Tetangga di sini sebenarnya acuh tak acuh. Pagar tinggi, serta jarangnya mereka di rumah, membuat hubungan kami tak begitu dekat. Namun, jika sudah sampai di tangan Pak RT pasti semua tahu.
Ibu RT adalah penggosip yang ulung. Ia bisa mengetahui seluk beluk warganya dari para pembantu yang sedang belanja di tukang sayur.
Pernah beberapa kali aku memergokinya sedang bertanya-tanya tentang tentang ga sebelah rumahku dari pembantunya.
Kalau begitu bukan tak mungkin, beritanya akan sampai ke telinga mertuaku.
Keuntungan bagiku karena setahun belakangan aku tak pernah belanja di tukang sayur keliling. Aku tak tahan jika bertemu dengan Bu RT atau tetangga yang lain yang selalu menyindirku karena tak hamil-hamil.
Dengan begitu, mereka tak tahu kabarku. Aku tak bisa berbasa-basi dengan warga sekitar memutuskan belanja di supermarket. Hanya sesekali saja Mas Denis ikut rapat RT yang diadakan tiap bulan.
"Baiklah, gimana baiknya aja," ucap Mas Denis, luluh.
Mas Denis mendekat pada bayi itu. Kemudian ia menciumnya, lama. Aku begitu trenyuh melihatnya. Sama sepertiku, ia sudah sangat merindukan hadirnya malaikat kecil diantara kami.
Pagi harinya, aku dibangunkan oleh tangis bayi. Aku tak sedikitpun merasa terganggu. Tangisan yang telah lama kurindukan akhirnya hadir juga di rumahku.
"Uhhh, Sayang. Sudah bangun, lapar, ya?" tanyaku sambil menimang bayi lucu itu.
Meski aku tahu tak akan mendapatkan jawaban, aku tetap mengajaknya berbicara.
Aku mencari botol susu yang semalam kuberikan padanya. Ternyata ada di atas nakas. Gegas aku mencucinya untuk diisi dengan susu yang baru.
Sambil menggendong bayi mungil itu, aku berjalan ke dapur untuk mencuci botol. Nanti aku akan beli beberapa botol agar bisa dipakai bergantian. Andai aku bisa memberinya ASI tentu akan aku berikan susu terbaik itu.
Botol sudah bersih, aku kembali ke ruang tamu di mana semalam kami meletakkan keranjang rotan tempat semula bayi ini di simpan.
Melihat keranjang itu, entah kenapa aku seperti pernah melihatnya. Tapi aku lupa di mana melihat keranjang itu.
Aku mengambil kotak dengan merk susu ternama di Indonesia. Susu yang cukup mahal. Meski aku tak pernah membelinya, aku cukup tahu harga susu di pasaran. Karena aku sering iseng melihat deretan susu ketika di supermarket.
"Nah, minum,ya, Dek," ucapku sambil mendekatkan botol susu ke arah mulut bayi itu.
"Eh, Kiara, udah bangun," ucap suamiku sambil menoel lembut pipi mulus bayi yang sedang meminum susu dari botolnya.
"Kiara?" tanyaku.
"Eh, iya. Mas kasih nama Kiara gimana, Dek. Bagus enggak?" tanya Mas Denis.
"Bagus, sih. Tapi, kok tumben kamu enggak diskusi dulu sama aku," jawabku sambil cemberut.
"Hehehe, itu ... maaf, ya. Mas juga spontan, kok pangg dia Kiara."
"Enggak apa-apa, Mas. Aku cuma bercanda, kok. Aku senang Mas sueah sampai memikirkan nama anak ini," ucapku.
"Kalau nama panjangnya enaknya siapa, ya, Mas?" tanyaku kemudian.
"Mas sudah ada nama, sih. Tapi kamu setuju enggak?"
"Apa, Mas?"
"Kiara Anjani Darmawan," ucap Mas Denis.
"Pakai nama Darmawan juga, Mas?" tanyaku.
"Iya, kamu suka, enggak?" tanyanya.
"Su, suka, Mas."
"Tapi kayaknya kamu enggak suka, Dek. Anak ini, kan akan jadi anak kita. Nama Darmawan aku kasih agar Mama dan Papa tak curiga."
"Iya, ya, Mas. Aku enggak kepikiran sampai sana. Tapi ternyata Mas sepertinya cepat sekali dapat nama." Entah kenapa aku tiba-tiba saja tak suka.
