"Tapi aku enggak bisa begini terus, Mas."
Aku sedang melangkah mencari Mas Denis di setiap ruangan saat terdengar suara wanita menangis dari dalam kamar tamu. Kamar yang ditempati oleh Nita.
Dengan siapa ia bicara? Karena penasaran, aku dekati kamar itu. Beruntung Kiara baru saja tertidur sehingga aku bisa mencari tahu dengan siapa Nita bicara.
"Iya, Mas. Janji, ya, nanti kamu jadikan aku nyonya."
Deg!
Kenapa perasaanku tidak enak. Dengan siapa ia bicara, kenapa ia ingin jadi nyonya? Apakah dengan Mas Denis?
Pelan aku menempelkan telinga di daun pintu.
"Masa aku jadi pembantu di sini, Mas. Kamu tega," ucap Nita lagi.
"Aku juga ingin diakui sebagai istrimu," lanjutnya.
Ada apa ini? Kenapa ia seperti merajuk.
Beberapa menit aku dengar, suara yang tadinya menangis diganti dengan suara tertawa seperti bahagia.
Aku harus mencari tahu. Apakah benar di dalam ada Mas Denis. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Denis tega mengkhianati aku.
"Dek, sedang apa?" Sebuah suara berat menegurku ketika aku hendak membuka pintu kamar Nita. Itu Mas Denis.
Aku menghela napas lega. Syukurlah, ternyata yang di dalam bukan Mas Denis.
"Enggak, Mas. Ini Nita tadi pagi katanya enggak enak badan. Aku mau cek keadaannya."
"Oh, biar sajalah suruh dia istirahat dulu. Kasihan," ucapnya enteng.
"Kasihan?" Aku balik bertanya. Tak biasanya Mas Denis sebegitu perhatiannya pada pekerja di rumah.
"Iya, waktu aku jemput ke sini dia cerita kampung jauh, butuh sepuluh jam supaya bisa sampai di sini."
"Ohh, begitu." Aku sepertinya butuh refreshing agar otakku kembali bekerja. Lama di rumah dan seringnya mendapat cibiran dari keluarga dan tetangga membuatku sering buruk sangka.
"Mas sudah makan?" tanyaku.
"Sudah, tadi Nita yang buatkan nasi goreng," ucap Mas Denis.
"Nita? Bukannya dia enggak enak badan?" tanyaku terkejut.
"Iya, aku enggak tahu tadi sudah ada nasi goreng di atas meja."
"Oh, ya sudah kalau begitu aku sarapan dulu," ucapku.
"Mas mau ngopi di halaman belakang. Setelah makan kami bawa kopi ke belakang, ya, Dek."
"Iya, Mas," ucapku patuh.
Aku berjalan ke ruang makan. Hendak memakan nasi goreng buatan Nita. Ia ternyata ringan tangan juga. Padahal tugasnya hanya mengasuh Kiara. Tapi dengan senang hati membuatkan nasi goreng untuk kami.
"Loh?" Aku terkejut ketika membuka tudung saji. Aku pikir ia membuatkan nasi goreng untukku juga. Tapi ternyata, kosong?
Aku menghela napas. Aku terlalu cepat menilai Nita baik. Apa yang sebenarnya ia rencanakan. Membuatkan Mas Denis nasi goreng sedangkan untukku tidak?Biar saja, untuk sementara aku tak akan menegurnya. Akan aku ikuti permainannya.
Karena dongkol, aku segera membuatkan kopi untuk Mas Denis.
"Loh, kok, cepat? Kayanya mau makan dulu?" tanya Mas Denis heran.
"Enggak jadi, Mas. Nasi gorengnya ternyata cuma buat kamu aja."
"Ya, emang tadi Nita masaknya cuma satu piring. Kalau kamu mau bikin sendiri, lah." Mas Denis menyeruput kopinya.
Aku tak menyangka Mas Denis akan berbicara begitu. Entah kenapa rasanya ada yang aneh antara Nita dan Mas Denis. Tapi, aku masih berharap pikiranku yang salah. Aku hanya terlalu khawatir karena sering baca novel pelakor.
"Kopinya, kok, begini, ya." Mas Denis membuang kopi yang ada di mulutnya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku.
"Kamu coba ini!" perintahnya.
"Sama seperti biasanya, kok. Tidak terlalu manis dan agak kental," ucapku.
