Selesai membersihkan diri, Evan memeriksa ponsel dan mendapati puluhan panggilan tak terjawab serta chat muncul sebagai notifikasi yang memenuhi alat komunikasinya. Dia menghela napas, lalu mengarahkan perhatiannya pada nama Jhonatan yang berada di list paling bawah.
Saat hendak melakukan panggilan balik kepada sang Papa, mendadak Evan mengurungkan niatnya itu. Dia lebih memilih untuk membalas pesan dari Angga lebih dahulu yang juga sudah menumpuk cukup banyak.
Tak kunjung mendapat pesan balasan dari sang sahabat, Evan pun memutuskan untuk menelponnya. Namun, ternyata malah sama sekali tidak ada jawaban dari Angga. Tampaknya, dengan sengaja sahabatnya itu me-reject panggilan.
Saat hendak mengirimkan pesan susulan, terdengar suara pintu yang dibuka. Lalu, tak sampai sedetik tertutup kembali dengan menimbulkan suara berdebum cukup keras. Rupanya, Angga sudah tiba kembali di rumah. Tapi ketika wajah itu nongol, ia hanya nampak sejenak memandang Evan tanpa berkedip hanya untuk sekedar memastikan keadaan sang sahabat.
Dan setelah di rasa bahwa Evan baik-baik saja, ia melengos dan terus nyelonong masuk menuju dapur untuk meletakkan makanan yang tadi dibelinya. Tak mau menanggapi berlebihan, Evan pun mendengus dan memutuskan untuk mengikutinya ke arah dapur.
---
"Enak?" tanya Evan memecah suasana, saat melihat Angga sudah mulai menikmati makanannya.
"Nggak! Soalnya ada temen bangke kaya lo. Minggir!"
Evan kembali mendengus, lalu duduk di kursi meja makan yang bersebalahan dengan Angga. Tanpa disuruh, dia mengambil bungkusan makanan yang ada di dalam kantong kresek dan membukanya.
"Thanks."
"Bukan buat lo!"
"Terus buat siapa? Buat kamu semua? Serakah banget, Ngga. Hati-hati, lho!" dengan nada bicara serius, Evan memperingatkan.
Angga menghentikan kegiatan makannya, lalu netranya melirik ke arah sahabatnya yang sudah mulai menikmati bungkusan makanan yang dibukanya tadi.
"Hati-hati kenapa?" tanya Angga dengan raut wajah takut.
"Ya hati-hati aja, Ngga. Serakah itu penyakit hati. Emang kamu mau kena penyakit hati? Inget, kamu belum nikah."
Seketika, pemuda itu melayangkan pukulan ke bahu Evan yang membuatnya meringis nyeri. Lagi-lagi, dia menjadi korban keisengan sahabatnya. Dan bodohnya, dia sekali tidak menyadari sama sekali. Namun meskipun begitu, dia merasa cukup lega karena dialek Evan sudah kembali menjadi semiformal. Itu berarti, dia sudah tidak marah lagi.
"Ohh, jadi ceritanya ada yang udah setuju nikah, nih? Bukannya nggak mau, ya?" sindir Angga yang seketika membuat Evan terdiam. Dan untuk beberapa saat, keheningan melingkupi keduanya. Sampai pada akhirnya, Angga kembali berbicara.
"Van, Om Jho telpon. Nanyain kamu," sambungnya.
Evan hanya mengangguk saja, tanpa menjawab apapun dan lebih memilih melanjutkan makan.
"Jangan bilang kalau kamu belum telpon balik."
"Belum. Nanti aja. Malas."
"Malas karena … ujung-ujungnya bakal bahas soal Berlin?"
Evan meletakkan sendok berisi nasi yang hendak disantapnya, ketika mendengar nama itu disebut. Sorot matanya pun mendadak meredup, seiring selera makannya yang musnah seketika.
"So … sorry, Van."
Evan menarik napas, lalu menghembuskan pelan.
"Seperti yang sudah kamu tahu, Ngga. Bahkan Berlin juga melakukan hal yang sama sepertiku, bukan?"
"Iya. Sebenarnya, kalian sama-sama pergi untuk menghindar dari perjodohan itu."
"Aku dan Berlin sama sekali tidak menginginkan ini, kau tahu itu. Tapi, Papa sama sekali tidak perduli. Dan yang membuatku kesal, kenapa hanya aku saja? Kenapa hal itu tidak berlaku untuk kak Agatha dan kak Andre?"
