Escape
Bab 13
"Lepaskan aku, bukankah aku sudah menuruti semua keinginan kalian! Mengapa aku gak dilepaskan juga?" teriak Joya dari dalam kamar yang gelap dan pengap.
Setelah pulang dari Mal tadi, dia langsung dimasukkan ke dalam kamar yang pengap ini.
Joya menangis tersedu, hatinya merasa takut jika dia tak bisa bebas kembali.
"Hey, apa kalian tuli. Lepaskan aku! Kalian dengar?! Lepaskan aku!" teriaknya lagi.
Teriakan Joya terhenti dan berganti dengan pekikan saat terdengar suara pintu kamar yang ditendang dari luar diiring bentakan yang sangat kasar.
"Diam! Tutup mulutmu itu! Kalau tidak aku yang akan menutupnya, ban***t!"
Tubuh Joya mengkerut di atas tempat tidur. Air matanya terus mengalir, dia tak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh orang yang menculiknya.
"Mak, Joya takut," keluhnya masih sambil menangis tersedu.
Sementara di luar pintu dua orang pria yang menjaganya tersenyum puas karena sudah tak mendengar lagi teriakan Joya.
"Akhirnya dia berhenti juga, Bang," ucap Rado.
"Iya, pusing kepalaku mendengar teriakannya sejak tadi," sahut Badar.
Mereka berdua melanjutkan kembali permainan kartu yang sempat terhenti tadi.
Brak! Keduanya terkejut karena mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar.
"M-mbak Sarah, maaf kami gmtak mendengar kedatangan, Mbak," ucap Badar dengan terbata.
Badar dan Rado berdiri dengan takut dan kepala yang tertunduk. Sarah melangkah santai mendekati keduanya.
"Kerja kalian hari ini sangat bagus, aku suka itu. Sekarang di mana perempuan kampung itu?" Sarah bertanya dengan pelan.
Dia tak mau kalau sampai Joya mengetahui siapa dalang dibalik drama penculikannya itu.
"Dia ada di kamar, Mbak. Mungkin sedang tertidur," jawab Rado.
"Bagus! Jaga dia terus, jangan sampai lepas dan melarikan diri. Aku yakin sebentar lagi tujuanmu akan tercapai. Erik akan menikahiku karena frustasi dengan Joya yang tak kunjung kembali." Sarah hendak melangkah pergi.
"Mbak, saya punya usul agar tujuan Mbak bisa lebih cepat tercapai."
Langkah Joya terhenti, dia pun berbalik menghadap pada anak buahnya.
"Usul apa?" tanya Sarah pada Rado.
"Begini, Mbak." Rado pun menjelaskan rencananya pada Sarah.
Gadis model itu mengangguk setuju, dia senang dengan rencana Rado.
"Oke, kita lakukan sekarang juga. Eh, tunggu sebentar! Aku pakai masker dulu agar Joya tak melihat wajahku," kata Sarah dengan semangat.
Setelah memakai maskernya, Sarah dan kedua anak buahnya masuk ke dalam kamar Joya. Sarah menyeringai puas melihat keadaan Joya yang sedang tertidur pulas.
*
Erik sedang menonton televisi dengan Heru dan Helena di ruang keluarga. Sejak kejadian siang tadi, Erik merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Sebagai pria, dia merasa sangat lemah sampai tak bisa mengejar dan menangkap basah Joya siang tadi.
Tiba-tiba ponsel Erik berbunyi, sebuah panggilan dari nomor rahasia masuk ke ponselnya.
Erik melihat pada Heru meminta pendapat papanya.
"Angkatlah, siapa tahu penting!" suruh Heru.
Erik menerima panggilan itu, tak lupa dia memencet tombol speaker agar orang tuanya bisa mendengar juga.
"Halo, assalamualaikum, Mas Erik," salam Joya di ujung sana.
"Joya, kamu di mana. Kenapa kamu lari dariku tadi siang?" Erik langsung memberondong banyak pertanyaan pada Joya.
"Ma-maaf, Mas. Aku ...." Joya menggantung kalimatnya.
Terdengar suara Joya yang menahan tangisnya. Lalu panggilan telepon pun diputus tiba-tiba.
"Bagaimana ini, Pa. Apa maksud Joya sebenarnya?" keluh Erik.
Dia menyugar rambutnya dengan kesal, Joya semakin aneh. Untuk apa dia menelepon jika hanya mengucapkan sepatah dua kata seperti tadi?
Erik semakin bingung karena tak bisa menemukan jawaban yang diinginkannya.
Sementara di tempat lain, Joya sedang disiksa dengan sadis oleh Rado dan Badar. Mereka memukuli tubuh Joya dengan tali pinggang yang mereka kenakan.
Semakin Joya berteriak minta berhenti, semakin sadis mereka memukulinya. Pakaian Joya sudah robek di sana-sini terkena sabetan tali pinggang kedua anak buah Sarah.
