Siapa Pelakunya
Bab 11
Suasana canggung telah berlangsung sekian menit di ruang tamu rumahnya Joya. Malam itu Heru beserta istri dan ketiga anak lelakinya datang ke rumah Joya untuk melamarnya.
Sedangkan Erik tak ikut serta, karena kesehatannya belum pulih betul.
"Bagaimana, Joya. Kamu terima atau tidak?" Heru bertanya pada Joya.
Joya menarik napas panjang, dalam hatinya dia merasa kesal. "Pandai sekali calon mertuaku ini. Padahal aku gak punya pilihan lain selain berkata mau," batin Joya.
"Sa-saya mau, Pak," jawab Joya terbata. Punggungnya ditepuk pelan oleh Hindun yang mencoba memberi semangat pada anaknya itu.
"Alhamdulillah," ucap yang lain serempak.
Joya berusaha menampilkan senyum termanisnya. Namun, Dayu bisa melihat gelagat aneh itu, dia merasa kalau ada sesuatu yang memaksa Joya menerima lamaran ini.
Pengalamannya sebagai sebagai seorang lulusan fakultas psikologi bisa membaca gerak gerik seseorang dengan mudah.
"Ada apa?" tanya Seno pada Dayu.
Dayu menggeleng sembari tersenyum pada suaminya itu. Sementara Heru dan Hindun sedang membahas kapan pastinya acara pernikahan akan dilaksanakan.
Joya semakin tersudut saat mendengar bahwa pernikahannya dengan Erik akan dilaksanakan satu bulan lagi. Namun, dia tak berdaya untuk menolak.
*
Keesokan harinya, Joya dijemput oleh Dayu dan Seno untuk membeli berbagai macam perlengkapan yang akan dijadikan barang hantaran saat pernikahan nanti.
Mereka membawa Joya ke sebuah Mal yang cukup terkenal. Barang-barang berkualitas dengan harga yang fantastis membuat Joya sampai harus mengucek matanya berulang kali.
"Gila, harga sebuah lipstik saja sama dengan gajiku sebulan," batin Joya.
Dia sedang menunggu Dayu yang sedang membayar seperangkat alat make-up yang dipilihnya.
Dayu mengajak Joya keluar masuk beberapa toko yang lain. Sementara Seno lebih memilih untuk menunggu di parkiran saja.
"Sudah selesai, Mbak?" tanya Joya setelah mereka selesai membeli sepatu dan tas yang sangat indah.
"Sepertinya sudah, kalau begitu kita turun, yuk. Kasihan Mas Seno menunggu kita di bawah." Dayu mengajak Joya untuk turun menggunakan lift.
Saat mereka keluar dari lift di lantai bawah, terdengar seseorang memanggil nama Dayu. Joya dan Dayu pun menjadi oleh, ternyata seorang wanita cantik berpakaian seksi yang memanggil.
Dia berjalan dengan tergesa mendekati Joya dan Dayu.
"Mbak Dayu, apa kabar. Aku kira salah orang tadi. Mbak makin cantik aja, sih!" celoteh Sarah sambil memeluk Dayu dengan eratnya.
"Ehm, kabar Mbak baik. Oh, iya, kenalkan! Ini Joya, calon istrinya Erik," jawab Dayu sekaligus mengenakan Joya pada Sarah.
"A-apa, Mbak? Calon istri, maksudnya Erik akan menikah? Kapan, Mbak?" tanya Sarah kaget.
Dayu bisa melihat kalau Sarah kaget setengah mati. Namun, dia memang seorang artis yang hebat. Dengan cepat dapat menguasai dirinya agar orang lain tak mengetahui isi hatinya yang sebenarnya.
"Bulan depan, kamu datang, ya. Nanti Mbak kirim undangannya. Kami pamit dulu, ya, Sarah. Kasihan Mas Seno sudah menunggu di parkiran," pamit Dayu.
Dia tak ingin berlama-lama dengan mantan kekasih adik iparnya itu. Sarah melambaikan tangannya seraya tersenyum manis. Namun, di dalam hatinya tengah bergejolak rasa cemburunya yang sangat besar.
"Mau menikah bulan depan? Hah, tidak semudah itu Ferguso! Jangan sebut namaku Sarah, jika aku tak bisa menggagalkan pernikahan itu!" ucapnya dengan sinis.
**
Dua Minggu menjelang pesta pernikahan antara Joya dan Erik akan dilaksanakan. Rencananya pagi ini Erik akan menjemput Joya di rumahnya. Mereka akan melakukan fitting baju pengantin di sebuah butik yang dimiliki oleh desainer terkenal.
Pukul delapan pagi, Erik telah bersiap dengan mobilnya. Setelah memanaskan mesin, Erik pun melajukan mobilnya menuju ke rumah Joya.