"Bahkan kak Agatha bebas memilih dengan siapa dia menikah. Dan kak Andre … dia juga bebas memilih menjadi apapun yang dia mau. Like emmm … be a supermodel, right?" sambung Angga lirih.
Lalu keduanya terdiam, memikirkan apa yang baru saja mereka ucapkan. Evan sudah kehilangan selera makannya, pun dengan Angga yang langsung menghentikan kegiatan makan karena ternyata sudah habis lebih dahulu. Dia bangkit dari duduk untuk meletakkan peralatan makannya di wastafel, lalu kembali bergabung dengan Evan.
---
"Aku pikir, segalanya masih bisa dibicarakan, Van. Masih ada waktu, maksudku."
"Tapi kau paham bagaimana sifat Papa. Apalagi, alasan yang dipakainya adalah untuk memajukan perusahaan."
"Padahal, semenjak PT Galaxy dipimpin olehmu, semuanya berjalan menjadi lebih baik. Tak perlu kawin dengan Jayafood Sahasika milik orangtua Berlin pun, kita masih bisa berkembang dengan pesat. Masih banyak potensi untuk memajukan perusahaan..."
"Dan tak perlu pakai jalur perjodohan ini," sambung Evan malas, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi yang di duduki.
"Kau sudah memiliki rencana?"
"Aku bahkan enggan memikirkan ini, Ngga. Ahhhh ... sudahi saja, aku lelah hari ini. Ini semua juga gara-gara kamu, makanya aku jadi kurang enak badan." Evan melirik tajam ke arah Angga yang seketika langsung nyengir lebar. Dia tahu apa yang dimaksud oleh sahabatnya.
"Ya maaf. Kan kau bisa menolak kalau nggak mau ikut. Lagipula, Van ... kota ini dijuluki kota bunga. Jadi wajarlah banyak toko bunga. Lagian, udah tahu ada alergi kenapa kamu malah kabur kemari??" sedikit sewot Angga menjawab tak mau kalah.
"Yeeee ... kamu lupa tugas sebenarnya di sini apa? Dasar bego! Nggak hanya kabur, tapi kita mau ketemu orang buat kerjasama sama Galaxy. Gimana sih?!" kali ini, Evan kembali dibuat geram oleh tingkah Angga yang menyebalkan.
Sebenarnya, suasana hati Evan sudah mulai membaik. Namun ketika menghadapi tingkah konyol sahabatnya, mood-nya kembali hancur. Merasa bete, dia memutuskan bangkit dari kursi untuk berpindah duduk di ruang tengah.
"Hehehe, iya juga ya. Maaf-maaf, maklum banyak pikiran ini," kilah Angga sambil ikut bangkit dari duduk untuk membereskan peralatan makan milik Evan yang ditinggalkan begitu saja.
"Pikiran dari Hongkong!!" seru Evan jengkel, lalu melangkah pergi meninggalkan Angga yang malah terkekeh karena geli.
"Van ... Evan, bentar deh."
"Apa lagi?"
"Ini sapu tangan siapa?"
Pertanyaan itu seketika membuat Evan mengurutkan kening. Sejenak dia mencoba untuk mengingat, kemudian memutuskan untuk mendekat ke arah Angga.
"Oh, ini ... sewaktu aku bersin-bersin dan kamu lagi pergi, ada yang kasih aku ini. Tapi, mana sempat aku melihat wajahnya. Aku benar-benar kacau saat itu."
"Oooohhhh iya-iya, aku inget! Oh jadi ini punya cewek itu. Aku aja belum sempat nyapa, tapi aku udah bilang makasih karena udah jagain kamu, Van," terang Angga berapi-api ketika teringat dengan momen itu.
"Oh, yaudah di simpen dulu ya. Eh cuciin sekalian."
Tanpa menunggu jawaban apapun dari Angga, Evan kembali menyelonong pergi menuju ruang tengah untuk sejenak merebahkan dirinya di sofa.
---
Perkara sapu tangan milik si gadis yang belum diketahuinya itu, agaknya sedikit menyita perhatian Evan. Meskipun Angga sudah mengucapkan terima kasih, namun rasanya masih tetap saja kurang.
Berkat sapu tangan itu, ia dapat bersin-bersin dengan leluasa karena sudah memiliki kain penutup untuk melindungi hidung. Sayangnya, dia malah sama sekali tak sempat menatap siapa gerangan gadis itu. Boro-boro menatapnya, karena untuk memikirkan dirinya sendiri Evan benar-benar masih sangat kacau.
