Zayana memilih untuk terus diam dan juga menulikan telinga dengan suara riuh dalam angkot. Tidak ada tujuan yang lebih penting selain menjaga hati agar tak semakin terluka dengan ucapan orang lain, bahkan ia sendiri pun belum pernah mengenalnya sama sekali.
Zayana memilih untuk memperhatikan jalan agar tidak terlewat dari tempat yang hendak dituju kali ini. Menatap dari jendela yang berada tepat di sampingnya itu, sembari mulut yang tak henti melafazkan kalimat Allah.
"Pak, di depan berhenti yah," ucap Zayana saat mendapati mobil yang kini hampir mendekati patokan tempat tujuan kali ini.
"Iya Neng," jawab supir itu dengan tatapan mata fokus untuk mengendarai mobil angkot tersebut.
Zayana memperhatikan arah laju mobil yang tengah ia tumpangi, dan tidak selang berapa lama berhenti tepat di depan patokan yang sudah ia beritahu pada sang sopir tersebut. Beranjak dari tempat duduk untuk kemudian keluar dari kendaraan tersebut.
Langkah kaki Zayana terhenti sebentar tatkala sebuah suara terdengar dengan nada penuh hinaan terlontar.
"Jangan harap hari ini kamu akan dapat kerjaan, sebelum berkaca diri karena penampilan!" teriak ibu-ibu tadi pada Zayana yang satu langkah berjalan untuk turun.
Dalam hati Zayana merasakan sakit yang teramat, tapi mendadak ia sadar jika omongan orang itu tidaklah penting untuk didengar. Lagi pula siapa dia? Seseorang yang tak pernah sama sekali ia kenal selama ini, atau bahkan mungkin bukan orang tua kandungnya sendiri.
Zayana mengulas senyum tipis pada wajah, berjalan keluar dan mengulurkan tangan pada jendela sang supir untuk memberikan uang ongkos. "Terima kasih yah Pak," ucap Zayana dengan suara yang lemah lembut.
"Sama-sama Neng." Mobil itu kembali melaju dan menembus padatnya jalanan.
Zayana terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menatap sekeliling. "Ya Allah mohon lancarkanlah hamba dalam mencari jalan rezeki," pinta Zayana dengan tatapan mengarah ke atas langit.
Zayana memastikan penampilannya terlebih dahulu apa sudah sempurna ataukah ada yang kurang. Meraba bagian kepala yang sudah terbalut sempurna dengan hijab berwarna senada dengan tas selempang yang dikenakan olehnya kali ini.
"Bismillah, aku harus tetap optimis meski tadi ada seseorang yang meragukan kuasa dari Allah," tekad Zayana sangat bulat untuk mencari pekerjaan. Ia sangat ingin untuk memberikan sejumlah uang yang nanti akan diberikan pada ibu agar bisa lebih menghargai kehadirannya, sekaligus untuk membantu perekonomian keluarga.
Zayana melangkahkan kaki untuk menyusuri jalanan yang sepanjangnya akan ada gerbang tinggi entah itu berwarna biru atau hijau.
Zayana menghampiri salah satu pabrik dengan jalan kaki, karena ia sendiri belum memiliki motor sebagai kendaraan alternatif untuk mencari pekerjaan. Menengok ke kanan dan juga kiri berniat untuk menanyakan pada orang-orang yang kebetulan hendak memasuki kawasan pabrik tersebut.
"Mba permisi aku mau nanya," ucap Zayana sembari menghentikan salah satu wanita paruh baya yang diperkirakan adalah karyawan dari pabrik tersebut.
Wanita paruh baya itu berhenti dan menampilkan senyum ramah pada Zayana. "Ada apa yah Mba?" tanya wanita itu.
Zayana yang mendapat respon sangat baik merasakan senang dan kini mengulas senyum meski terasa sangat canggung. "Maaf menggangu waktunya sebentar. Apa di tempat ini ada loker untuk saya?" tanya Zayana dengan sopan dan sangat sopan.
