Terjebak
Bab. 8
Heru menatap tajam wajah anak bungsunya itu. Dia masih belum percaya dengan apa yang dikatakannya sepersekian detik tadi.
"Boleh, kan, Pa?" tanya Erik lagi karena Heru tak kunjung menjawab.
"Kamu serius? Apa yang yang membuat kamu tiba-tiba mengubah pikiran?" Heru malah balik bertanya.
Erik menarik napas dengan berat, dia tahu kalau papanya pasti tidak akan percaya dengan apa yang diucapkannya.
"Papa memang gak pernah menganggap kalau aku ini sudah besar. Aku sudah dewasa, Pa! Bukan anak kecil kesayangan yang bisa Papa jahilin lagi!" ketus Erik membuat Heru tersenyum.
"Ngaku sudah dewasa, tapi sikapnya masih seperti anak kecil. Ngambekan," ejek Heru semakin membuat Erik meradang.
"Papa!"
Heru semakin terbahak melihat anak kesayangannya yang mengaku sudah dewasa itu. Namun, Heru jadi penasaran, apa yang membuat Erik mau berubah. Pasti ada sebab dan musababnya sehingga dia mau bertekad seperti ini.
"Baiklah, kamu boleh mulai bekerja besok. Namun, untuk sementara kamu belajar dulu sama Diki, Mas kamu." putus Heru membuat Erik melonjak kegirangan.
"Yes, terima kasih, Pa!" serunya gembira. Erik memeluk papanya dengan gembira, kemudian berlari mendapati mamanya yang sedang sibuk di dapur bersama Dayu.
"Erik-Erik! Ngakunya sudah dewasa," gumam Heru sambil tersenyum.
Sementara di tempat lain, Joya sedang duduk melamun di teras rumahnya. Matanya menatap lalu lalang kendaraan di jalan depan rumahnya.
Hatinya masih kesal dengan perdebatannya dengan Erik kemarin.
"Dasar anak mama, wajah aja yang genteng. Hatinya jelek!" gerutu Joya.
"Kamu sedang memaki siapa, Joy?" tanya Rosa tiba-tiba saja sudah berada dibelakang Joya.
"Ishh, kepo!" celetuk Joya.
Rosa duduk di kursi yang ada di samping Joya. Diperhatikannya wajah adiknya yang sedang cemberut itu.
"Joy, bulan depan Mas Hadi akan dipindah tugaskan ke pulau Sumatera. Di sana jabatannya naik jadi kepala staf, dan akan mendapat fasilitas rumah dan banyak lagi yang lainnya. Apa kamu bisa menjaga Emak untukku?"
Mata Joya membulat tak percaya. Pasti Rosa sedang bercanda dan ingin nge-prank dirinya. Namun harapannya pupus saat Rosa mengulang lagi ucapannya.
"Mbak, serius mau meninggalkan kami?" tanyanya lagi ingin memastikan.
Rosa mengangguk dengan yakin.
"Gak apa, Mbak. Aku akan menjaga Emak."
Rosa memeluk Joya dengan bahagia. Dia yakin kalau Joya akan menepati janjinya.
Joya berjalan dengan cepat di sepanjang lorong menuju ke ruangannya. Hari ini dia harus tiba lebih awal karena Seno, bosnya harus menghadiri rapat pukul 7 tepat.
Sampai di depan lift, gadis itu harus bersabar menunggu pintu lift terbuka bersama karyawan yang lain. Dia melihat pada jam ditangannya.
"Masih ada waktu lima menit lagi," pikirnya.
Pintu lift pun terbuka, Joya masuk bersama karyawan lainnya. Setelah semuanya masuk, pintu lift pun bergerak menutup. Namun, pintu lift terbuka kembali, rupanya Erik yang baru tiba juga ingin masuk ke dalam lift.
Joya yang berdiri agak di tengah sampai kaget melihat penampilan Erik yang formal pagi itu. Dia mengenakan pakaian kayaknya pekerja kantoran.
"Ngapain itu anak mama datang sepagi ini, pakai pakaian seperti itu lagi. Apa dia juga akan bekerja di kantor papanya?" batin Joya bertanya dengan penasaran.
Lift pun bergerak naik, saat tiba di lantai dua, sebagian karyawan keluar dari lift. Demikian juga saat lift tiba di lantai tiga. Kini hanya tinggal Erik dan Joya yang berada di dalam lift.
Lantai empat memang hanya khusus untuk Heru dan anak-anaknya beserta para sekretaris mereka masing-masing.
Erik melirik pada Joya yang sedang asyik dengan ponselnya. Sementara Joya yang sengaja pura-pura sibuk dengan ponselnya berdoa agar lift cepat sampai di lantai empat.