"Ya bagus, kan. Berarti mas sudah menerima Kiara seperti anak mas sendiri."
Aku tertegun mendengar ucapan Mas Denis. Mikir apa aku ini, aku jadi malu padanya. Aku yang ngotot untuk mengadopsi anak ini nyatanya belum punya persiapan apa-apa.
"Iya, Mas. Aku malah belum siapkan apa-apa," ucapku lirih.
"Eh, kok, jadi sedih gini, Dek? Jangan sedih, dong," ucapnya menghiburku.
"Iya, enggak apa-apa, Mas. Mas pasti sudah menyiapkan nama itu lama. Maaf, ya, Mas." Jujur hatiku berdenyut nyeri saat mengucapkan itu. Meski Mas Denis berkata ia sabar menunggu. Aku tahu di hati kecilnya ia sangat merindukan seorang anak.
"Kok minta maaf. Semalem nama itu terlintas begitu saja di kepala jadi ya jadilah nama itu," ucap Mas Denis.
Aku mengangguk, paham. Mas Denis hanya menjaga perasaanku.
"Kayaknya kita harus beli perlengkapan bayi, Mas. Di rumah enggak ada sama sekali. Kasihan Kiara, bajunya nanti enggak ganti," ucapku pada Mas Denis.
"Eh, iya, Dek. Biar nanti mas saja yang belanja, ya," ucapnya lembut.
Aku mengangguk setuju.
"Ya sudah, kalau begitu nanti setelah sarapan Mas langsung ke luar, ya."
Kiara anak yang baik, setelah minum susu ia tertidur kembali. Aku bergegas menunaikan sholat subuh dan menyiapkan sarapan untukku dan Mas Denis.
Sesuai ucapannya subuh tadi, Mas Denis hari ini akan berbelanja kebutuhan Kiara.
"Lho, Mas! Ini catatannya," teriakku saat mobil Mas Denis ke luar pagar.
Segera aku mengambil ponsel kemudian mengambil foto daftar kebutuhan Kiara yang sudah kutulis di kertas. Setelah gambar siap, aku kirimkan pada Mas Denis melalui chat.
Mas Denis belum juga membaca pesanku. Sepertinya ia sedang sibuk menyetir.
Kuletakkan ponsel di meja saat mendengar Kiara menangis. Sepertinya ia sudah bangun.
"Anak mama sudah bangun, cup, cup, cup."
Segera aku memberinya sebotol susu yang sebelumnya sudah kuseduh. Bayi mungil itu langsung diam dan menghabiskan susunya.
Aku penasaran, di keranjang rotan tempat Kiara ditemukan semalam ada apa saja. Sambil menggendong Kiara, aku membongkar isinya.
Selimut, bantal dan guling bayi, beberapa diapers, dan baju. Kukeluarkan semuanya dari keranjang. Bersamaan dengan itu, sebuah benda terjatuh.
Cring!
"Apa ini?" Aku berjongkok memungut benda tersebut.
Sebuah kalung dengan liontin. Sepertinya aku kenal liontin ini. Liontin itu mirip punyaku yang hilang beberapa bulan yang lalu. Tapi, bagaimana liontin ini bisa ada pada keranjang Kiara?
Aku masih penasaran, kuamati lagi liontin itu. Benar itu punyaku, liontin itu memang aku pesan secara custom. Modelnya tak pasaran dan yang membedakan liontin itu dengan yang lainnya adalah ukiran di belakangnya. Ada tulisan "DD".
Namun, kalung itu aku tak yakin itu milikku. Aku tak merasa pernah memilikinya selama ini. Bagaimana bisa kalung itu dan liontin aku yang hilang bisa saling terkait seperti ini?
Aku berpikiran positif, kalau liontin itu ditemukan oleh ibu kandung Kiara. Ya, itu bisa saja terjadi.
"Ah, pusing sekali." Lagi-lagi aku bergumam sendiri. Jika itu yang terjadi, semuanya terlalu kebetulan.
Aku menggeleng menepis pikiran yang tidak-tidak. Tidak mungkin Mas Denis menyembunyikan sesuatu di belakangku. Ia adalah lelaki setia yang begitu sayang padaku. Betul, ia sangat sayang padaku. Kali tidak, kenapa juga ia tak meninggalkan aku dan memilih bersama wanita yang melahirkan bayinya.
Sekali lagi aku menoleh pada Kiara. Apa sebenarnya yang terjadi?