Hari ini adalah hari pertama aku kerja. Sudah sekitar empat hari Nita berada di sini. Meski ada drama di awal hari ia kerja tapi, tiga hari kebelakang ia dapat diandalkan.
Semua urusan Kiara bisa ia pegang dengan cekatan. Sengaja aku hanya menyuruhnya menjaga Kiara, aku tak mau Kiara kenapa-kenapa karena aku terlalu banyak membebankan tugas pada Nita.
Urusan memasak, bebersih, dan mencuci masih aku lakukan sendiri. Tapi mungkin aku akan mencari pembantu satu lagi agar semuanya termanage dengan rapi.
Aku tak mau Mas Denis mencak-mencak karena ada pekerjaan yang tak beres di rumah. Dan akhirnya meminta Nita untuk melakukannya.
Seperti beberapa hari yang lalu. Aku lupa mengisi kulkas. Stok bahan makanan di rumah sudah hampir habis. Namun, aku bisa pesan makanan via online jika belum sempat belanja.
Mas Denis yang biasanya santai dengan hal tersebut kali ini berbeda. Ia mendadak marah padaku.
"Sok, banyak uang. Padahal bisa belanja dan masak. Baru juga diterima begitu sudah banyak alasan sampai tak mau masak!"
Ketika mendengar ocehannya aku hanya diam. Hatiku rasanya teriris, tak terima. Dengan diceramahi seperti itu, aku justru semakin semangat untuk bekerja. Apakah ini sifat aslinya Mas Denis?
Padahal cukup lama kami menikah, suka dan duka kami jalani bersama. Namun, ternyata aku belum mengenal suamiku sendiri.
Saat itu juga tanpa persetujuanku ia mengajak Nita berbelanja kebutuhan di swalayan. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Aku diam memandang mereka pergi memasuki mobil.
Tak ada yang aneh dari gelagat keduanya. Nita pun duduk di jok belakang, sedangkan Mas Denis duduk di belakang kemudi.
Waktu yang mereka habiskan pun tak lebih dari satu jam dengan banyak belanjaan di tangan.
Saat itu juga aku disuruh memasak. Namun, ternyata aku masih salah dimatanya. Masakanku tak ia sentuh sedikitpun.
"Kamu itu kalau masak yang betul. Masa masak sayur lodeh begitu!" Mas Denis mendorong mangkuk sayur berisi sayur lodeh yang baru saja selesai aku masak dan kuletakkan di meja makan.
"Memang gimana, Mas? Sayur lodeh memang begitu. Itu, kan, makanan kesukaan Mas Denis, dan aku selalu me-"
"Diam! Jawab saja kalau dikasih tau," ucapnya memotong ucapanku.
Aku salah apa sebenarnya. Kalau masalahnya pekerjaan aku sudah sediakan pengasuh untuk Kiara.
"Kamu mau ke mana? tanyanya saat aku beranjak.
"Ke kamar," ucapku.
"Ini makanan mau diapakan? Kamu makan!"
"Mas ini maunya apa, sih! Aku sudah sabar, lho dari kemarin. Aku selalu saja disalahkan!" Aku yang tak tahan terus saja disalahkan mencoba melawan.
"Memang kamu salah! Sudah salah, sekarang berani melawan. Memang wanita kalau sudah bekerja itu, merasa paling hebat. Ternyata mamaku benar," ucapnya.
"Mama?" Aku heran, apa hubungannya kemarahannya dengan mamanya. Apa mama mertuaku sudah menghasutnya? Tapi, selama aku kenal dengan beliau aku tak menemukan ciri penghasut dalam dirinya. Lantas, kenapa sekarang begitu?
Akhirnya acara makan siang berantakan. Padahal aku sudah masak capek-capek. Mas Denis lebih memilih ke luar dan makan di luar. Entah di mana.
"Nit, saya berangkat dulu, ya, kamu hati-hati di rumah," ucapku pada Nita sebelum berangkat.
"Iya, Bu," jawab Nita.
Nita memang irit bicara. Bila aku tegur ia hanya menunduk dan menampakkan raut wajah penuh penyesalan. Yang aku heran, justru Mas Denis yang tak terima jika Nita ditegur. Aneh. Ada saja ulahnya. Menyuruh Nita inilah, itulah, segala hal agar aku tak mood lagi menasehatinya.
Saat aku ke luar dari pintu terlihat Mas Denis sedang memanaskan mobilnya.
"Mas aku ikut sekalian jalan," pintaku pada Mas Denis.
"Kita beda arah, Dek." Mas Denis tetap fokus memanaskan mobil tanpa menoleh padaku.
"Hmm, kalau gitu antar aku sebentar, ya, Mas."
"Kamu ini, kerja saja merepotkan orang. Kenapa enggak pakai angkutan umum atau taksi online saja," ucapnya ketus.
Astaghfirullah, Mas Denis sebegitunya padaku. Padahal dulu sebelum aku resign, ketika kami berangkat kerja selalu saja bersama. Bahkan ia rela pulang lebih awal demi mrnjemputku di tempat kerja.
"Ya sudah, Mas. Aku pesan taksi online saja." Aku mengalah, malas rasanya jika sudah ribut sepagi ini.
