Chereads / Luka yang Dikagumi / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

Zayana masih menempelkan wajah pada pintu usang nan berdebu itu untuk memastikan jika Amanda masih ada di luar sana. Berharap untuk kata yang terdengar itu sebuah dusta dan tidak sungguh.

Sebuah suara derap langkah kaki yang berjalan menjauh dari depan ruangan itu Zayana tangkap. Menarik napas yang terasa sangat lelah juga lemah.

"Amanda! Kakak ... Sayang banget sama kamu, tapi ... Kenapa?" tanya Zayana dengan tangis yang mulai terdengar kembali. Kali ini suaranya semakin pilu dan menyayat, menggaambarkan perasaan yang begitu hancur berantakan.

Benar kata orang. 'Bahkan sebuah kalimat bisa membunuh seseorang dengan perlahan.'

Tubuh Zayana luruh di depan pintu itu. Tangis dan hanya buliran air mata yang bisa ia lakukan. Selain tidak ada satu orang pun yang perduli, bahkan harus merasakan getir dari perlakuan keluarga yang teramat ia sayang itu.

Zayana menggelengkan kepala kuat. Berusaha menepis semua rasa perih dan sekaligus semua pemikiran buruk tentang orang-orang itu. "Gak ini hanya sebatas mimpi. Aku hanya sedang tertidur dengan mimpi paling buruk," ucap Zayana mengembangkan bibir agar tercipta sebuah senyum pilu.

"Iya ini hanya mimpi, sebatas mimpi!"

"Katakan jika semua ini bukanlah hal yang nyata?" tanya Zayana pada kegelapan yang menyelimuti dirinya kali ini.

Zayana kembali mengulas semua tentang hal yang bisa mengakibatkan dirinya harus dikurung dalam tempat ini. Damar yang begitu marah besar atas tragedi di luar kendalinya.

Tatapan mata kosong menembus kegelapan ruang yang pengap nan berdebu. Pikiran jauh menerawang pada beberapa menit yang berakibat ia harus duduk di tempat ini.

***

"Zayana!" teriak Damar dari ruang keluarga. Ia duduk dengan santai, tangan dilipat ke belakang kepala dan menyenderkan tubuh pada kursi sofa yang saat ini menopang dan membuatnya rileks.

Zayana berada dalam kamar. Tengah menyiapkan semua berkas lamaran untuk mencari pekerjaan besok pagi, tersentak kaget karena mendengar teriakan dari Damar yang memanggil namanya keras.

"Ayah manggil aku kira-kira ada perlu apa yah?" tanya Zayana seorang diri. Meletakkan pulpen yang berada dalam genggaman tangan dan beranjak berdiri untuk kemudian menuju dimana ayahnya berada.

Zayana melangkahkan kakinya sedikit santai karena banyak pikiran saat ini memenuhi otak. Ia tidak mengetahui jika di sana Damar sudah menggeram kesal karena seseorang yang ditunggunya belum juga menongol sedari tadi.

Damar mulai mengepalkan tangan hingga kuku mulai putih memucat, dan otot tangan terlihat jelas dari kulit. "Zayana!" teriak Damar dengan suara bariton keras dan penuh tekanan.

Zayana yang masih jalan dengan santai dan terkadang berhenti saat mulai berpikir tempat pas untuk melamar pekerjaan, mendadak terkejut saat sebuah suara keras memanggil namanya kembali terdengar.

"Ya Allah! Ayah," ucap Zayana. Kini berjalan dengan langkah yang kian cepat agar tidak ada masalah kembali.

Sesampainya di ruangan dimana Damar duduk dengan mengepalkan tangan. Zayana menundukan pandangan, sebab merasa takut dengan aurah dari sang ayah. "Maaf Ayah, Zay telat." Tatapan mata mengarah pada jemari pada kaki.

Damar memberikan sorot mata tajam, seolah ingin mencabik sang mangsa. Tangan masih terkepal sempurna, tidak perduli dengan otot yang sudah terlihat jelas pada kulit tangan dengab warna kuning langsat itu. Beranjak pergi untuk menghampiri Zayana yang masih tertunduk sempurna.

Plak!

