Chereads / Luka yang Dikagumi / Chapter 3 - Chapter 2

Chapter 3 - Chapter 2

Tubuh Zayana terlempar begitu saja hingga menuju ke tengah-tengah gudang. Ia sendiri sangat terkejut karena sang ayah dengan tidak berperasa sama sekali menarik dan mendorong dengan satu hentakan.

"Ayah," panggil Zayana dengan suara teramat lirih, menatap dengan raut memelas kepada Damar. "Jangan kurung a--aku di sini, ayah! Aku ... Mohon," ucap Zayana kembali.

Damar meludah ke arah depan hingga terkena bagian wajah Zayana yang tengah menatap dengan air mata bergumul pada pelupuknya. "Cih! Untuk kesalahan kamu yang tadi, jangan harap saya berbelas kasih! Diam di sini sampai akhirnya aku akan buka kunci ini," sentak Damar membuang pandangan ke arah lain.

Zayana mengusap wajah yang terkena air liur dari sang ayah dengan menggunakan tangan yang berlumuran debu. Bahu terguncang hebat karena ketakutan pada ruangan gelap nan pengap itu. Tak ada lubang ventilasi yang tersedia dalam ruangan ini, bahkan jendela pun permanen tanpa bisa dibuka sama sekali.

Zayana menutup hidung karena debu sedari tadi terus berkeliaran dan tak henti berputar sebab angin dari arah pintu yang masih terbuka lebar. Mata mulai berkeliaran untuk mendapati hal yang akan membuat tubuh nyaman berada dalam sini, dan ternyata nihil.

Zayana kembali menatap Damar dengan penuh harap teramat sangat, "Ayah! ... Hukum aku dengan hal lain, tapi jangan seperti ini, Zay takut," pinta Zayana dengan air mata yang mulai berjatuhan pada pipi pualam itu.

Tangan Damar terangkat untuk mengambil handle pintu, menutup dengan sekali hentakan kuat hingga membuat jantung seolah copot dari tempat yang seharusnya. Tidak mendengarkan sama sekali permintaan putri yang teronggok menangis dalam ruangan berdebu dan pengap itu.

Kunci di keluarkan dari saku celana, dan ia menutup pintu itu dengan sangat rapat seolah tidak boleh membiarkan Zayana terlepas dari ruangan tersebut. Setelah selesai mengunci, Damar melangkahkan kaki dengan sangat cepat untuk kemudian pergi keluar.

Zayana terduduk dengan badan yang lemas. Sangat sulit bahkan untuk berdiri dan mengejar pintu yang sudah terkunci itu. Kejadian seperti ini terulang kembali dan cukup sering ia menikmati hanya seorang diri. Tanpa Zayana sadari air mata mulai berjatuhan pada pipi.

"Ayah."

"Kenapa aku selalu diperlakukan seperti ini?"

Zayana berucap seorang diri dalam keheningan yang melanda. ditemani kegelapan yang menyelimuti tubuh ringkih yang meringkuk ketakutan. Sial! Saklar lampu terpasang di luar dan mana mungkin untuk bisa menyalakan jika tanpa bantuan orang sama sekali.

Zayana menekukan kedua kaki dan mulai memeluk lutut untuk dijadikan sebagai tumpuan kepala. "Tuhan! Kenapa mereka semua jahat?" tanya Zayana dalam keheningan yang menyergap dan memeluk dirinya dengan setia.

Zayana menangis dalam keheningan. Sesekali terisak saat hati merasakan sayatan dan sesak yang teramat sangat. Memukul dadanya pelan dan sering, berharap agar semua kesakitan itu segera lenyap dan menghilang dari dalam sana.

"Kak Zay," panggil seseorang dari arah luar tersebut.

Buru-buru Zayana menghapus air mata yang tumpah ruah pada pipi. Ketika telinga mulai menangkap sebuah suara yang memanggil namanya dari arah pintu luar gudang tempat ia dikurung oleh Damar tersebut.

Zayana beringsut dari posisi duduknya saat ini. Beranjak berdiri dan berniat untuk menghampiri pintu tersebut. "Siapa di luar?" tanya Zayana dengan tangan yang meraba ke arah depan. Sebab ruangan ini sangat gelap dan tidak ada setitik cahaya untuk masuk ke dalamnya sama sekali.