"Ampuni aku, aku akan menelepon Erik lagi dan mengatakan apa yang kalian inginkan. Ampuni aku!" teriak Joya sambil menangis.
Sarah memberi kode agar Rado dan Badar berhenti. Kemudian menyerahkan ponsel yang dipegangnya pad Badar.
"Cepat katakan apa yang kami perintahkan tadi, tanpa suara tangis. Paham! Kalau tidak, rasakan sendiri akibatnya nanti!" ancam Badar lagi.
Joya mengangguk sambil menghapus air matanya.
Sambungan telepon telah tersambung, Joya pun menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Ha-halo, Mas Erik aku Joya," ucap Joya masih terbata.
"Iya, kamu di mana, Joya. Kamu sudah membuat semua orang cemas," sahut Erik.
"Maafkan aku, Mas. Aku minta mulai sekarang, jangan cari aku lagi. Aku kabur karena tak mau menikah dengan kamu. Aku benci sama kamu, Mas!"
"Apa! Maksudnya kamu sengaja kabur begitu. Apa benar begitu, Joya. Jawab!" Suara Erik terdengar mulai marah.
Joya mengangguk, tapi dia kemudian sadar kalau Erik tidak mungkin melihat anggukannya.
"Iya, itu benar. Aku tak sudi menikah dengan anak manja seperti kamu, Mas! Lebih baik kamu cari wanita lain saja. Jangan cari aku lagi!"
Joya pun memutuskan panggilannya, Sarah tersenyum puas di balik maskernya.
"Sebentar lagi, Erik akan jatuh kembali ke dalam pelukanku," pikir Sarah.
"Bagus, kami akan mengantarmu pulang ke rumah," ucap Badar dengan senyum lebar.
*
"Kurang ajar! Awas kalau sampai kamu ketemu! Aku takkan mengampuni kamu, Joya!" Emosi Erik jadi tak terkendali.
Ponselnya pun dibanting begitu saja ke lantai sehingga pecah berserakan. Helena mencoba menenangkan Erik, tapi rasanya percuma.
Helena paham dengan sifat Erik yang manja dan tak mau mengalah. Helena mengerti jika sekarang harga diri Erik sedang tersinggung karena penolakan Joya dengan cara yang aneh.
Helena melirik pada Heru yang sepertinya sedang berpikir keras. Sementara Erik telah masuk ke dalam kamarnya dengan amarah yang masih membara.
"Ini aneh, sepertinya Joya bicara dengan terpaksa. Ada yang aneh dengan caranya berbicara, tapi apa, ya?" Heru terus berpikir, sampai tak menyadari kedatangan Seno dan Dayu.
Seno yang baru pulang dari rumah mertuanya merasa heran melihat Heru dan Helena yang sedang duduk berdua di ruang keluarga.
"Pa, ngapain benging bareng di sini?" tanya Seno mengejutkan Heru.
Helena menyuruh Seno dan Dayu untuk duduk lalu menceritakan kejadian tadi. Heru juga menyambung dengan mengungkapkan keanehan cara bicara Joya. Namun, dia tak tahu di mana letak keanehannya itu.
"Hmm, itu jelas kalau Joya dipaksa bicara seperti itu, Pa. Itu bukan keinginan dia," ucap Seno setelah mendengarkan cerita orang tuanya.
"Maksud kamu?" Helena bertanya dengan tak sabar.
"Joya tak pernah memanggil Erik dengan sebutan Mas. Dia selalu menyebut nama Erik langsung. Benar, begitu, kan?"
"Ah, iya, benar, Seno. Papa baru ingat, Joya selalu menyebut nama Erik langsung, tanpa embel-embel mas. Kenapa Papa bisa lupa, ya?" Heru menepuk keningnya dengan gemas.
Helena tersenyum lalu mengajak suaminya itu untuk beristirahat karena hari sudah larut malam.
"Besok kita harus menemui Hindun, kasihan dia terus memikirkan keadaan Joya," kata Heru sebelum beranjak ke dalam kamar.
Keesokan harinya, pagi sekali Heru ditemani Seno mendatangi rumah Joya. Mereka ingin menyampaikan kabar yang diterima kemarin sore. Namun, Heru dan Seno lebih terkejut lagi saat mendapati rumah keluarga Joya telah kosong.
Tak ada siapapun di rumah itu, bahkan barang-barangnya pun tak ada juga. Hindun telah pindah kemarin malam, itu info yang didapatnya dari tetangga Hindun.
"Ke mana Hindun pergi, mengapa dia tak pamit dulu pada kita?" tanya Heru pada Seno.
Seno hanya bisa menggeleng tak mengerti, tapi dia merasa jika ini ada kaitannya dengan telepon Joya kemarin malam.
Bersambung.