Anak Mama
Bab 7
"Sarah, ada apa kamu kemari?" Erik bertanya dengan ketus.
Helena menepuk tangan Erik pelan, dia tak ingin anaknya menyakiti hati perempuan. Walau wanita itu telah mengecewakan hati anaknya sendiri.
"Sarah, ayo sini. Ada perlu sama Tante atau Erik, nih?" Helena bertanya pada Sarah.
Senyum Sarah yang sempat hilang karena pertanyaan Erik tadi timbul kembali.
"Sarah cuma mampir, Tante. Kebetulan habis dari rumah teman di sekitar sini," jawabnya riang.
Ketiga kakak ipar Erik kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Helena mengajak Sarah duduk di ruang tamu.
"Ada acara apa, Tante. Kok kelihatannya ramai banget?"
"Oh, itu. Gak ada acara apa-apa, kok. Hanya kumpul keluarga saja, tapi maaf kamu gak bisa Tante ajak," jawab Helena.
Wajah Sarah kembali murung, padahal tadi dia sudah senang karena disambut Helena dengan ramah.
"Gak apa, Tante. Sebentar lagi aku pulang, kok. Terima kasih, ya, Tante mau nemenin aku ngobrol."
"Kapan kamu kembali dari Singapura, Sarah. Bagaimana karier model kamu, pasti sudah terkenal di sana, ya?"
"Ah, Tante mengejekku saja. Aku gak berhasil di sana, Tante. Makanya aku pulang ke sini."
Helena tersenyum melihat Sarah yang kelihatan tertekan menjawab pertanyaannya.
"Tante gak mengejek, buat apa coba? Tante hanya bertanya, karena kamu dulu pergi dengan tiba-tiba. Kami semua kaget saat mengetahui kabar itu."
Sarah hanya menunduk mendengar penuturan Helena, dalam hatinya dia merasa menyesal. Dulu dia hanya menuruti ego dan ambisinya saja.
Padahal, dulu Erik sangat melarangnya untuk pergi. Namun, dengan sombongnya dia malah pergi meninggalkan Erik.
"Ma, sudah sore. Sebentar lagi Papa dan yang lain akan pulang. Mama bersiaplah!" kata Erik.
"Sarah, Tante pamit, ya! Mau bersiap, sebentar lagi om kamu mau pulang," pamitnya pada Sarah.
Sarah hanya bisa mengangguk dengan pelan, dia tahu kalau sebentar lagi dirinya harus pulang. Namun, Sarah bertahan di situ. Dia ingin tahu, apakah Erik berani mengusirnya.
"Gak mungkin Erik tak punya rasa cinta sedikitpun lagi padaku! Aku harus kuat, jangan sampai kalah dan takut pada Erik!" tekad Sarah dalam hati.
Erik yang masih berdiri tak jauh dari posisi Sarah berdehem.
"Erik, aku ...."
"Kenapa belum pulang? Apa menunggu aku tarik paksa Ke luar rumah?" potong Erik.
Sarah menelan ludahnya dengan susah payah, sakit sekali mendengar semua perkataan Erik.
*
Sarah telah pergi beberapa saat yang lalu, Helena yang melihat semuanya dari pintu kamarnya yang terbuka sedikit merasa kasihan pada Sarah.
"Erik!" panggilnya pada anak bungsunya tersebut.
Erik menoleh, ternyata mamanya sudah selesai bersiap dan sekarang memanggilnya.
"Ada apa, Ma?"
"Mama kasih tahu, ya. Walau kamu benci dengan seorang gadis, kamu gak boleh menyakiti hatinya. Katakan baik-baik, jangan pakai emosi," nasihat Helena.
"Sarah itu gak bisa di naikin, Ma. Yang ada dia bakal merasa senang dan gak tahu di mana kesalahannya. Buktinya, dari kemarin kita bertemu. Tak ada sekalipun dia meminta maaf denganku."
"Iya, Mama tahu. Kamu sebagai lelaki harus bersabar, bicarakan baik-baik Mama yakin kalau Sarah pasti akan mengerti."
"Mama ... aku udah malas bicara lagi dengannya."
Helena batu akan menjawab ketika terdengar salam dari luar rumah. Gak lama kemudian suami dan ketiga anaknya masuk beriringan.
"Nanti kita bicarakan lagi!" katanya pada Erik.
Helena bangkit lalu berjalan menyongsong suaminya. Begitu juga dengan ketiga menantunya, mereka menyambut suami masing-masing.