Saat pikirannya dipenuhi akan rasa penasaran, dering ponsel miliknya telah kembali membawa Evan ke alam nyata. Dengan malas, dia bangkit dari berbaringnya, lalu meraih benda itu. Dia tak langsung menjawab panggilan tersebut. Dan untuk sejenak, Evan menatap layar ponselnya yang memunculkan nama si penelpon.
Sebelum menjawab, Evan memutuskan bangkit dari duduknya dan memilih singgah di kursi yang ada di teras belakang rumah.
"Halo, Berlin."
"Hai. Kau sudah sampai, Stevan Harshil?"
"Sudah. Sekitar jam sembilan pagi. Seharusnya kalau sesuai perhitungan, jam 8 pagi aku sudah sampai. Tapi … aahh Angga terlalu banyak acara di jalan."
"Hihihi, dasar anak bandel. Sedang apa dia sekarang? Biar aku marahi saja." suara merdu khas milik Berlin, seketika terdengar menjadi lebih antusias. Kekehannya benar-benar menggambarkan betapa senang hatinya saat nama Angga disebut oleh Evan.
"Hehe, kau mau bicara dengannya?"
"Oh eh … tidak, Evan. Nanti saja. Oh ya, aku … aku menelponmu karena … Papamu menghubungiku. Sepertinya, kau belum menelponnya setelah tiba di tempat tujuan." Kini suara Berlin terdengar hati-hati, saat menyampaikan tujuan sebenarnya dirinya menelpon Evan.
---
Berlin—yang juga merupakan teman SMA Evan telah paham betul bagaimana sifat lelaki itu. Apalagi ditambah dengan wacana perjodohan yang digadang-gadang akan terlaksana sesegera mungkin.
Sama halnya dengan Evan, Berlin juga tak setuju dengan rencana itu. Karena, dia sudah menganggap Evan seperti saudaranya sendiri. Dan yang lebih penting daripada itu, Berlin sudah memiliki pria yang disukai.
"Iya, setelah selesai menelponmu … aku akan menghubunginya. Padahal Papa sudah menghubungi Angga, ternyata masih kurang juga," keluh Evan dengan nada kesal.
"Aku tahu kau marah kepada Om Jho, tapi … barangkali beliau hanya ingin memastikan bahwa kau sampai ditujuan dengan selamat, Evan."
"Ck! Tapi agaknya, dia sama sekali tak memikirkan perasaanku dan perasaanmu juga."
Setelah Evan berucap demikian, tak ada yang kembali bersuara. Hanya terdengar deru dan helaan napas dari keduanya.
"Setelah urusanmu dan urusanku selesai, bagaimana kalau kita bicarakan masalah ini? Aku pikir, semuanya belum terlambat. Aku juga akan bicara empat mata dengan kedua orangtuaku."
Evan tak langsung menjawab. Terdengar dia menghela napasnya, lalu menghembuskannya pelan.
"Baiklah kalau begitu. Oh ya, maukah kau mengobrol dengan Angga? Sepertinya anak itu harus dialihkan perhatiannya, karena setelah ini aku mau menelpon Papa. Aku tidak mau dia ikut bicara yang tidak-tidak."
"Hihihi, emm … baiklah. Aku akan menghubunginya setelah ini."
"Tidak usah. Biar Angga saja yang menghubungi. Thanks, Berlin."
Evan menutup panggilan telponnya, lalu bangkit dari duduk untuk menemui Angga yang rupanya tengah tiduran di sofa ruang tengah.
"Telpon Berlin sekarang," titah Evan tanpa basa-basi.
"Hah? Kenapa? Kalian berantem??!" sontak Angga bangkit dari berbaringnya dan menatap Evan dengan bingung.
"Ck! Ya nggak papa telpon aja. Cepet, dia udah nunggu. Barusan bilang pengin ngobrol sama kamu, Ngga. Buruan."
"Bukannya barusan habis ngobrol sama kamu?"
"Ya iya. Tapi dia nanyain kamu. Ayoo cepetan, kasian Berlin nunggu." Sedikit keras, Evan berkata demikan sambil menepuk-nepuk pundak Angga.
Tanpa menunggu protes yang kembali akan dilayangkan oleh Angga, Evan berlalu begitu saja dan berjalan menuju ke ruang makan. Ternyata, dia masih lapar. Namun, tatapannya bertumbuk pada sapu tangan yang tadi ditanyakan oleh Angga. Seketika saja Evan jadi kembali teringat kepada si gadis yang merupakan pemilik dari sapu tangan itu.
'Duhhh, dia siapa sih?'
***