Chereads / Luka yang Dikagumi / Chapter 6 - Chapter 5

Chapter 6 - Chapter 5

Zayana melangkahkan kaki untuk pergi keluar dari kamar. Menutup pintu dengan rapat, menenteng amplop sampul coklat yang berisikan berkas lamaran.

Baru beberapa langkah pergi dari kamar, sebuah suara mengiterupsi dirinya agar berhenti dan terdiam di tempat tersebut.

"Mau kemana kamu?" tanya Nirmala dari arah belakang. Ia mencurigai jika Zayana keluar rumah ini akan bertindak aneh dan melakukan hal konyol di luaran sana.

Zayana terpaku di tempat ia berpijak saat ini. Membalikan badan untuk menatap sosok ibu kandung yang tengah menanyakan tujuan perginya kali ini.

"Zay mau naruh lamaran kerja lagi Bu. Oh iya Zay minta doa yah biar secepatnya bisa kembali bekerja," tukas Zayana dengan senyum yang kini terbit pada bibir. Mengacungkan amplop coklat khas orang-orang biasa melamar pekerjaan secara manual untuk kemudian diletakkan pada sebuah tempat yang menerima surat tersebut.

Nirmala menghedikkan bahu tak acuh. "Kamu yakin kalau diterima? Mimpi!" sentak Nirmala. Alih-alih memberikan doa restu pada sang anak yang berniat untuk mencari pekerjaan kali ini, itu juga demi ekonomi pada keluarga yang saat ini masih belum stabil.

Zayana tersenyum getir. "Ibu kenapa berucap demikian? Bukankah mendoakan lebih elok ketimbang meragukan?" tanya Zayana sembari menekan nyeri di dalam hati sebab keraguan yang keluar dari mulut sang ibu.

Terdengar suara decakan cukup keras keluar dari mulut Nirmala. "Kamu itu gak usah berlagak mengajarkan saya harusnya bersikap seperti apa! Sadar kamu itu anak, gak semestinya bertingkah kurang ajar!" bentak Nirmala dengan suara melengking keras.

Zayana menutup mata karena rasa takut akan bentakan yang kembali terdengar. "Ma--maaf Bu. Zayana pamit untuk cari kerjaan dulu," ucap Zayana dengan kegugupan yang berusaha ditahan. Meraih tangan Nirmala untuk dicium bagian atasnya, tapi yang didapatkan hanya sebuah tepukan angin, hampa.

"Ibu," cicit Zayana sesaat kemudian mendongak untuk menatap wajah sang ibu yang membuang pandangan ke arah lain. Tersenyum tipis dan kembali berucap. "Zay pamit sekarang yah Bu, Assalamualaikum!"

Zayana menundukan kepala. Berjalan menjauh dari posisi sang ibu yang berdiri dengan tatapan wajah berpaling ke arah lain. Ingin sekali rasanya diberikan sebuah tatapan teduh dan juga bersahabat, tapi sayang kali ini ia hanya berkhayal.

Melangkahkan kaki untuk menuju jalan raya dan kemudian memilih menaiki angkutan umum agar bisa menuju wilayah yang memiliki banyak sekali pabrik. Dalam hati Zayana selalu merapalkan doa agar kali ini semua usahannya tidaklah sia-sia.

Angkutan berwarna kuning dengan jurusan suatu tempat berhenti tepat di hadapannya, membungkukan badan untuk kemudin naik dan kendaraan tersebut berjalan menembus padatnya suasana yang masih pagi.

"Bismillahirrahmanirrahim. Semoga kali ini Allah memberikan rezeki-Nya untukku," gumam Zayana dengan senyum terukir indah menghiasi wajah.

Zayana memperhatikan jalanan dengan gedung yang menjulang tinggi, kafe ataupun resto terjejer rapi sepanjang tepi jalanan. Menatap dengan sangat kagum dan dalam hati berharap jika ia bisa bekerja kemudian menjadi salah satu pegawai di sana.

"Mba mau cari loker yah?" tanya seorang ibu-ibu yang duduk tepat berhadapan dengan Zayana. Memperhatikan penampilan dari atas hingga ke bawah, dan amplop coklat dalam genggaman tangan Zayana tak luput dari tatapannya juga.

Zayana tersenyum. "Iya Bu, saya mau cari kerjaan hari ini," ucap Zayana dengan sopan dan juga suara lembut.

