Chereads / Heartbeat Symphony / Chapter 3 - Namanya Lia—Camellia

Chapter 3 - Namanya Lia—Camellia

"Lia … nanti antar bunga ke tempat Bu Mirna, ya. Sekalian jemput Ares. Tadi telpon Ibu, katanya minta tolong di jemput."

"Duhhh, kenapa nggak naik angkot aja sih, Bu? Males banget deh. Di sana jalannya kan riweh kalo pas bubar sekolah," protes Lia sambil bibirnya mengerucut karena tak sependapatan dengan titah sang Ibu.

"Kan searah, Lia ... sekalian saja. Lagian sama adik sendiri, masa gitu?" sang Ibu berkata demikian sambil menyenggol pundak sang anak dengan lembut. Karena kedua tangannya sedang membawa satu ikat bunga potong segar.

"Adik sendiri yang suka ngajakin ribut."

"Hihihi, bukan hanya Ares yang begitu. Tapi kalian berdua," sahut sang Ibu sambil terkekeh geli, sementara Lia semakin memanyunkan bibirnya karena sebal.

Tak mau memperpanjang perdebatan yang nanti malah akan membuat sang anak gadis semakin bertambah kesal, Sekar—Ibu Lia memutuskan untuk kembali melanjutkan kegiatannya memotong bunga, untuk nanti diantarkan ke pelanggan yang sudah memesan.

Sebenarnya, tugas mengantar bunga pesanan pelanggan biasanya didelegasikan kepada tukang ojek langganan keluarga Lia. Namun karena si Bapak Ojek sedang tidak enak badan, akhirnya Lia menyediakan diri untuk mengantar. Mumpung hari itu, dia tidak ada jadwal kuliah.

Setelah selesai memisahkan bunga-bunga sesuai pesanan, Lia bergegas menyiapkan diri untuk mengantar. Sementara itu, sang Ibu masih sibuk membuat beberapa nota untuk dibawa Lia nanti.

"Lia berangkat ya, Bu."

"Hati-hati. Jangan lupa nanti selesai mengantar, jemput Ares ya, Nak."

"Iya Bu Iya," sahut Lia dengan nada malas, lalu mencium takzim puggung tangan sang Ibu sebelum pergi.

---

Lia sudah selesai mengantar kesemua pesanan kepada pelanggan. Dan kini, dia sedang dalam perjalanan menuju sekolah Ares untuk menjemputnya. Malas, sangat malas karena jalanan di daerah sekolah sang adik akan sangat ramai kalau bertepatan dengan jam pulang sekolah. Kalau bukan karena sang Ibu yang memintanya, Lia sama sekali tak mau untuk menjemput.

Benar saja, sesampainya di depan sekolah sang adik, hiruk pikuk aktifitas manusia yang hampir dilakukan secara bersamaan, benar-benar membuat Lia meras sumpek. Akhirnya, dia memutuskan untuk menepi agak sedikit menjauh dari pintu gerbang sekolah. Setengah menggerutu, Lia mengirim pesan kepada Ares untuk lekas keluar karena dirinya sudah menunggu.

"Nareswara Mettadeva, buruan! Aku udah di luar." Dengan galaknya, Lia mengirimkan voice note kepada sang adik karena tak kunjung membaca pesannya.

"Ya ampun, lama banget si Ares. Lama-lama aku tinggal pulang juga." Lia terus menggerutu karena sang adik tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Tak berselang lama, yang ditunggupun akhirnya datang. Dengan wajah tanpa dosa dan cengar-cengir seperti kuda, Ares mendekat ke arah Lia. Bocah lelaki kelas dua SMA itu agaknya merasa rikuh karena sudah membuat kakak perempuan satu-satunya itu menunggu.

"Kak Lia, maaf ya. Aku …."

"Buruan naik. Lama banget, capek tau Res nungguinnya. Aku abis muter-muter nih."

"Tadi papasan sama guru, Kak. Iya ayok pulang yok. Galak banget kakakku ini," sahut Ares sambil mengerucutkan bibir dan memakai helm yang diberikan oleh Lia.

"Emang galak!" sahut Lia ketus yang seketika membuat Ares tergelak.

"Hahah, iya galak. Galak aja atau galak banget nih, Kak?" bukannya meminta maaf karena sudah mengejek sang kakak, Ares malah menggodanya.

Lia tak menjawab apapun, namun mata indahnya melotot tajam ke arah sang adik yang semakin tertawa terpingkal.

"Nggak papa galak sih, aku tetep sayang sama kak Lia, hehe." Demikian ucap Ares, lalu langsung membonceng dan melingkarkan tangan pada perut sang kakak.

"Ares! Lepasin ihhh, kamu pegangnya kekencengan."

"Nggak papa. Soalnya kak Lia bawa motornya pasti mau ngebut kan kalo bonceng aku? Ngaku nggak?!"

