Plak!
"Kamu bisa gak sih sekali saja jangan buat masalah?" tanya Damar dengan suara yang melengking keras pada sang anak dengan wajah yang tengah merunduk ketakutan.
Zayana--anak dari Damar itu telah melakukan kesalahan kecil bahkan bisa disebut dengan ketidaksengajaan. Namun, lain halnya dengan Damar sendiri yang menganggap itu adalah suatu hal yang cukup fatal.
Zayana terus menunduk ketakutan, tak berani sama sekali untuk menatap sang ayah yang menyiratkan mata merah menyala seperti orang di luar kendali. Ia terus menerus berada di posisi yang mencekam tanpa ada satu orang pun membantunya.
"Maaf Ayah! Za--zayana ... Gak sengaja," ucap Zayana dengan bibir gemetar ketakutan.
Damar menajamkan mata pada tubuh sang putri yang bergetar itu. "Kamu bilang gak sengaja gitu? Kenapa kamu jadi anak selalu gak berguna seperti ini, hah?" tanya Damar. Lagi dan lagi membentak dengan suara keras.
Damar melipat tangan di depan dada, ia dengan posisi berdiri sedangkan Zayana sendiri meringkuk ketakutan di sudut ruangan dengan bahu yang masih bergetar cukup hebat tersebut.
Zayana sudah cukup ketakutan dengan ayah yang terus memberi bentakan dengan suara kasar dan juga melengking kuat itu. Meski dapat ia lihat ibu dan sang adik yang tidak jauh dari posisinya, dan betapa menyakitkan ketika mereka hanya menjadi penonton terbaik tanpa berniat untuk melerai sama sekali atau sekedar mendinginkan Damar yang saat ini tengah marah besar.
"Maaf Ayah, Zay gak sengaja sama sekali ... Sungguh," cicit Zayana dengan bibir yang bergetar hebat karena menahan isakan tangis dari mulutnya itu.
Damar membuang ludah ke sembarang tempat. Ia sangat muak dengan pola Zayana yang baginya akan selalu salah, dan juga salah.
Damar dengan kasar menarik lengan Zayana hingga sang empu meringis kesakitan sebab tarikan tersebut.
"A--ayah, sakit," keluh Zayana dengan wajah yang menahan sakit akibat cengkeraman kuat dari jemari ayahnya itu.
Damar menulikan telinga mendengar rintihan yang keluar dari mulut anaknya itu. "Cepat bangun kamu!" perintah Damar dengan tatapan nyalang.
Zayana mengangkat badan dengan lemas yang mendera. Ternyata rasa takut yang mendominasi cukup menguras sebagian besar tenaga yang ia miliki itu, dan bahkan buliran keringat mengalir deras dari pelipis dan juga seluruh badan.
Zayana pasrah akan dibawa kemana lagi ia saat ini. Ditarik tangannya dengan cukup kuat hingga berjalan saja terseok-seok saking tidak kuat mengontrol kecepatan jalan seseorang yang lagi marah itu.
"Ayah kita mau kemana sekarang?" tanya Zayana saat mereka sudah melewati sebagian ruangan dan sekarang menuju ke bagian ujung rumah yang mereka tempati saat ini.
Damar semakin menguatkan cengkramannya pada lengan sang putri. Tidak perduli dengan bagaimana sakit dan nyeri yang Zayana terima, karena yang terpenting adalah ia bebas untuk meluapkan semua emosi dalam dirinya kali ini.
Damar terus melangkahkan kakinya untuk membawa Zayana ke dalam sebuah gudang yang sangat pengap dan juga berdebu. Menurutnya tempat itu adalah yang paling cocok untuk memberi pelajaran pada putri kurang ajarnya itu.
"Ayah, Zay mohon ... Lepasin tangannya. Sa--sakit sekali," rintih Zayana dengan suara yang menahan sakit sekaligus sesak dalam dadanya.
Mata Zayana mulai sedikit memburam, air mata bergumul dan tinggal menunggu satu kedipan agar bisa jatuh dan meluncur bebas pada pipinya itu. Zayana sangat tidak kuat dengan kesakitan yang ia rasakan saat ini, merintih dan memohon akan terasa percuma di hadapan sang ayah yang malah akan semakin bebas untuk menyiksanya seperti ini.