Ibu itu menatap Zayana dengan sangat sinis. "Cari kerjaan di zaman sekarang itu susah-susah gampang, dan saya gak yakin kamu bisa dapet dengan penampilan yang seperti ini," hina ibu-ibu itu.

Zayana menganggukan kepala pelan seraya menampilkan senyum terbaiknya untuk ditampilkan. "Gak ada yang tahu dengan rezeki seseorang, begitu pula dengan Ibu. Saya berucap terima kasih atas keraguan yang Ibu ucapkan barusan," jelas Zayana dengan mantap.

Zayana dapat melihat jika ibu-ibu itu kembali menampakan raut wajah tidak suka yang kini semakin kentara. Ia tidak bisa berbuat banyak, apalagi harus berbicara panjang lebar yang sejelasnya itu hanya akan membuang-buang waktu saja.

Meski dalam hati cukup merasa ngilu karena ucapan keraguan tentang diterima pekerjaan hanya karena sebuah penampilan. "Zay yakin ketika Allah sudah memberi rezeki, maka suatu hal yang terlihat tidak mungkin pun akan menjadi mungkin," tekad Zayana di dalam hati.

Memilih untuk tidak ambil pusing dengan semua keraguan yang terucap barusan itu, dan kembali fokus akan jalanan yang akan membawa dirinya ke suatu tempat tujuan.

Mobil terus berjalan menembus padat dan ramainya kendaraan. Suasana di dalam mobil kini terasa tidak nyaman sebab tatapan sengit yang dilempar ibu-ibu tadi pada Zayana, lantaran kesal dengan jawaban yang dilontarkan olehnya beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bungkam.

Ibu itu kembali menegur Zayana dengan suara yang kentara untuk membuatnya malu. "Hey kamu! Orang yang aku kasih tau kalau cari pekerjaan itu sulit!" Tatapan mata menyorot tajam Zayana yang tengah menengok keluar jendela.

Zayana terkesiap mendengar suara teguran dengan sangat keras. Menengok ke kanan dan juga kiri untuk mencari siapa orang tersebut, dan mendadak tatapan mata beradu pandang dengan sorot mata menahan kesal.

"Ada apa ini Bu?" tanya Zayana dengan kebingungan yang menyergap otak dan juga pikiran.

Ibu itu menampilkan senyum smirk. "Kamu itu seharusnya berkaca terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mencari kerja!" seru ibu itu seraya menunjuk tangan tepat di hadapan Zayana yang masih kebingungan.

Zayana mengangkat satu alis karena saking bingungnya. "Maksudnya apa yah Bu?" tanya Zayana dengan mata yang mengarah ke dirinya sendiri, mengoreksi apa ada kesalahan dalam cara berpakaian ia kali ini, dan lagi ada apa dengan ibu itu? Tidak habis pikir menurutnya.

Penumpang lain yang duduknya tepat di sebelah Zayana seketika menepuk pundak dan juga memberikan gelengan kecil pada kepala. "Kamu gak usah dengerin omongan Ibu tadi yah, anggap aja hanya angin lewat."

Zayana menampilkan senyuman, meski dalam hati kembali merasakan sayatan perih. "Iya Kak. Terima kasih," ucap Zayana berusaha untuk tetap baik-baik saja dan berusaha untuk tidak perduli dengan ucapan yang menjatuhkan mental tersebut.

"Memangnya ada apa dengan aku?"

"Apa aku salah dalam berpenampilan?"

"Bahkan orang yang tak aku kenal pun bisa untuk memberikan ucapan menyayat hati seperti tadi?"

Zayana bertanya-tanya dalam hati, merasa bingung dan sibuk menerka apa sebenarnya yang salah. Pikiran dan juga hati memang tidak akan pernah bisa sinkron sama sekali, ketika pikiran berusaha menepis, dan ketika merasakan sayatan pilu atas ucapan beberapa saat lalu.

Memejamkan mata barangkali ketenangan dapat kembali didapat. Ia sendiri tidak dapat memungkiri jika kali ini rasa sakit itu kembali menyergap relung hati. "Sakit kembali Tuhan! Aku kewalahan untuk mengatasi rasa sakit ini," lirih Zayana dengan raut wajah menahan kesakitan.