Mendengar hal itu, seketika saja Lia tertawa keras. Karena apa yang dikatakan sang adik adalah sebuah kebenaran. Namun meskipun begitu, apa yang dilakukan Lia hanyalah gurauan singkat saja. Sebab, dia akan tetap selalu berhati-hati saat membawa sepeda motor. Apalagi jika berboncengan dengan sang adik.

Begitulah Lia. Meskipun terkenal galak kepada sang adik, namun sebenarnya dia begitu menyayangi Ares. Pun dengan Ares yang malah merasa senang jika sang kakak marah-marah kepadanya. Karena, begitulah sifat Camellia Mettadevi sang kakak; galak namun penyayang.

***

Seusai makan malam bersama, Lia bersama Ibu dan Ayahnya berkumpul bersama di ruang tengah untuk mencatat serta menghitung hasil penjualan bunga pada hari ini. Seberapapun yang didapat, tak pernah sekali saja mereka mengeluh. Keluarga kecil berayah Bimo itu benar-benar mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada mereka.

"Besok tutup sehari, ya. Kan Ayah mau kontrol ke Rumah Sakit; Lia juga ada jadwal kuliah," Sekar sang Ibu memberikan usulan ketika mereka telah selesai melakukan perhitungan pendapatan.

"Iya, Bu. Ah ... bicara kuliah, Lia jadi ingat belum beli kertas buat nge-print tugas. Ini udah selesai kan, Bu-Yah? Lia keluar sebentar ya, mumpung belum terlalu malam."

"Ahhh, maafkan Ibu ya, Lia. Karena harus antar bunga, tugasnya jadi keteter."

"Nggak kok, Bu. Lia udah ngerjain, tinggal print aja. Jadi ..."

Belum juga Lia selesai bicara, Ares keluar dari kamar dan sudah memakai jaket serta celana training yang seketika membuat heran seisi rumah.

"Kamu mau kemana, Res?" tanya Lia.

"Hehe, kakak mau keluar kan? Ikut ya!" jawabnya dengan riang, yang seketika saja langsung mendapatkan pukulan dari Lia dibahunya.

"Awas aja kalo minta jajan." Galak Lia menjawab sebagai isyarat mengizinkan sang adik untuk ikut.

Sekar dan Bimo selaku orangtua mereka hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala, menyaksikan tingkah dua buah hati mereka yang kini sudah beranjak dewasa. Sekali lagi, mereka sering sekali bertengkar untuk hal-hal remeh, namun sebenarnya saling mengasihi satu sama lain.

---

Lia sudah mendapatkan kertas yang dibutuhkan, lalu mengajak sang adik untuk mampir di salah satu minimarket terdekat.

"Beli deh, apa aja terserah. Hari ini, kakak ada uang lebih," kata Lia kepada Ares saat dirinya berada di depan rak minuman.

"Nah, gitu dong, Kak. Hehe. Bentar ya, aku kesana."

Lia hanya mengangguk saja tanpa menoleh ke arah sang adik. Dia kembali memilih minuman yang hendak dibelinya. Namun saat hendak mengambil minuman yang ia inginkan, secara hampir bersamaan ada tangan lain yang juga hendak mengambilnya.

Spontan Lia menarik tangan, lalu meminta maaf dan mengizinkan orang tersebut untuk mengambilnya. Sementara dia, kembali memilih minuman lain.

"Eh, kamu ... kamu cewek sapu tangan itu, bukan sih?"

Mendengar seseorang berbicara didekatnya, reflek Lia menoleh. Dan seketika dia ingat bahwa sesosok lelaki yang ada di depannya kini, adalah yang tadi siang mengucapkan terima kasih padanya.

"Oh, kamu ... yang temannya alergi serbuk sari, ya?" tebak Lia yang langsung disambut anggukan senang oleh Angga.

"Iya bener banget. Akhirnya bisa ketemu lagi. Jujur, aku sempat bingung karena belum mengucapkan terima kasih yang benar sama kamu." Penuh keramahan, Angga berkata demikian dengan wajah sumringah.

Lia hanya tersenyum ketika melihat ketulusan yang terpancar dari wajah lelaki yang ada di depannya. Dalam hati, sebenarnya dia merasa asing dan seperti belum pernah berjumpa di daerah ini. Dan tebakannya Lia tidak salah, saat dengan jujur Angga menjelaskan kalau dia baru datang dari Jakarta.

"Erlangga Rahagi. Panggil saja Angga." Dengan ramah, Angga mengulurkan tangan kepada Lia yang disambut baik olehnya.

"Aku Lia. Salam kenal, ya."

"Kalau boleh tahu, kau tinggal di daerah sini?"

