"Ma, maaf, Pak. Kenapa saya harus mengemasi barang-barang saya," tanyaku pada Pak Anton.
"Kamu pindah ke ruangan saya," jawab Pak Anton.
"Maksud Bapak?" Jujur aku tak mengerti. Sejak tadi Pak Anton tak berbicara langsung pada intinya.
"Kamu sekarang bekerja di ruangan saya. Menggantikan sekertaris saya yang resign," ucap Pak Anton.
"Sekertaris?" tanyaku memastikan.
"Iya, kamu keberatan?" tanyanya.
"Bukan begitu, Pak. Masalahnya saya belum ada pengalaman kerja sebagai sekertaris. Selain itu, ijazah saya tidak linear," jawabku.
"Iya, kamu benar. Tapi mau bagaimana lagi. Saat ini saya belum punya penggantinya. Kalau mencari yang baru setidaknya butuh waktu satu bulan untuk mendapatkan sekertaris yang cocok dengan saya," jelasnya.
"Tapi bagaimana dengan pekerjaan yang ada divisiku, Pak?" tanyaku.
"Bu Meri belum menjelaskan, ya?" tanyanya.
"Menjelaskan apa?"
"Hmm. Pekerjaan kami di sana belum terlalu banyak. Jadi saya minta kamu mengerjakan tugas divisimu tapi tetap stand by di ruangan ini. Siapa tahu saya butuh sesuatu. Ya ... sampai sekertaris yang baru sudah ada," ucapnya enteng.
Aku melongo mendengarnya. Ternyata sekelas perusahaan besar pun bisa seenaknya memakai tenaga karyawan. Iya kalau ada tambahan, kalau tidak? Bisa babak belur. Tapi, aku mau protes pun percuma. Karena aku masih baru dan cara masukku ke sini terbilang mudah.
Lagipula aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ah, pikiranku melayang kembali saat tadi Nita dan Mas Denis tersenyum berdua.
"Baik, Pak. Saya akan laksanakan perintah Bapak." Aku mengucap dengan yakin.
"Nah, begitu. Saya suka pegawai yang siap menerima tantangan. Kamu tak usah khawatir. Gaji kamu akan ditambahkan karena melaksanakan dua tugas."
Seperti mengetahui isi hatiku, Pak Anton memberi kabar bagai angin segar.
"Tapi kamu harus siap pulang malam dan mengikuti aku saat tugas kantor." Pak Anton memberi sedikit penjelasan terkait pekerjaan sebagai seorang sekertaris.
"Iya, Pak. Saya mengerti."
Aku tak perduli jika nanti pulang malam. Yang aku pikirkan saat ini adalah aku bisa mandiri di atas kakiku sendiri. Aku tak mau Mas Denis semena-mena padaku. Mentang-mentang aku tak bekerja ia berlaku seenaknya. Aku pun tak mau dibodohi lagi olehnya. Terlebih saat kemarin ia memarahi aku di depan Nita.
Urusan Kiara, aku memang agak keterlaluan karena tega meninggalkannya. Namun, sepertinya Nita dan Mas Denis begitu sayang padanya. Aku tak akan khawatir perihal anak itu.
Yang aku khawatirkan adalah aku akan didepak dari rumah itu suatu saat nanti. Namun, aku belum memiliki apa pun.
"Kamu bisa mulai sekarang? Nanti akan saya suruh office boy membantu kamu pindahan," ucap Pak Anton membuyarkan lamunanku.
"Baik, Pak. Saya permisi dahulu," ucapku pamit.
"Ya, silahkan," jawab Pak Anton.
Aku melangkah ke luar dari ruangan Pak Anton. Sambil berjalan, aku menyapa para pegawai yang berpapasan denganku.
Letak ruang direktur memang paling ujung. Begitu ke luar aku dihadapkan dengan deretan pintu-pintu ruangan tiap divisi.
Aku bekerja di divisi keuangan. Letak ruangan itu berada di samping ruangan Pak Anton. Mungkin agar mudah koordinasinya. Di divisi keuangan ada kepala divisi yaitu Bu Meri. Sejak datang tadi aku belum bertemu dengannya. Mungkin ia belum datang.
"Dinda," ucap seseorang memanggil namaku. Saat ini aku sedang beres-beres meja. Ah, terlalu berlebihan jika aku berkata beres-beres. Padahal aku hanya mengambil tas saja.
