Chereads / Cruel Of Love / Chapter 8 - Siasat

Chapter 8 - Siasat

Robi menatap langit malam yang  indah bertabur bintang, berharap bahwa kini Amelia berada di sisinya.  Sesekali dia menghela napasnya, mencoba meredam rasa ridu pada sang kekasih hati.

Sinyal ponsel miliknya kurang mendukung untuk melakukan panggilan video, pesan singkat saja kadang terkirim lambat.

"Lagi ngapain sih, Bi?" tanya Mayang.

"Cari angin, Mam. Mami juga ngapain ke luar? Masuk , Mam ... di sini dingin sekali."

"Kamu juga, masuk. Mami dan Oma ingin membicarakan sesuatu bareng keluarganya Tante Lastri."

"Iya, Mam."

Robi menyimpan ponselnya ke dalam saku, berharap Amelia segera membalas pesannya yang sedari tadi masih centang dua abu.

Di dalam rumah, Lastri dan keluarganya serta Yustina sedang berbincang kecil seraya menikmati kudapan manis.

"Nah, itu Robi datang!" seru Yustina.

Robi duduk tepat di samping maminya. Seketika suasana hening, sampai akhirnya Jamal—suami dari Lastri membuka pembicaraan.

"Jadi, terkait dengan lamaran yang ibu bicarakan tadi, saya dan Lastri setuju."

Robi terkesiap. Lelucon macam apa yang sedang mami dan omanya lakukan—batinnya.

"Mam! Jangan keterlaluan, Robi enggak ada niat berpoligami," terangnya seraya bangkit dari tempatnya duduk.

Sontak saja, semua pasang mata tertuju padanya. Bahkan, Ayu sampai ternganga tidak percaya.

"Bi, duduk dulu. Apaan sih kamu ini!" desis Yustina.

"Tapi, Oma ...."

"Duduk!"

Lastri dan Mayang tidak kuasa menahan tawa, akibatnya Robi jadi semakin bertanya-tanya.

"Anakmu ini masih sama seperti dulu, May ... frontal sekali."

"Maaf, ya Las. Bi, mami dan Oma melamar Ayu bukan untukmu, tapi untuk Alan."

"A-apa? Robi enggak tahu, Mam ... lagian terkadang Mami dan Oma juga sering membuta kencan buta sebelumnya."

Robi tersipu malu, dia merasa bersalah karena telah melukai perasaan Lastri dan keluarganya, terutama Ayu.

"Maaf Tante Lastri, Ayu, Om Jamal."

"Tidak apa-apa, Robi. Kami jadi iri, rupanya Robi masih sama seperti dulu, begitu penyayang dan setia," puji Lastri.

Robi mengalihkan pandangannya pada Ayu yang masih menahan tawa, seketika dia bisa melihat bagaimana manisnya Ayu jika sedang tersenyum. Untuk sesaat dia sadar, standar cantik itu relatif. Ayu memang tidak secantik dan molek Amelia, tapi hanya dengan sedikit senyuman saja mampu mengubah penilaiannya.

Astaga! Sadar, Bi. Dasar buaya! Bisa-bisanya kau terpikat oleh bunga lain—umpatnya dalam hati.

"Nah, menurutmu bagaimana, Bi? Apakah Ayu akan cocok dengan Alan? Kamu 'kan jauh lebih tahu Alan dibanding Oma dan Mami."

Sebenarnya Ayu tidak buruk juga, hanya saja Robi tidak yakin apakah Robi akan menyukai gaya berpakaiannya yang sangat ketinggalan zaman ini.

"Cocok, kok. Tapi, apa Alan sudah tahu soal ini, Mam?"

"Nanti kita bahas itu di rumah," bisik Mayang.

Robi heran. Kenapa maminya tiba-tiba saja bersikap baik, malah sampai mencarikan jodoh untuk Alan yang biasanya dia musuhi. Robi bukan tidak ikut merasa senang, apalagi dia tahu sifat Alan yang dingin dan kaku pada wanita, pasti sulit untuknya mencari tambatan hati. Tapi ini terlalu tiba-tiba, terlalu aneh malah.

Jika memang mami dan oma-nya berniat menjodohkan Alan, kenapa justru malah mengajaknya pergi? Ah ... kedua wanita itu memang selalu sulit ditebak—pikirinya.

Ayu tidak bersikap berlebihan, dia tetap tenang seperti air yang mengalir. Sejak mereka datang, Ayu memang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja.

Robi merutuki dirinya yang tidak bisa berhenti memperhatikan calon adik iparnya itu, padahal dia bukan tipe wanita yang menarik—pikirnya.

