Ulah Erik
Bab 9
"Ma-maaf, apa liftnya sudah hidup kembali?" Joya duduk meringkuk di sudut lift.
"Belum, kamu kenapa? Tiba-tiba pingsan, tiba-tiba sadar. Bikin kaget aja!" ketus Erik.
"Aku takut berada di ruang sempit dan tertutup. Napasku terasa sesak," jawab Joya dengan lirih.
Erik mengerti apa yang dirasakan oleh Joya. Dia pernah mendengar dan membaca kalau setiap orang mempunyai ketakutan atau fobia akan sesuatu.
"Sepertinya masih diperbaiki, aku mendengar suara orang banyak di luar tadi. Oh, ya, sini pinjam ponsel kamu! Aku mau menghubungi papaku!"
Joya memberikan ponselnya pada Erik. Joya masih pusing dan merasa sedikit mual, jadi dia memejamkan matanya agar merasa lebih baik.
Joya mendengar Erik bicara pada papanya di ponsel. Rupanya mereka semua berkumpul di balik pintu lift ini menunggu liftnya selesai diperbaiki.
Setelah selesai bicara di ponsel, Erik memilih untuk duduk di lantai dengan santai. Dia merasa tenang karena tahu kalau papanya dan saudara-saudaranya tidak akan membiarkan dirinya dalam bahaya.
Tiba-tiba lift bergerak naik, dan pintu lift pin terbuka begitu tiba di lantai empat. Joya dan Erik berdiri bersamaan. Kemudian Erik keluar lebih dulu, dia langsung menghambur ke pelukan papanya.
Joya yang berjalan di belakangnya hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Erik.
"Dasar anak Mama, Papa!" desis Joya pelan. Seno yang memperhatikan Joya sejak tadi jadi tersenyum simpul. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di benak Seno.
Dia pun mendekati Joya yang langsung tertunduk malu. Seno menepuk bahu Joya sambil bertanya keadaannya.
"Saya baik-baik saja, Mas," jawab Joya.
"Baik apanya? Tadi dia pingsan Mas." Erik mengadukan kejadian di dalam lift tadi.
Joya melotot pada Erik dengan perasaan sebal. Ternyata selain anak manja, dia juga pengadu, pikir Joya dalam hatinya.
"Pingsan? Kalau begitu bawa dia ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut, Erik!" titah Heru.
"Jangan, Pak. Saya gak apa-apa, kok. Beneran. Itu tadi karena saya panik, saya ... fobia dengan tempat sempit, Pak," jawab Joya cepat.
Joya memang paling takut jika mendengar kata dokter. Sejak kecil dia tak suka dengan yang namanya obat dan jarum suntik.
Lebih baik dia meminum jamu yang sangat pahit dari pada harus di suntik.
Semenjak kejadian itu, Joya dan Erik semakin dekat di kantor. Namun, hanya sebatas di kantor saja. Itu pun karena Heru menugaskan Joya untuk membantu Erik mempelajari tugas-tugas di kantor mereka.
Siang itu, Joya sedang asyik memeriksa berkas dari perusahaan lain saat Erik masuk ke ruangan Seno untuk menemuinya.
Joya yang sedang fokus tak menyadari kalau Erik telah berada di depannya. Sementara Seno sedang berada di ruangan ayahnya sejak tadi.
Joya kaget saat mengangkat wajahnya, Erik telah berdiri menjulang di depan Joya.
"Aaa!" teriaknya kaget.
Erik yang tak menyangka kalau Joya akan berteriak juga ikut kaget.
"Heh, ada apa kamu sampai berteriak seperti itu?" tanya Erik kesal.
"Kamu! Kenapa masuk gak mengetuk pintu dulu. Kaget tahu, kalau sampai jantungku copot bagaimana?"
"Ganti jantung pisanglah!" jawab Erik cuek.
Tak dipedulikannya pelototan mata Joya yang ditujukan padanya.
"Ada perlu apa?" tanya Joya dengan putus asa karena sedikitpun Erik tak peduli dengan kekesalannya.
"Ini! Aku bingung mengapa bisa begitu?" jawab Erik seraya memberikan selembar kertas.
Joya menerima kertas tersebut, lalu menerangkan pada Erik isi dari kertas tersebut. Erik tampak memperhatikan dengan patuhnya.
Sementara di ruangan lain, Heru sedang mengangguk-angguk setelah mendengar usulan Seno, anak tertuanya.
"Kamu yakin dengan rencana ini, Seno?"