Wanita itu terlihat menghedikkan bahu. "Untuk loker saya kurang tau mba, mungkin bisa tanya langsung melalui security di sana." Wanita itu menunjuk ke arah post satpam yang berada tidak jauh dari posisinya berdiri dan terletak di dalam pabrik tersebut.
Zayana mengangguk tanda paham, dan ia kembali melontarkan pertanyaan. "Apa saya boleh untuk masuk yah Mba, hanya sekedar bertanya atau paling tidak menitip amplop ini," ucap Zayana dengan mengacungkan salah satu amplop berwarna coklat dengan berkas lamaran yang ada di dalamnya.
"Boleh kok, atau mau saya panggilkan saja salah satu satpam untuk berbicara langsung dengan Mba," tawar wanita itu pada Zayana dengan sangat antusias.
Zayana menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Terima kasih Mba sebelumnya dan maaf jadi merepotkan," ucap Zayana dengan senyum canggung.
Berpikir jika di dunia ini ternyata ada banyak sekali jenis manusia yang akan ia temui. Entah itu dimulai dari seseorang dengan sadisnya menggunakan mulut untuk menghancurkan mental atau semangat seseorang yang susah payah dibangun. Sebagian lagi ada seseorang dengan baiknya menggunakan mulutnya untuk menumbuhkan harapan yang sedikit memudar.
Zayana bersyukur karena kini dipertemukan dengan orang baik yang akan membantu dirinya untuk menjadi bagian dari tempat pertama kali ia menginjakkan kaki untuk menitipkan berkas lamaran. "Allah ternyata akan mengirimkan hal-hal baik ketika kita selalu berpikir positif," gumam Zayana dengan senyum yang terbingkai indah pada wajahnya.
Zayana memperhatikan wanita paruh baya itu memasuki ruangan pabrik dan saat ini tengah menghampiri post satpam, dan dalam benak memperkirakan bahwa tengah memberitahu maksud kedatangannya kali ini.
"Semoga dan semoga ada kabar baik," pinta Zayana dengan memejamkan mata penuh harapan yang melambung tinggi. Memilih tidak memperdulikan suara yang mendadak muncul dalam benak tentang ucapan dari semua orang untuk membuat tekadnya menjadi hancur.
Tidak berselang lama salah satu satpam dari pabrik tersebut menghampiri Zayana yang berdiri tidak jauh dari posisi gerbang saat ini.
Satpam itu membuka suara untuk memanggil Zayana dengan nada suara yang begitu berwibawa. "Apa ada yang bisa saya bantu Mba?" tanya satpam tersebut menyapa dengan senyum ramah.
Zayana memberikan anggukan sekali. "Saya ingin bertanya Pak, apa di sini masih membutuhkan karyawan? Atau mungkin bisa menitipkan surat lamaran kerja milik saya?" tanya Zayana bertubi. Tidak ingin kehilangan satu hal yang akan sangat berharga suatu saat nanti.
"Sebenarnya pabrik belum membutuhkan karyawan untuk saat ini, dan belum bisa juga untuk menitipkan berkas lamaran yang Mba bawa saat ini. Saya minta maaf, mungkin Mba bisa mencari di lain tempat," terang satpam tersebut pada Zayana dengan sopan.
Zayana tersenyum meski saat ini harapan kembali hancur. "Baik Pak kalau seperti itu. Terima kasih sebelumnya karena sudah bersedia meluangkan waktu sebentar untuk saya," ucap Zayana pada satpam tersebut. "Maaf sudah menggangu waktu anda."
"Tidak sama sekali Mba," jawab satpam tersebut dengan senyum yang selalu terpasang pada wajah agar terlihat selayaknya orang ramah.
"Kalau begitu saya permisi Pak, terima kasih sebelumnya." Zayana melenggang pergi dari tempat tersebut. Kembali menelan pil pahit yang dinamakan harapan berujung tragis dan kecewa.
Benar kata orang. 'Berharap hanya akan membuat hati kamu jatuh untuk merasakan sakit.'
Zayana menatap kembali gerbang yang kini mulai tertutup dan tak ada lagi orang berlalu lalang dari pabrik tersebut. "Mungkin ada di tempat lain," gumam Zayana dengan hembusan napas yang sangat santai.