"Bi, kenapa bengong?"

"E-eh, bukan apa-apa, Mam."

Robi berusaha fokus pada pokok pembicaraan, tapi matanya tidak bisa berhenti untuk melirik ke arah Ayu, sampai akhirnya mata mereka bertemu, meninggalkan rasa malu dalam dirinya.

Dasar bodoh—umpatnya.

***

Amelia mengerjakan matanya. Tubuhnya linu, belum lagi rasa lelah dan kantuk begitu terasa. Diliriknya pria yang semalaman suntuk menggagahinya, sedang tertidur pulas tanpa busana.

Amelia tersenyum kecut. Meratapi dirinya yang sudah kotor karena terlena dengan hawa nafsu yang menyesatkan.

Dia meraih pakaiannya, lalu memakainya untuk menutup kemolekan tubuhnya yang sudah terjamah. Udara dingin pagi begitu menusuk, tapi justru membuat tubuhnya yang lelah menjadi segar.

Dihirupnya dalam-dalam udara segar itu, mengisi dadanya yang terasa sesak. Dia tidak mengira semuanya akan berada pada titik rumit ini. Berawal dari benih cinta terlarang yang tiba-tiba tumbuh, lalu merambah pada kebohongan yang terus berkembang, sampai akhirnya mereka berada pada titik benang yang kusut dan sulit terurai.

Statusnya memang milik Robi, tapi hati dan tubuhnya milik orang lain. Tidak hanya sampai di situ, dia juga harus terjebak dengan cinta lain untuk menutup semua bangkai yang semakin banyak.

Diusapnya perut yang masih terlihat rata, tapi esok atau lusa pasti akan menonjol juga. Rencananya akan dia mulai setelah Robi pulang, drama baru dengan dirinya sebagai pemeran utama.

Ponselnya bergetar. Amelia meraihnya dan menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan pesan itu.

"Halo, Sayang," lirihnya.

"Apa dia masih tertidur?"

"Ya, sepertinya sangat kelelahan. Aku muak harus berpura-pura mencintainya, apalagi harus melayaninya seperti ini."

"Apa kamu pikir aku rela? Tentu saja tidak. Tapi kita tidak ada pilihan lain, Sayang. Please, lakukan ini untuk masa depan kita yang lebih cerah."

"Aku sudah cukup tersiksa berpura-pura di hadapan Robi, sekarang aku juga harus memerankan peran lainnya di hadapan pria gila itu," protesnya.

"Sabar, Sayang. Sebentar lagi dia akan memiliki posisi dan hak yang sama seperti Robi, saat itu tiba, kamu bisa memanfaatkannya."

"Tapi, Sayang—"

"Jika kita bisa dapat lebih banyak, kenapa tidak? Sudah, jangan berpikir hanya kamu yang merasa kesulitan. Aku juga di sini cemburu membayangkanmu bergumul dengan pria lain."

"Maafkan aku ...."

"Ya sudah, aku harus pergi kerja. Jangan lupa untuk membujuknya agar mau bersaing bersama Robi."

"Iya, akan aku lakukan nanti."

Amelia menangkap gerakan dari pria yang sedari tadi berbaring di atas ranjang, segera dia tutup panggilan itu agar tidak menimbulkan kecurigaan.

"Honey ... kenapa di balkon pagi-pagi?"

"Cari udara segar. Kamu kedinginan, ya?"

"Ya, tolong tutup jendelanya."

Amelia segera menutup jendela dan pintu kamarnya yang terhubung ke balkon, lalu segera menghampiri pria itu ke atas ranjang untuk bergelayut mesra.

Sesekali tangannya bermain di atas dada bidangnya, menimbulkan desiran halus yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Sayang ...."

"Ya, kenapa?"

"Kamu sudah pikirkan baik-baik usulku, bukan?"

Pria itu mengerutkan dahinya, mencoba mencerna pertanyaan Amelia yang tiba-tiba. "Soal perhiasan yang kamu mau beli itu?"

"Itu 'kan sudah jelas, kamu pasti belikan untukku. Bukan yang itu, tapi yang lain."

"Perusahaan?"

"Iya. Bagaimana jadinya? Aku bilang seperti ini karena merasa kasihan, apalagi memang kamu berhak atas harta itu, bukan?"

"Aku sudah pikirkan dan sedang berusaha membujuk Mak lampir sialan itu."

"Semoga berhasil ya, Sayang."

"Tentu saja harus berhasil, karena aku melakukannya untuk membahagiakan dan merebutmu dari Robi."

Amelia memeluk erat pria itu, meski jauh dalam lubuk hatinya ingin sekali mendorong pergi dirinya jauh-jauh.