Zayana berjalan tergopoh-gopoh untuk bisa sampai menuju pintu dari ruangan tersebut. Menempelkan pipi yang sudah sembab karena air mata bercucuran sedari tadi tanpa mengenal henti itu, mengeluarkan sebuah suara serak untuk memanggil orang di luar.

"Dek! Apa yang di luar itu kamu?" tanya Zayana dengan suara serak nan penuh harap. ia menginginkan itu adalah Amanda-adik perempuan satu-satunya.

Menempelkan telinga dan mendengarkan baik-baik semua suara yang ada di luar saat ini. Hatinya tersayat semakin ngilu saat mendapati suara tawa yang melengking keras beserta hinaan yang merobek jiwa.

"Iya ini gue Kak Zay. Gimana suasana di dalem situ? Enak yah pasti?" tanya Amanda dengan nada terdengar meledek.

Zayana memukul pelan pintu dengan penuh debu tersebut. "Kak Zay takut banget Dek! Kamu bisa minta tolong nyalain lampu atau ... Minta tolong keringanan sama Ayah. Bisa yah Dek," pinta Zayana dengan air mata kembali berhamburan keluar.

"Hahah ... Apa lo harap gue bakal keluarin lo dari gudang ini Kak?" tanya Amanda. Sesekali menertawakan nasib dari kakak perempuan yang sangat miris itu. "Jangan harap lebih sama gue Kak!" tegas Amanda dengan nyaring.

Tubuh Zayana melemas seketika, tatkala mendengar saudara kandung yang teramat ia sayang itu tidak mau sama sekali untuk membantu. Air mata kembali meluruh begitu saja dari pelupuknya, tanpa bisa ditahan sama sekali.

"Oh, God! Kenapa adik saya malah berucap demikian," lirih Zayana dengan tangan yang berusaha untuk mengusap air mata yang kian deras dan sukar untuk dihentikan itu.

Menggelengkan kepala saat mendengar suara yang lebih menyayat terdengar pada telinganya saat ini.

Amanda kembali mengeluarkan suara untuk menjatuhkan sang kakak. "Kamu itu anak yang gak berguna sama sekali Kak! Mending enyah sekalian deh, ketimbang lo hidup kasih beban sama kita."

"Kenapa kamu berucap demikian?" tanya Zayana pada Amanda dengan suara terisak jelas.

Zayana merasakan pening pada kepala. Tangan yang mulai terulur untuk memegang dan memijit pelipis pelan. Ia tidak menyangka jika akan mendapati sebuah lontaran kalimat menyakitkan dari Amanda yang notabene adik kandungnya sendiri dan bukan orang lain.

Amanda di luaran sana tengah mengeluarkan tawa yang keras. Mensyukuri nasih dari sang kakak yang begitu malang. Ia memang tak pernah berniat sama sekali untuk membantunya keluar dan apalagi meminta permohonan pada Damar. Itu tidak akan pernah ia lakukan!

"Manda, Kak Zay mohon! Di sini gelap sekali," cicit Zayana berusaha untuk menggambarkan ruangan yang berhasil mengurung tubuh ringkihnya itu.

Amanda bukannya prihatin atau sekedar perduli dengan keadaan Zayana. Ia memiliih untuk tertawa dan tertawa, terdengar sangat kejam bukan? Tapi inilah fakta yang ada.

Menggelengkan kepala sebagai peluapan emosi karena sesak yang kembali mendera. Luka itu, di dalam sana terbuka lebar bahkan berdarah jika saja bisa dilihat oleh mata telanjang. Sayangnya letak hati jauh dalam raga, dan untuk luka hanya terasa perih selayaknya tersayat oleh sebuah pisau atau mungkin sebuah pedang.

"Jangan harap kalau gue akan tersentuh dengan suara tangis yang lo kasih yah Kak Zay! Lo itu harusnya paham sama satu hal ... Gak berguna!" Amanda berucap dengan penekanan di setia kata-kata yang terlontar dari mulut mungilnya itu.