Damar melayangkan tangan ke atas untuk memberikan sebuah tamparan kulit pada pipi pualam milik Zayana hingga suara nyaring terdengar dengan sangat jelas. Rasa kesal sekaligus emosi yang sukar dikontrol membuatnya menjadi orangtua tak berperasa sama sekali.

Zayana merasakan perih dan panas menjalar pada pipi. "Allahuakbar!" Air mata terasa mulai menggenang di sana.

Zayana memegang lembut pipi yang mendapatkan bekas tamparan dari sang ayah itu. Terasa hangat dan perih sebab saking kerasnya, memberanikan diri untuk menatap Damar yang memiliki sorot mata berwarna merah nyala.

"Maaf Ayah," ucap Zayana dengan suara yang nyaris tak terdengar sama sekali. Menggigil ketakutan dengan aurah Damar sekarang, layaknya orang tengah kesurupan atau mungkin dirasuki setan.

Damar seseorang yang selalu tidak pernah menganggap remeh akan kesalahan kecil. Ia selalu beranggapan kesalahan fatal selalu ada ketika hal yang kecil disepelekan. Begitu pula dengan Zayana yang saat ini tengah melakukan hal serupa, maka akan ia ajarkan arti disiplin. Kurang lebih seperti itulah prinsip Damar.

***

Zayana kembali tersadar dari lamunan saat mendengar decitan suara tikus kecil yang seolah berada tidak jauh dari tempat ia duduk. Beringsut untuk menghindar saja rasanya percuma, karena batas pandang yang terjangkau. Cahaya terang tak ditemukan sama sekali, meski hanya sepelik saja.

"Karena telat akan sebuah panggilan itu, dan lawaknya ... Zay Harus berakhir dalam sebuah gudang kembali," decak Zayana. Mendongakan kepala untuk menatap sisi atas ruangan gelap itu, bahkan ia tak bisa menangkap apa pun selain bentuk hitam.

Semua hal terasa menyakitkan kali ini. Bahkan ruangan ini saja terasa begitu menyiksa, sesak napas terasa mendera dalam dada.

"Tuhan!"

"Siksaan macam apa ini?" tanya Zayana.

Zayana masih terduduk lemas di depan pintu gudang yang telah usang. Berharap dan terus berharap jika ada suatu hal yang bisa membuatnya keluar dari tempat menakutkan ini. Berusaha untuk memejamkan mata yang telah sembab karena terlalu banyak menangis.

Zayana berhasil untuk memejamkan mata dan tidur dengan pulas. Dalam benak berharap ketika besok bangun nanti, hal yang dialami kali ini adalah sebuah mimpi mengerikan.

Ruangan kotor penuh debu yang mulai menghitam, barang berserakan dimana-mana, suara nyamuk berdengung nyaring di telinga Zayana, dan dinginnya ubin yang terasa menusuk hingga ke tulang.

Zayana terbangun karena tidak bisa tidur sama sekali dengan suasana yang tak nyaman seperti ini. "Zay masih hidup di dunia loh Tuhan, bukan di akhirat 'kan?" tanya Zayana dalam gelapnya ruangan.

Kembali mengeluarkan isak tangis sebab dada yang sangat sesak dan terasa tak nyaman sama sekali. "Tuhan! Zay gak tau harus mengadu sama siapa lagi jika bukan dengan Engkau."

"Tuhan! Zay takut banget, emang ini bukan kali pertama tapi ...." Menggantungkan kalimat karena tersendat dengan suara tangis yang kembali ia lakukan.

Bagaimana bisa seseorang bertahan dalam ruangan yang seperti itu? Terkadang terlintas dalam benak Zayana untuk mengakhiri semua penderitaan saat ini, tapi ia sendiri belum cukup tega jika harus melakukan suatu hal konyol yang dilarang oleh agama.

Zayana hanya bisa memendam semua kesakitan itu seorang diri, dan menikmati semua luka tersebut dengan senyum yang terpaksa ditampilkan agar orang melihat bahagia, bukan nestapa.

Zayana menghapus buliran air mata yang kembali meluruh tersebut. "Zay ikhlas atas garis takdir yang Engkau gariskan saat ini, Tuhan!"