"Sayang, kenapa melamun?"
"Eh, Mas. Sudah datang? Kok, aku enggak dengar suara mobilnya, ya?" Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Denis sudah berada di dekatku.
Tanpa sepengetahuan Mas Denis, aku masukan kalung dengan liontin berbentuk hati tersebut ke dalam saku baju yang kupakai.
"Anak ayah sudah bangun. Ini ayah bawakan keperluanmu, Nak."
Aneh, rasanya kok aku tak nyaman Mas Denis berbicara begitu pada Kiara seperti itu.
"Bun, kenapa diam?" tanya Mas Denis padaku.
"Eh?"
"Lihat, Nak. Bunda cemburu, ya ....
Aku terkesiap, apa benar aku cemburu. Cemburu pada anak bayi yang selama ini aku tunggu-tunggu.
"Bunda?" tanyaku heran. Aku tak biasa dengan panggilan itu.
"Iya, sekarang Kiara anak kita, kan. Jadi harus dibiasakan memanggilmu dengan sebutan Bunda."
Aku tertegun, Mas Denis benar juga. Aku ini mikir apa, bahkan sama anak sendiri pun aku cemburu. Pantas sampai detik ini aku belum dikaruniai seorang anak.
Aku menatap wajah mungil itu dan Mas Denis bergantian. Ada rasa haru yang menyelusup dalam hati. Seperti ini, kah rasanya menjadi seorang ibu.
***
"Lho, harusnya kamu pikirin dari awal dong, Dek. Kalau begini, kan kita juga yang ribet." Mas Denis mengomel padaku.
"Aku lupa, Mas."
"Masa hal begitu penting bisa lupa. Aku pikir kami sidah ada solusinya," ucap Mas Denis.
"Terus ini Kiara mau digimanakan?"
Mas Denis sejak tadi mengomel karena aku lupa memberitahunya bahwa aku ada panggilan kerja.
Ya, selama beberapa tahun ini, aku memang di rumah saja. Aku resign karena ingin fokus pada kehamilan. Namun, kondisiku yang tak kunjung hamil membuatku melamar kerja kembali seminggu yang lalu.
Dan hari ini, tadi ada telepon aku dipanggil wawancara. Belum pasti diterima, masih ada tahap seleksi selanjutnya. Namun, dengan adanya Kiara aku jadi bingung. Pada siapa akan menitipkannya jika aku diterima nanti.
"Kita titipkan saja dulu di day care gimana, Mas?" tanyaku hati-hati.
"Apa? Day care?" Mas Denis bertanya dengan nada tinggi.
Aku mengangguk takut.
"Kamu tega?"
"Ya, mau bagaimana lagi. Aku kerja, kamu juga kerja," ucapku lirih.
"Kamu batalkan saja wawancara di perusahaan itu," ucap Mas Denis enteng.
"Tapi Mas, masuk ke sana susah. Setidaknya aku ingin ikut wawancara agar tidak penasaran," sanggahku.
Mas Denis mengembuskan napasnya kasar. Aku tak tahu ia akan semarah ini. Padahal dengan jam kerjanya yang fleksibel, ia bisa menawarkan diri untuk menjaga Kiara barang sebentar saja.
"Mas, tolonglah. Mas tolong jaga Kiara sebentar saat aku wawancara nanti," ucapku memohon.
"Oke, misalnya aku jaga Kiara sekarang. Selanjutnya bagaimana?" tanya Mas Denis.
"Kalau nanti keterima, aku akan menyewa baby sitter untuk menjaganya," ucapku pada akhirnya.
"Kenapa kamu ngotot banget ingin kerja, sih, Dek?"
"Aku enggak mau jadi beban kamu lagi. Lagipula nanti kalau ada apa-apa sama kamu, aku dan Kiara tak akan terlalu kesulitan jika aku bekerja."
"Maksud kamu apa? Kamu pengen aku cepat mati, hah?" Mas Denis makin muntab.
"Bu, bukannya begitu, Mas. Aku cuma enggak ingin diinjak lagi oleh keluargamu karena aku bergantung serarus persen padamu. Cukup beberapa tahun ini mereka menghinaku. Memang Papa dan Mama memang tak masalah dengan itu. Tapi keluargamu yang lain?"
Mas Denis menghela napas kemudian mengusap wajahnya.
"Terus sekarang gimana?" tanyanya.
"Aku minta tolong Mas jaga Kiara sebentar. Hari ini aku hanya wawancara saja," ucapku memohon.