"Yakin, Pa. Aku percaya kalau mereka berdua itu memang ditakdirkan untuk bersatu," jawab Seno dengan yakinnya.
"Apa Joyanya mau, soalnya seperti kamu lihat sendiri. Mereka lebih banyak bertengkar dari pada akurnya," ucap Heru masih belum yakin dengan usulan Seno.
Anak sulungnya itu mengusulkan agar menjodohkan Erik dengan Joya. Heru takut Erik akan menolak seperti perjodohan sebelumnya.
"Dicoba saja dulu, Pa. Kita gak bisa tahu kalau belum mencobanya, kan?"
"Baiklah, nanti kamu yang bicara pada Joya, ya. Kalau Erik biar Papa yang urus!"
Seno mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar. Dia senang akhirnya Heru menyetujui usulannya. Seno sudah menilai pribadi Joya selama berada di ruangannya.
Dia bisa menilai kalau Joya itu gadis yang tegas, tidak takut pada apapun kecuali dokter, obat dan ruangan sempit.
Selain itu, Joya adalah gadis yang tangguh dan tidak takut dengan apapun. Sangat cocok bila bersanding dengan Erik yang manja dan kolokan.
"Apa!" pekik Joya saking kagetnya. "Maaf, Mas. Saya gak sengaja teriak. Mas, sih, bercandanya kelewatan," sambung Joya sambil tersenyum kikuk.
"Saya serius, Joya. Saya harap kamu pikirkan baik-baik dulu. Tidak harus kamu jawab sekarang!" Seno menatap Joya yang masih belum hilang kagetnya.
Tentu saja Joya merasa kaget, mimpi apa aku semalam. Pagi-pagi sudah disodori tawaran jadi menantu di keluarga Kusuma.
Sampai Seno keluar ruangan, Joya masih bengong dengan pikirannya sendiri.
"Menikah dengan anak mama itu? Ihh, amit-amit jabang Bebi eh bayi," gerutu Joya seorang diri.
"Ini pasti ulah si anak mama itu, doyan amat bikin aku susah!" Joya masih mengomel.
Joya pun hendak keluar ruangan hendak menemui Erik. Namun, belum sempat dia membuka pintu, Erik telah masuk dengan wajah marah.
"Sini kamu!" sentaknya pada Joya.
"Apa, kebetulan ketemu di sini. Ngapain kamu pakai kasih ide biar kita menikah. Demen banget kamu sama aku!" Joya menumpahkan kekesalannya.
"Enak saja, itu bukan idwk aku. Bukannya kamu yang ngebet mau jadi istri aku, seperti sang pangeran di mimpiku itu," ejek Erik.
"Kamu!" Omongan Joya terputus karena kehadiran Seno di antara mereka.
"Kenapa berhenti ributnya ayo dilanjut lagi!" ucapnya dengan tegas.
"Mas, aku gak terima rencana kalian. Sejak dulu aku selalu kalian tindas. Kali ini aku gak mau menurut lagi, ya!" rengek Erik membuat Joya menarik napas kesal.
"Dasar anak mama, kamu itu mau merengek atau menentukan prinsip hidupmu?" ejek Joya.
"Bukan urusanmu, kok kamu yang sewot. Lihat, Mas. Begitu itu mau dijadikan istri? Yang ada aku makan hati setiap hari nanti," gerutu Erik sampai bibirnya maju beberapa senti.
Joya tertawa terbahak mendengarnya.
"Biasanya yang makan hati tiap hari itu emak-emak, bukan cowok perkasa tapi loyo kayak kamu," ejek Joya sambil terus tertawa.
Seno juga ikut tertawa, sementara Erik memandang mereka dengan raut wajah tak suka. Kemudian Erik berjalan mendekati Joya dengan senyum liciknya.
Joya masih terus tertawa sampai tak sadar kalau Erik akan melakukan sesuatu padanya. Dengan cepat Erik memegang kepala Joya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Joya.
Cup, dalam sekejap Erik berhasil mendaratkan bibirnya di bibir Joya. Walau hanya sedetik, tetapi cukup membuat Joya kaget setengah mati.
Joya marah besar, tangannya otomatis menampar Erik dengan kerasnya.
"Kamu! Kurang ajar!" bentak Joya lalu berlari ke luar. Tak dihiraukannya panggilan Seno di belakangnya.
Joya terus berlari dengan berderai air mata. Dia memilih turun melalui pintu darurat. Joya kecewa dengan kelancangan Erik, pria yang sebenarnya mulai masuk ke dalam hatinya.
"Kamu jahat, Erik!"
Bersambung.