa mungkin.
"Mbak, bunda bilang dia mau datang ke rumah hari ini. Sekalian mau menginap juga," info Farida yang datang dari arah belakang ketika aku sedang asik menyiram tanaman di halaman belakang.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Coba kamu lihat persediaan sayur di kulkas, apa masih ada? Takutnya bunda datang tapi di kulkas tidak ada bahan masakan," balasku kembali memalingkan pandang ke arah tumbuhan hijau di depanku.
"Hanya ada telur dan tomat, apa aku boleh belanja?" tanya Farida lagi.
"Belanja?"
"Iya. Boleh 'kan?"
Mematikan keran lalu kembali menggulung selang dan menaruhnya di tempat biasa. Aku pun menghampiri Farida dengan keadaan tangan masih basah karena air.
"Yang benar saja. Dalam keadaan hamil begini kamu mau keluar untuk belanja? Yang ada nanti kamu bisa kenapa-kenapa di jalan," pungkasku bermaksud melarangnya.
Dari pada membiarkan dia pergi belanja dan terjadi kejadian buruk lagi sepertu waktu itu, lebih baik aku menyuruhnya untuk tetap di rumah 'kan? Lagi pula aku bisa pergi belanja sendiri. Sekalian menjemput Azka di sekolah.
Iya, semenjak kedua orang tuanya meninggal, Azka terpaksa tinggal dulu bersamaku dan Habib. Entah sampai kapan, yang jelas dia tinggal bersama kami di rumah lama bang Fahri yang jauh lebih besar.
Tidak akan cukup ruang untuk menampung lebih banyak orang di rumahku, karena di sana juga hanya tersedia tiga kamar yang sudah terisi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tidak mungkin 'kan Azka tidur bersama Mira?
Di rumah bang Fahri, aku dan Habib menempati kamar utama di lantai atas dan Azka di sebelahnya, sementara Farida tidur di lantai bawah dan Mira tidur di kamar belakang. Untungnya di rumah ini ada kamar kosong yang sempat di jadikan gudang, hingga itu bisa menjadi tempat tidur untuk Mira.
"Kamu di rumah saja bersama Mira, bantu urus Rizky juga kalau dia rewel. Tidak perlu keluar rumah apa lagi belanja, biar Mbak saja yang pergi," pesanku pada Farida.
"Apa aku tidak boleh ikut?"
"Jangan Farida. Mbak tidak mau membahayakan kehamilanmu. Kejadian kecopetan beberapa bulan lalu benar-benar membuat Mbak trauma. Mbak tidak mau mengulangi kesalahan yang sama," larangku sekali lagi.
Kalian tentu masih ingat kejadian itu, bukan? Kejadian dimana Farida kecopetan dan akhirnya membuat seisi mobil jadi rusuh sampai kecelakaan yang membuat bang Fahri lumpuh pun terjadi. Seumur hidup, itu adalah pengalaman buruk yang tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun.
Bahkan sesekali lengan kiriku juga bisa terasa nyeri akibat sempat retak karena kecelakaan itu.
"Maaf, karena kejadian itu Mbak jadi trauma seperti ini. Aku benar-benar minta maaf," sesal Farida menundukkan kepalanya.
Mendengar itu membuatku jadi tak tega. "Ah, Farida. Kenapa kamu bicara seperti itu? Sudahlah, jangan mengingat masa lalu. Itu sudah berlalu dan sekarang kita sudah baik-baik saja. Lagian Mbak hanya tidak ingin kejadian itu terulang lagi, karena kondisimu sedang hamil sekarang."
Senyuman getir terbit begitu saja dari wajah Farida. Entah dia sadar atau tidak, semua kekacauan dalam kehidupan ini hampir tujuh puluh persen adalah akibat ulahnya. Bukannya ingin menyalahkan dia, tapi kalian tahu aku masih memiliki sedikit sikap egois?
***
"Nenek akan ke rumah?" tanya Azka begitu mendengar kabar bahwa bunda akan datang ke rumah siang ini.