Erik memilih diam dan menepi ke ruang makan. Dia tahu jika berkomentar, pasti mereka akan gantian mengomentari hidupnya.
Erik duduk terpekur di meja makan. Makanan yang terhidang di depannya kini tak lagi menarik. Erik mendengar suara orang tua dan saudara-saudaranya makin dekat di belakangnya.
"Waktunya dimulai!" ucap Erik lirih.
"Erik! Ya, ampun anak ini. Semua orang menyambut kedatangan sepupunya, dia malah duduk melamun di sini!" seru Seno.
Erik memejamkan matanya, dia tahu apa kelanjutan dari perkataan Seno tadi.
"Sudah, jangan ganggu dia. Nanti ada yang menangis, malu, kan sama tamu istimewa kita hari ini," sela Heru.
Kepala Erik yang tadinya menunduk mendadak mendongak. Ditatapnya anggota keluarga satu persatu. Tamu istimewa? Siapa?
Selain, saudara sepupunya. Tak ada orang lain yang berada di ruangan ini? pikir Erik.
"Siapa, Pa?" tanya Erik setelah gak menemukan juga jawabannya.
"Itu," tunjuk Seno ke arah belakang Erik.
Erik pun berbalik dan terkejut melihat kehadiran Joya di situ. Dia kembali duduk di kursinya.
"Aku pikir siapa?" ucapnya dalam hati.
"Ayo, Joya! Kamu duduk di sini. Biar kita bisa segera menghabiskan hidangan yang kelihatan sangat lezat ini!" ajak Heru pada keluarganya.
"Sejak kapan kamu bekerja di perusahaan papaku?" tanya Erik saat dia sedang berduaan saja dengan Joya di dalam mobilnya.
Acara makan bersama telah selesai, saudara sepupu Erik juga telah kembali ke rumahnya. Sebenarnya Joya merasa keberatan saat Seno meyuruh Erik untuk mengantarnya pulang.
Joya merasa malas berdekatan dengan cowok bernama Erik. Dia merasa Erik ini terlalu lemah dan maka sebagai seorang cowok.
Sekarang Joya tahu penyebabnya, Erik terlalu dimanja oleh keluarganya. Joya dapat melihatnya saat acara makan tadi.
Walaupun Seno dan keluarganya sering mengejek dan mengerjai Erik, tetapi kelihatan sekali kalau mereka sangat menyayangi Erik.
"Hey, gadis aneh. Ditanya bukannya jawab, malah bengong. Kenapa kamu? Mulai terpesona sama ketampananku?"
"Terpesona denganmu? Dih, jangan mimpi!" seru Joya sambil membuang muka.
Erik tertawa terbahak-bahak membuat Joya semakin kesal. Menyesal dia menuruti perintah atasannya untuk ikut ke rumah atasannya tadi.
"Yang suka bermimpi itu kamu, Joy. Ingat waktu pertama kita bertemu? Kamu memanggilku pangeran, kan? Hari gini masih mimpi ketemu pangeran, ha-ha-ha!" Telinga Joya memerah mendengar penuturan Erik.
Dia ingat kelakuannya yang memalukan itu.
"Terus saja mengejekku, sudahlah hentikan mobilnya di sini anak mama. Aku pulang naik taksi saja!"
"Apa kamu bilang, anak mama?" Erik menepikan mobilnya.
"Iya, kamu itu anak mama! Terima kasih tumpangannya!" jawab Joya kesal.
Dia keluar dari mobil lalu menutup pintunya dengan keras.
"Hey, seeanknya saja mengejek aku anak mama. Apa maksudmu berkata begitu?" tanya Erik dengan berang.
Dia keluar dari mobil dan mengejar Joya yang sudah menjauh dari mobilnya.
"Kamu itu memang anak mama, cengeng dan lemah. Buktinya, kena angin pantai saja kamu pingsan. Sudah, pergi sana!" usir Joya sambil mendorong tubuh Erik agar menjauhinya.
Erik merasa kesal, harga dirinya sebagai lelaki merasa tersakiti. Namun, dia merasa apa yang dikatakan Joya ada benarnya.
Dengan langkah gontai, Erik masuk ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Di sepanjang jalan menuju ke rumahnya Erik berpikir kalau dia harus berubah.
Dia harus bekerja dan mulai merencanakan untuk masa depannya. Erik bertekad akan membuktikan bahwa ucapan Joya itu salah.
Aku bukan anak mama!
Bersambung.