Lagi dan lagi Damar memilih untuk menulikan telinganya, ia berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan yang sangat berdebu dan banyak sarang laba-laba di setiap sudut.
Damar membanting tangan Zayana hingga berakhir terbentur dengan keras ke tembok ruangan tersebut. Merogoh saku celananya untuk mengambil sesuatu.
"Diem di sini kamu! Awas kalau berani untuk beranjak selangkah saja ... akan aku habisi kamu," ancam Damar dengan tatapan merah menyala itu.
Zayana mengangguk lemah. Mau bagaimanapun keras sang ayah ketika memberi hukuman atas kesalahan kecil yang ia buat, itu tidak akan pernah bisa membuat dirinya untuk membenci. Zayana selalu pasrah jika diperlakukan tak selayaknya manusia bahkan oleh keluarga sendiri.
"Iya Ayah," lirih Zayana dengan kepala yang merunduk ketakutan.
Tangan yang terbentur dengan tembok tadi karena dihempas dengan sangat kasar oleh ayahnya tadi, ia angkat dan dibelai lembut bagian yang sangat sakitnya itu. "Sakit banget Tuhan," gumam Zayana dengan suara parau.
Buliran yang sedari ia tahan kini akhirnya terjatuh juga. Dada yang sedari tadi merasa sesak dan sakit kini membuat napasnya tersenggal, kepala pun ikut terasa sangat berat begitu pula dengan sekujur tubuh yang terasa sangat sakit.
Damar mulai membuka ruangan tersebut dengan kakinya hingga menimbulkan suara yang cukup mengejutkan. "Astaghfirullah," ucap Zayana terlonjak kaget.
"Sini kamu!" perintah Damar pada Zayana agar segera mendekat pada dirinya.
Zayana berjalan ragu untuk mendekat pada sang ayah yang menatapnya sangat intens bahkan seperti elang yang menemukan mangsanya.
Damar segera menarik kembali tangan Zayana dengan gerakan sangat cepat. "Lama sekali kamu buat jalan saja!" bentak Damar yang berhasil membuat anaknya itu menggigil ketakutan.
"Apa kesalahan yang Zay buat sangat fatal Ayah?"
"Apa Zay harus merasakan kesakitan seperti ini?"
"Apa sangat susah untuk berbicara baik-baik dengan Zay?"
Banyak sekali pertanyaan yang hendak dilontarkan dalam benak Zayana, dan akan selalu berakhir untuk menjadi sebuah misteri yang tidak akan menemukan jawaban sama sekali.
Zayana memilih untuk diam dan membisu. Mengikuti semua apa yang diperintahkan oleh ayahnya kali ini, dan ia tidak ingin membanta karena bukannya didengar malah akan semakin kuat kesakitan yang tubuhnya dapat nanti.
"Masuk!" bentak Damar setelah membuka pintu gudang itu lebar-lebar.
Zayana melongokan kepalanya untuk melihat ruangan gudang yang sangat pengap lagi berdebu itu. "Ayah tempat itu sangat kotor, dan Zay ... Akan sedikit kesulitan napas jika ada di dalam sana," tolak Zayana yang mulai mundur satu langkah dari ruangan itu.
Ruangan dimana barang rusak atau usang dan tidak lagi terpakai akan ditaruh pada tempat tersebut. Zayana menatap seluruh ruangan dengan bahu yang mulai merinding dan kembali bergetar hebat. Jantung berpacu lebih cepat serta benak mulai bertanya-tanya.
Zayana diserang kepanikan dengan sangat hebat, membuat keringat dingin mulai keluar dari seluruh tubuhnya. Menatap ruangan dan ayahnya silih berganti, menampilkan raut wajah memelas dan berharap mendapatkan keringanan atas hukuman kali ini, karena ia sendiri begitu takut dengan ruangan yang sangat gelap lagi pengap.
"Aww! Ayah," ucap Zayana dengan suara yang sangat lirih dan menyayat hati bagi telinga yang mendengar.