"Oke," jawabnya.
Akhirnya hari itu, aku melakukan wawancara di sebuah perusahaan internasional yang sejak lama aku incar setelah resign karena program hamil dua tahun lalu.
Mas Denis cukup baik dengan menyediakan seluruh kebutuhanku. Namun, aku tak tahan statusku sebagai pengangguran serta tak dapat hamil menjadi bahan ejekan keluarga Mas y di belakang.
Terlebih, Papa dan Mama mertua beberapa kali mengeluh padaku. Meski bicaranya lembut, tapi aku paham ke mana arah pembicaraan mereka.
Padahal aku keluar pun ada andil mereka juga yang memaksa ingin memiliki cucu.
Ya, begitulah jadi seorang menantu. Dituntut sempurna dalam segala hal. Bekerja dan menghasilkan uang, dibilang tak bisa mengurus keluarga. Tak bekerja dan fokus dengan keluarga dibilang jadi beban suami.
Aku menyiapkan segala keperluan Kiara. Pagi hari, selesai aku memandikannya dan memberikan ia susu, aku menidurkannya.
"Mas, Kiara sudah tidur. Nanti kalau bangun kasih aja susunya. Dua sendok takar airnya enam pulu mili saja."
"Ya," ucap Mas Denis, singkat.
Aku meraih tangan Mas Denis untuk meminta ijin. Tangan Mas Denis terulur, tapi wajahnya datar saja. Bahkan terkesan cuek.
Aku yang tak mau berdebat dengannya sepagi ini memilih mencium tangannya kemudian mengucap salam dan berangkat ke kantor untuk wawancara.
***
Selama di kantor fikiranku tak fokus. Aku memikirkan Kiara dan juga Mas Denis. Apa Mas Denis bisa merawat Kiara?
Ah, tapi Kiara masih banyak tidur. Lagipula, ia tidak menyusu ASI dan hanya susu formula. Tak masalah jika jauh dariku.
Aku lihat, Mas Denis pun sepertinya sangat sayang pada Kiara. Ia mungkin hanya kesal padaku karena tiba-tiba bekerja.
Memang salahku tak memberitahukan hal ini padanya. Sengaja aku lakukan itu. Karena kalau aku memberi tahu, ia pasti akan melarang.
Tapi harusnya ia tak melarang, toh sekarang sudah ada Kiara dan untuk masalah pengasuh, aku bisa membantu untuk membayarnya.
"Saudara Dinda Meliana," ucap seseorang terdengar memanggil namaku.
"Iya, Pak."
"Silahkan masuk ke ruangan," ucapnya.
"Baik, Pak."
Aku berdiri merapikan blouse yang kupakai. Kemudian melangkah masuk ke ruangan dengan percaya diri.
"Assalamualaikum," ucapku memberi salam.
"Pagi, Pak, Bu," sapaku pada seorang lelaki dan wanita yang sedang duduk di meja pewawancara.
"Pagi, silahkan duduk," ucap wanita itu.
"Iya, Bu. Terima kasih."
Aku memperhatikan kedua orang yang akan mewawancaraiku itu. Dua orang itu, usianya sepertinya tak jauh denganku. Hanya berbeda sekitar dua atau tiga tahun di atasku.
Kami melakukan tanya jawab terkait identitas, pendidikan, serta pengalaman kerja.
Pak Anton, lelaki yang sedang mewawancaraiku itu sepertinya sangat irit bicara. Tak heran, karena ia adalah CEO di perusahaan ini yang kebetulan ingin melihat jalannya perekrutan pegawai.
Aku sempat kagum padanya, karena meski masih muda dan terbilang pendiam. Ia ingin turut andil pada pekerjaan yang menurutku sudah ada pegawai lain yang menangani.
"Sebelumnya Anda sudah pernah bekerja di perusahaan lain. Kenapa keluar?" tanya Pak Anton.
"Iya, Pak. Saya resign karena sebelumnya ingin fokus hamil," ucapku sejujurnya.
"Sekarang? Apakah sudah hamil?" tanya menyelidik.
"Be, saya sudah melahirkan, Pak."
"Oh, begitu. Berapa usia anaknya?"
"Dua bulan, Pak."
"Baru dua bulan sudah mau ditinggal bekerja?" tanyanya terkejut.
Aku mengangguk. Aduh, apakah aku akan kehilangan pekerjaan ini?