"Iya, aku tinggal di sini. Orangtuaku memiliki usaha bunga potong. Oh ya, maaf kalau sedikit kepo. Emmm ... bagaimana keadaan temanmu yang alergi itu? apa dia sudah baikan? Jujur, aku sering melihat orang alergi serbuk bunga. Jadi, aku merasa sedikit khawatir padanya." Dengan gamblang, Lia bertanya demikian karena merasa kasihan dengan para penderita alergi.

"Ah, sudah tidak apa-apa. Karena langsung meminum obat yang aku beli di apotek. Dia memang memiliki alergi terhadap serbuk bunga. Dan sialnya, obatnya tertinggal di Jakarta," terang Angga sambil tertawa kecil.

Entah bagaimana … di depan Lia saat ini, dia malah bisa bersikap biasa layaknya seorang pria. Tapi berbeda sekali saat berhadapan dengan Evan, karena bersamanya ia merasa sangat oon dan sama sekali tidak memancarkan aura berkarisma.

"Syukurlah. Jangan lupa untuk mengenakan masker saat berpergian. Karena, akan ada banyak penjual bunga di sini. Kan, kota ini mendapat julukan adalah kota bunga. Ya ... untuk berjaga-jaga saja," saran Lia kepada Angga yang dibalas anggukan paham oleh sang pemuda.

"Kakak, aku udah milih. Ayo pulang." Mendadak Ares muncul sambil membawa berbagai macam makanan dan minuman yang memenuhi tangan kanan dan kirinya. Bahkan saking banyaknya, dia mendekapnya ke dada supaya tidak jatuh.

Lia mengerlingkan mata, kesal melihat tingkah sang adik yang malah terang-terangan melakukan pemerasan padanya. Mata indah itu kembali melotot, namun hanya dibalas cengiran jelek dari Ares.

"Kalau kakak ... dia adikmu?" tanya Angga, sebelah alisnya terangkat naik.

"Iya. Kakak ini siapa? Pacarnya kak Lia ya? Kok aku nggak tahu?"

Sebuah cubitan melayang pada pinggangnya, saat dengan tanpa berdosanya Ares berkata demikian. Seketika saja hal itu membuat Angga terkekeh, sementara Ares meringis nyeri.

"Sebaiknya segera kau selesaikan pembayarannya, sebelum adikmu banyak tingkah. Hehe. Sekali lagi, terima kasih ya, Lia."

"Ahh kau benar. sama-sama, Angga. Bye," sahut Lia sedikit terburu-buru, sambil mendorong tubuh sang adik untuk berjalan menuju kasir.

Dengan galaknya, Lia terus mencubiti pinggang sang adik yang sempat membuatnya malu di depan orang baru. Lalu, terus saja tak henti-hentinya dia mengumpat kesal kepada Ares.

Dari kejauhan, ternyata Angga masih memperhatikan Lia dan sang adik. Sebenarnya, dia masih ingin berbincang banyak. Namun entah mengapa, berada di dekat Lia membuat detak jantungnya berubah menjadi lebih cepat, hingga dirinya merasa kewalahan.

'What happened with my heartbeat?'

---

Sesampainya di rumah, Angga langsung menghamburkan diri untuk bergabung dengan Evan yang tengah bersantai di ruang tengah.

"Mana pesananku?" tanya Evan tanpa merubah posisi bebaringnya sama sekali.

"Itu di meja. Van, Van, tadi aku ketemu cewek yang waktu itu kasih sapu tangan ke kamu." Dengan wajah berseri-seri, Angga berkata demikian yang seketika saja membuat Evan setengah meloncat dari berbaringnya.

"Serius?" tanyanya.

"Ya kali masa aku berbohong. Ihhh ... cantik banget."

"Namanya siapa? Kamu udah bilang makasih lagi belum? Terus, tanya alamat dan sama nomor telpon sekalian nggak? Kan sapu tangannya masih di tempatku." Tanpa jeda sama sekali, Evan melontarkan pertanyaan kepada Angga yang sukses membuat pemuda itu melongo hebat.

"Na-namanya ... namanya Lia. U-udah bilang makasih. Di-dia juga berpesan, katanya kamu jangan lupa pake masker. Tapi ..."

"Jangan bilang kalo kamu nggak tanya alamat atau nomor telponnya?" galak Evan memandang Angga yang hanya bisa nyengir jelek khas seperti biasa saat melakukan satu kesalahan.

"Ah!! Gimana sih, Ngga?? Bego banget sih?!"

"Lah, kenapa marah? Namanya juga lupa, Van. Lagian kenapa sih? Sensi banget. Nanti biar aku cariin lagi. Kan udah tahu namanya. Tinggal di daerah sini juga, gampang nyarinya." Dengan enteng Angga berkata demikian, padahal aslinya dia sama sekali tak yakin bisa menemukan Lia.

"Nggak usah! Biar aku cari sendiri."

***