Mas Denis memang suka kopi yang tak terlalu manis dan agak kental. Aku yang setiap hari membuatkan sampai hapal kesukaannya.
"Enggak kayak biasanya, ah."
Mas Denis menggeser kopi yang ada di meja pelan. Tak biasanya ia seperti ini.
"Mau ke mana, Mas?" tanyaku.
"Ke dalam mau suruh Nita buatkan kopi," ujar Mas Denis sambil melangkah ke dalam.
"Tapi katamu Nita jangan diganggu," ujarku.
"Ya, buat kopi sebentar. Enggak bakalan berat," ucapnya acuh.
"Nit. Buka pintunya." Mas Denis mengetuk pintu kamar tamu di mana Nita ada di dalamnya.
"Iya, Mas eh Pak." Nita membuka pintu dan sempat memanggil Mas Denis dengan sebutan Mas. Kemudian buru-buru meralatnya saat melihat aku ada di belakang Mas Denis.
"Buatkan kopi seperti tadi malam," ucap Mas Denis.
Apa? Semalam mereka bertemu. Mas Denis minta dibuatkan kopi?
"Iya, Pak." Nita segera ke dapur. Aku mengikutinya dari belakang.
"Semalam kamu tidur jam berapa, Nit?" tanyaku.
"Oh, sekitar jam sebelas, Bu."
"Kok paginya enggak enak badan? Kamu begadang?" selidikku. Aku tak ingin tiap malam Nita begadang dan besoknya tak bisa kerja.
"Iya, semalam kecapekan, jadi aku enggak bisa tidur," ucapnya.
"Lain kali kamu langsung tidur. Tak usah bangun kalau Bapak bangunkan disuruh ini itu. Tugas kamu mengasuh Kiara."
"Kamu perhitungan sekali, Dek. Mentang-mentang kamu yang bayar dia," ucap Mas Denis tiba-tiba. Entah sejak kapan ia ada di belakangku.
"Bukan gitu, Mas. Aku cuma enggak mau Nita kecapekan dan Kiara enggak terurus."
"Alaaah, alasanmu saja."
"Mas, kok jadi emosi gitu, sih?" Aku terpancing emosi karena Mas Denis memarahiku di depan Nita.
"Kamu juga udah berani ngebantah. Mentang-mentang sudah kerja. Belum juga gajian sudah berani melawan. Ini sebabnya aku enggak suka kamu kerja," cerocos Mas Denis.
"Kok jadi bawa-bawa kerjaanku, sih, Mas?"
"Lantas apa lagi? Timbang buat kopi secangkir saja enggak boleh. Kalau kamu enak bikin kopinya juga aku enggak akan nyuruh Nita."
"Bukannya sebelum Nita datang aku selalu buatkan kopi untukmu, Mas. Kamu pun enggak pernah protes."
"Maaf, Pak ini kopinya." Nita menyela pertengkaran kami.
Mas Denis mengambil kopi itu kemudian pergi ke luar dari dapur. Diikuti Nita yang mengekor di belakangnya.
"Nita tunggu!" teriakku.
Sial, saat aku hendak menasehatinya Kiara menangis.
Aku bergegas berlari ke kamar hendak menenangkan Kiara.
"Huft, kenapa jadinya seperti ini?"
Sungguh aku heran pada Mas Denis belakangan ini. Apa ia marah karena tak setuju aku bekerja atau karena hal lain?
Ia jadi sering marah karena hal sepele. Seperti pagi ini, ia marah karena kopi. Terlebih lagi ia memarahiku di depan pengasuh baru.
Sifat lemah lembut dan mengayomi ya selama ini tiba-tiba menguap entah kemana. Aku jadi seperti tak mengenal Mas Denis lagi.
Sikap Mas Denis saat ini sangat tempramental. Tidak boleh salah sedikit atau tak boleh beda pendapat sedikit dengannya pasti ia langsung mengamuk.
Apa yang terjadi padanya? Herannya sikap seperti itu hanya ditujukan padaku. Ia akan sangat kasar bila bicara denganku. Berbeda jika ia bicara pada orang lain. Termasuk Nita, pangasuh bayi kami.
Apakah perubahan sikapnya ada hubungannya dengan Nita? Tapi apa mungkin? Nita gadis yang polos dan sopan. Tak mungkin ia seperti yang aku pikirkan.