Ternyata yang memanggilku adalah Bu Meri.
"Iya, Bu. Selamat pagi," sapaku.
"Pagi, maaf saya belum bilang apa-apa sama kamu. Begitu tadi datang kata yang lain kami sudah dipanggil ke ruangan Pak Anton." Ia terlihat tak enak padaku.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa. Tadi Pak Anton sudah menjelaskan pada saya," ucapku.
"Hmm. Kami yang sabar, ya. Pak Anton memang suka seenaknya. Tapi masalah bayaran ia tidak perhitungan, kok."
"Iya, Bu."
"Pokoknya kamu yang sabar. Aku kasih rekomendasi kamu karena yang lain tidak ada yang mau. Maaf, sekali lagi. Pak Anton lumayan killer dan irit bicara," ucapnya menjelaskan.
"Tak ada sekertaris yang kuat lebih dari dua bulan. Makanya saya dan kepala bagian pegawai agak pusing untuk masalah sekertaris ini. Tiap bulan selalu ganti orang," lanjutnya.
"Tapi, apa saya bisa, ya, Bu. Selain background saya bukan bidang sekertaris saya juga mengerjakan tugas lain." Aku menjadi sangsi bisa mengerjakan dua tugas sekaligus.
"Ya, tidak ada salahnya dicoba dahulu, ya. Nanti untuk keuangan saya janji akan bantu. Yang terpenting, masalah Pak Anton sudah beres."
Aku tertegun. Apa iya aku akan bisa. Sementara sekertaris lain yang memang dibidangnya saja banyak yang menyerah. Sepertinya Pak Anton ini tipikal orang yang banyak maunya.
"Kami yang semangat, ya, Din!" seru Bu Meri menyemangatinya.
"I, iya, Bu." Jujur aku sebenarnya gugup. Bagaimana jika aku salah dalam mengerjakan tugas yang Pak Anton minta. Apa ia akan langsung memecatku?
Aku penasaran sebenarnya, kenapa banyak orang yang mundur jadi sekertarisnya. Apa ia seorang yang ... ah, aku tak bisa berpikir. Apalagi tadi Bu Meri bilang ia suka seenaknya.
"Kak, Dinda," ucap seseorang saat aku ke luar ruangan akan pindah ke ruangan Direktur.
"Iya, siapa, ya?" tanyaku pada seorang lelaki di hadapanku.
"Yah, Kakak masa enggak kenal saya, serius, Kak?" tanyanya sambil cengengesan.
Ya Allah sedang dah dig dug begini ada saja orang aneh.
"Maaf, saya benar-benar lupa," ucapku tak enak.
"Saya Dito, Kak."
"Dito?" Aku mengini-ingat apakah ada kenalan dengan nama Dito.
"Saya adik kelas Kakak waktu di SMA Semangat Bangsa."
"Ah, iya, Dito. Saya baru inget. Maaf Dit, kakak lupa."
"Heheh, enggak apa-apa yang oenty sekay Kakak sudah ingat. Kakak kerja di sini? Aku kok baru lihat, ya?" tanyanya.
"Iya, baru kerja hari pertama. Kamu juga?" tanyaku.
"Enggak, Kak. Aku ada perlu sama seseorang," ucapnya.
"Ehem!"
Bisa mengontrolnya nanti saja, Dinda. Saat ini sudah jam kerja," ucap Pak Anton tiba-tiba. Entah sejak kapan ia ada di sini.
"Eh, oh, iya, Pak.
Dito, sudah dulu, ya," ucapku pamit dan masuk ke ruangan.
"Iya, Kak. Hati-hati ya kerjanya," ucap Dito. Entah apa maksudnya bicara seperti itu.
Pak Anton mengikuti masuk ke ruangan meninggalkan Dito di luar. Entah hendak ke mana sebenarnya Dito itu. Ah, bukan urusanku, yang terpenting sekarang aku harus berdoa semoga Pak Anton tidak memarahiku.
"Saya mau ke luar sebentar. Kamu rapihkan saja berkas di meja saya. Cek lagi barangkali ada yang terlewat saya tanda tangani," jelas Pak Anton. Tanpa menunggu jawabku ia keluar dan menutup pintu.
"Baik, Pak," ucapku meski tak tahu Pak Anton dengar atau tidak.
"Huft, setidaknya kali ini aku selamat."