"Iya. Azka senang?"
Entah kenapa, raut wajah Azka malah berubah asam ketika tahu neneknya akan datang ke rumah. Padahal seharusnya dia senang, karena selama ini Azka cukup dekat juga dengan bunda dan juga almarhum ayah dulu.
Bocah yang baru saja bertambah umur di usia delapan tahun itu tidak se-exited dulu ketika mendengar kabar kedatangan neneknya. Sepertinya ada hal yang mengganjal yang membuatnya murung.
"Azka kenapa? Apa Azka tidak senang kalau nenek datang?" tanyaku mengelus kepalanya yang duduk bersandari di sandaran mobil.
"Azka senang, tapi ..."
"Tapi apa? Coba cerita pada Ammah. InsyaAllah, Ammah akan bantu."
"Tapi nenek selalu membela ammah Farida. Padahal Ammah Farida yang sudah membuat ayah dan bunda Azka meninggal."
Tidak heran aku mendengar perkataan seperti itu dari bocah berusia delapan tahun ini. Sejak mendengar kematian bang Fahri dan mbak Anisa, dia terus-terusan menyalahkan Farida atas kejadian itu.
Bocah bukan berarti tak bisa sakit hati, karena justru anak kecil seperti Azka ini lah yang lebih sensitif terhadap permasalahan orang dewasa. Belum seperti kami yang berpikiran dewasa, Azka hanya tahu bahwa ayahnya lumpuh karena ammah Farida-nya.
Hingga kedua orang tua Habib membawa mereka ke Singapura untuk berobat dan malah di jemput pulang oleh yang maha kuasa. Kejadian itu benar-benar membuat Azka terpukul. Berhari-hari dia menolak makan karena merasa kehilangan sang ayah.
Bahkan Habib juga tidak bisa membujuknya. Azka selalu mengingat ucapan bundanya, "Ayah kecelakaan saat mengantar ammah El dan ammah Farida pulang. Waktu itu ammah Farida kesal karena baru saja kecopetan. Maka dari itu dia tidak sengaja menepis tangan ayah sampai kecelakaan terjadi. Azka harus mengerti, itu hanya kecelakaan."
"Azka, Ammah 'kan sudah pernah bilang. Jangan mengenang yang sudah lalu, sekarang ayah dan bunda Azka juga pasti sudah bahagia di surga. Kasihan mereka kalau melihat anaknya yang pemberani ini terus-terusan bersedih," kataku sambil mengelus kepalanya.
"Tapi nenek juga selalu bersikap baik pada ammah Farida dan menyalahkan Ammah El atas apapun. Padahal Azka tahu Ammah El tidak bersalah," katanya masih kekeuh pada pendiriannya.
"Azka ingat hadist yang satu ini, tidak? "Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling memebelakangi dan saling memutuskan hubungan. Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian bersaudara. Seorang muslim tidaklah di halalkan untuk mendiamkan sesama muslim lebih dari tiga hari." Bagaimana, ingat?" tanyaku pada Azka mengingatkan dia pada hafalan hadist yang selalu dia setor pada Habib setiap malam jum'at.
Bocah berkulit putih itu mengangguk yakin. "Azka tahu 'kan maksudnya apa?" Lagi-lagi dia mengangguk. "Maka dari itu, jangan sesekali kita menaruh rasa benci terhadap sesama muslim. Apa lagi ammah Farida itu keluarga kita sendiri, itu dosa namanya. Allah tidak suka itu, jadi jangan di pelihara sifatnya. Itu tidak baik," pesanku menyentuh hidung mancungnya.
"Itu hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim 'kan, Ammah?"
Aku tersenyum. "Iya, pintar sekali keponakan Ammah!"
Azka hanya tertawa sambil memelukku dari samping. Dalam hati kecilku juga masih tidak percaya, sekarang aku hidup sebatang kara. Maksudku, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Habib, dan jika dia pergi ... mungkin hidupku akan terasa hampa.