Dia malas jika harus ribut lagi dengan anak mama itu. Namun, sepertinya harapan Joya tak terkabul hari ini. Tiba-tiba saja lift mati tak bergerak ke atas dan pintunya pun tak bisa dibuka karena berada diantara lantai tiga dan empat.
Erik menekan tombol darurat yang ada di dalam lift, kemudian dia duduk dengan santai di lantai lift. Sedangkan Joya berdiri ketakutan dengan wajah pucat di sudut lift.
Erik melihatnya kemudian tertawa mengejek.
"Katanya wanita hebat, tangguh. Baru kena masalah seperti ini saja sudah takut!"
Joya tak merespon, karena dia merasa bibirnya menjadi kelu. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi wajah dan tubuhnya. Napasnya mulai terengah-engah. Joya fobia ruang sempit dan tertutup.
Jika dalam suasana biasa saja dia merasa sedikit takut di dalam lift, sekarang malah liftnya rusak tak bisa bergerak. Joya merasa dirinya akan pingsan sebentar lagi.
Erik melihat keanehan pada diri Joya. Tak biasanya gadis itu sabar dengan ejekannya.
Erik refleks bangkit menyambut tubuh Joya yang limbung, gadis itu pingsan diperlukan Erik.
"Tolong!" teriak Erik.
Sementara di luar lift, Heru beserta ketiga anaknya berdiri dengan wajah khawatir. Mereka takut terjadi apa-apa dengan Erik dan Joya yang terjebak di dalam lift.
"Berapa lama lagi, Pak?" tanya Heru pada teknisi yang sedang memperbaiki liftnya.
"Sebentar lagi, Pak."
Heru menghela napas dengan gusar, dalam hati dia merasa sangat kecewa dengan kinerja pengelola gedung. Bagaimana bisa di gedung semewah ini, liftnya rusak seperti ini?
"Tenang, Pa. Sebentar lagi liftnya juga akan hidup kembali. Erik juga sudah besar, dia pasti bisa melewati semua ini," nasihat Seno pada papanya.
Seno paham kalau papanya merasa sangat khawatir pada anak kesayangannya itu. Kalau menyangkut soal Erik, papanya pasti sangat perhatian bahkan terkadang terkesan over protektif.
Terkadang, Seno merasa kasihan pada Erik yang harus selalu menuruti keinginan papanya. Dia tahu kalau Erik sama sekali tak suka dengan pekerjaan serius seperti di kantor mereka.
Heru, papa mereka sangat ingin melihat keempat anaknya sukses sebagai pebisnis yang andal.
"Ck, sungguh lama sekali kerja kalian!" omel Heru membuat Seno tersadar dari lamunannya.
Mereka masih menunggu lift selesai diperbaiki dengan hati cemas. Heru mencoba menghubungi ponsel Erik. Namun, hanya permintaan maaf dari operator yang didengarnya.
"Halah, nomornya gak aktif lagi!" sesal Heru. Dia sangat khawatir dengan anak kesayangannya itu.
Sementara di dalam lift, Erik masih tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya menahan tubuh Joya yang belum juga sadarkan diri. Sudah sejak tadi dia berusaha menyadarkan gadis tomboy itu.
"Joy, Joya! Bangun, gak! Bangun, gak? Bangunlah, masa enggak!" Erik meniru kata-kata yang pernah ditontonnya di aplikasi Tik-Tik itu.
Joya tetap bergeming, hal itu membuat Erik semakin cemas.
"Papa, Mama, aku harus bagaimana sekarang!" teriaknya panik.
Sudah lebih dari setengah jam mereka terjebak di dalam lift itu. Erik bermaksud untuk menghubungi papanya, tetapi ternyata ponselnya mati.
"Sial, kenapa aku bisa lupa kalau baterai nya habis," keluhnya putus asa.
Erik mengamati wajah Joya yang sedang tak sadarkan diri itu. Begitu damai dan menenangkan, berbeda kalau dia sedang sadar. Garang dan siap menerkam siapa saja yang mengusik ketenangannya.
"Ternyata kamu cantik juga, Joy. Harusnya kamu itu sering-sering senyum, biar kecantikan kamu kelihatan," kata Erik pada Joya yang terbaring dalam pelukannya.
Erik tak menyadari kalau Joya mulai sadar. Perlahan mata Joya terbuka, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Erik yang tepat berada diatasnya. Dalam pandangannya, Erik adalah pangeran yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.
"Di mana aku, apa aku bermimpi?" tanya Joya dalam hatinya. Dia berusaha mengingat di mana dirinya.
Joya pun berteriak panik saat ingat kalau dia sedang berada di dalam lift yang tiba-tiba mati.
"Aaa!" teriaknya seraya berdiri.
Erik yang sedang merenung jadi kaget setengah mati.
"Kamu mau bikin jntung aku copot!" bentak Erik saking kagetnya.
Bersambung.