"Ya," ucapnya singkat.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu, selama itu juga Mas Denis masih memanaskan mobilnya.
Sampai taksiku datang, ia masih juga belum berangkat.
"Mas aku berangkat dulu," ucapku sambil menyodorkan tangan meminta tangan Mas Denis untuk dicium.
"Ya," jawabnya sambil menyodorkan tangan namun mata tetap fokus pada ponsel.
"Assalamualaikum," ucapku.
"Waalaikumsalam," jawabnya.
Aku naik ke taksi. Menghela napas panjang karena perilaku Mas Denis yang bikin aku mengusap dada setiap hari.
Mobil baru saja berjalan, ketika dari kaca mobil kulihat Nita ke luar dari dalam sambil menggendong Kiara.
Ia menghampiri Mas Denis sambil tersenyum. Begitu pun Mas Denis, ia mengusap lembut kepala Kiara dan tersenyum pada Nita.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka sedekat itu? Sejak kapan mereka bisa sedekat itu?
Sepanjang jalan ke kantor aku terus berpikir, apa yang telah terjadi pada Mas Denis dan Nita. Terlebih Kiara, kenapa liontinku ada di boxnya? Apa semuanya berkaitan?
Ah, tidak. Aku harus fokus sekarang. Hari ini adalah hari pertama aku kerja. Masalah di rumah tak boleh mengganggu konsentrasiku.
Aku tak ingin kehilangan pekerjaan ini. Terlebih, Mas Denis telah berubah sikap belakangan ini. Kalaupun misalnya nanti terjadi sesuatu pada rumah tanggaku, aku sudah siap dan tak perlu khawatir.
Untuk Kiara ... biarlah waktu yang akan menjawab anak siapa sebenarnya ia. Meski dalam hati ada perasaan tak enak perihal status anak itu. Namun, aku harus mencari bukti dahulu.
Saat ini, peganganku belum sepenuhnya kuat. Aku masih mengandalkan uang Mas Denis untukku hidup sehari-hari dan pulang pergi ke kantor.
Mungkin sebulan atau dua bulan lagi aku akan mulai bergerak.
Selain itu, aku akan terpojok jika membongkar semuanya sekarang. Aku yang tiba-tiba bekerja setelah mengaku mempunyai anak pada keluarga Mas Denis akan dijadikan senjata oleh Mas Denis.
Ah, jika mengingat kebodohanku yang ingin berbohong perihal Kiara, aku ingin mengulang kembali waktu itu dan melaporkan saja pada Pak RT.
Waktu itu aku tak berpikir panjang, dan aku pikir sikap Mas Denis tidak akan berubah seperti ini.
Rasa-rasanya aku seperti menikah dengan orang lain saja dan rumah tanggaku sudah tak tahu tujuannya akan dibawa ke mana.
Aku sampai di kantor. Melangkahkan kakiku menuju lift. Letak kantorku berada di lantai lima. Bersebelahan dengan ruang tempat wawancara kemarin. Aku sebelumnya sudah diberitahu dan diberi arahan setelah dinyatakan lulus.
Maka dari itu, saat pertama kali masuk aku langsung tahu ke mana tujuanku dan di mana ruanganku.
Ketika aku meletakkan tas dibangkuku, seorang office boy menghampiri.
"Ibu Dinda, dipanggil Bapak ke ruangan," ucapnya memberitahu.
"Eh, iya, Bapak sudah datang? Ada apa, ya?" tanyaku padanya.
"Enggak tahu, Bu. Saya cuma disuruh memanggil saja," ucapnya sopan.
"Iya, baik, terima kasih," ucapku.
Aku terkejut atasanku sudah datang ke kantor sepagi ini. Aku terus berpikir apa yang salah denganku hingga langsung dipanggil.
Sebelum pergi ke ruangan atasanku, aku memindai setiap kubik yang seruangan denganku. Masih bisa dihitung dengan jari karyawan yang datang.
Sambil berjalan, aku terus bertanya-tanya. Apa gerangan sampai beliau memanggilku?
Aku menekan dada karena gugup. Dengan perlahan mengetuk pintu ruangan pak direktur.
"Assalamualaikum, Pak. Saya Dinda," ucapku.
"Masuk." Terdengar suara mempersilahkan dari dalam.
Aku membuka pintu dengan perlahan, kemudian masuk ke ruangan itu.
Ruangan atasanku ini sangat rapi. Ia sepertinya tak merokok terlihat tak ada asbak di sana.
Selain itu, ruangan ini baunya sangat wangi entah dari pewangi ruangan atau parfum atasanku ini.
"Silahkan duduk," ucap Pak Anton mempersilahkan aku duduk.
"Sudah tahu kenapa saya memanggilmu?" tanyanya tegas.
Aku menggeleng sambil menjawab," Belum, Pak "
"Kemasi barangmu dari kantor." Pak Anton berbicara dengan suara tegas dengan sorot mata yang tajam.
Mendengarnya aku sangat terkejut. Ini adalah hari peramaku bekerja, tentu belum ada barangku di kantor ini selain tas yang tadi kubawa.
Lalu yang membuat aku terkejut adalah kenapa aku disuruh mengemasi barang-barangku dari sini? Apakah aku dipecat? Tapi, apa salahku?