Sambil bergumam mengikuti irama lagu yang diputarnya, Erik mengemudi dengan kecepatan sedang.
"Masih banyak waktu," pikir Erik.
Sementara itu di rumah Joya, sebuah mobil berhenti membuat Joya yang sudah bersiap sejak tadi keluar dari rumah. Namun, Joya sedikit heran karena pengemudi yang keluar dari mobil itu bukanlah Erik yang ditunggunya.
"Selamat pagi, Mbak. Saya disuruh menjemput Mbak Joya," ucap si pengemudi.
"Iya, saya Joya. Siapa yang menyuruh Anda?" tanya Joya.
"Mas Erik, dia ada keperluan mendadak pagi ini. Jadi saya disuruh mengantarkan Mbak Joya. Nanti Mas Erik akan menyusul ke sana."
"Kok dia gak kasih tau dulu sama aku? Sebentar, aku telepon dulu dia!"
Joya mengambil ponselnya dari dalam tas, tetapi tiba-tiba pengemudi itu merebut ponselnya.
"Kita harus buru-buru, Mbak. Nanti saja menghubunginya kalau sudah di mobil!" ujar si pengemudi lalu masuk ke dalam mobilnya.
Walau merasa sedikit aneh, Joya masuk juga ke dalam mobil itu yang langsung melesat pergi. Di dalam perjalanan, Joya memperhatikan jalan yang di laluinya.
"Pak, kita mau ke mana. Ini bukan jalan menuju ke butik. Tolong kembalikan ponselku. Aku mau menghubungi Erik!" teriak Joya dengan panik.
Pengemudi tersebut menghentikan mobilnya secara tiba-tiba. Kemudian dia keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil bagian belakang di mana Joya duduk.
Joya terkejut saat pengemudi itu mengacungkan sebuah pistol padanya.
"Lebih baik kamu diam kalau tidak mau kepala kamu aku tembak!" ancamnya.
Joya tak bisa berbuat apa-apa saat tangannya diikat ke belakang. Lalu matanya juga ditutup dengan kain hitam.
"Ada apa ini, siapa pengemudi itu sebenarnya. Apa aku diculik?" batin Joya.
Dia baru hendak bertanya, tetapi batal karena mulutnya telah disumpal dengan kain yang baunya sangat menyengat.
Tak lama Joya pun pingsan. Sang pengemudi menyeringai puas kemudian menghubungi seseorang dengan ponselnya.
"Halo, Bos. Target sudah di tangan. Sekarang akan segera menuju ke markas," ucapnya sambil tersenyum licik.
Mobil pun kembali melaju dengan kecepatan tinggi membawa Joya yang tengah pingsan di dalamnya.
**
"Apa! Joya sudah pergi!?" seru Erik tak percaya.
Dia baru saja sampai, Hindun memberitahu kalau Joya sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu.
"Emak juga gak tahu, Rik. Tadi ada mobil berwarna hitam datang ke sini. Terus si Joya ikut dengan mobil itu. Emak kira ,Erik yang menyuruhnya."
Erik mendengkus lalu mencoba menghubungi ponselnya Joya. Beberapa kali dia mencoba, tetapi nomor yang dituju sedang tidak aktif.
Dengan kesal dia menyimpan ponselnya kembali.
"Nomornya gak aktif, Mak. Kira-kira kemana dia, ya?" keluh Erik yang membuat Hindun jadi was-was.
Dia pun mencoba menghubungi Joya juga. Akan tetapi, sama seperti Erik tadi, nomor Joya tidak aktif.
"Emak juga gak tahu, Rik. Duh, gimana ini. Emak jadi khawatir Joya kenapa-kenapa!"
"Emak tenang dulu, pokoknya walau bagaimanapun Erik akan mencari Joya sampai ketemu!" Erik berusaha menenangkan Hindun yang mulai menangis.
Erik pun mencoba menghubungi Seno dan menceritakan kejadian yang baru saja terjadi.
Tak butuh waktu lama, semua anggota keluarga Kusuma sudah berkumpul di rumah Joya. Mereka berunding apa yang sebaiknya dilakukan.
Sementara Hindun masih saja terus menangis di pelukan Helena.
"Mbak tenang dulu, ya! Joya pasti akan kembali, saya yakin itu," bujuk Helena.
"Siapa yang ingin berbuat jahat pada Joya, Mbak. Dia itu anak yang baik, gak pernah jahat sama orang lain? Hu-hu-hu." Isak tangis Hindun semakin kencang.
Helena dibantu dengan Dayu berusaha menenangkannya.
Heru, Seno, Riko, dan Diki saling berpandangan. Mereka merasa ini adalah ulah rekan bisnis mereka yang mungkin merasa sakit hati. Tapi siapa? Tak ada seorangpun diantara mereka yang tahu.
Bersambung.