Narsih merapikan kasur majikannya yang penuh dengan cairan menjijikkan bekas pergumulan sang majikan. Sedangkan Amelia, dia tengah asyik menikmati kudapan manis untuk mengisi tenaganya kembali setelah energinya terkuras habis.
"Segera masukkan ke dalam mesin cuci, Bi ... awas saja kalau sampai Mas Robi tahu," ancamnya seraya bergelayut manja pada kekasih gelapnya.
"I-iya, Nyonya."
Narsih segera menyelesaikan tugasnya, lalu bergegas pergi untuk mengerjakan sisanya sesuai perintah sang majikan. Lagipula, dia juga muak melihat pemandangan yang harusnya tidak dia lihat.
"Kamu yakin Bi Narsih akan tutup mulut, kan?"
"Kamu enggak percaya? Bukankah hubungan kita selama satu tahun ini aman-aman saja, semua membuktikan kalau nenek tua itu tutup mulut rapat-rapat."
"Aku hanya khawatir ... itu saja."
Pria itu membelai Amelia dengan lembutnya. "Tenang saja, semua baik-baik saja, bukan?"
"Sampai kapan drama itu harus berjalan? Aku lelah ...."
"Tentu saja ... setelah kamu bisa mendapatkan sebagian besar harta Wijaya."
"Aku rasa tabunganku mungkin sudah cukup, kita juga bisa jual beberapa properti yang Mas Robi belikan untukku."
"Jangan nekat! Kamu pikir uang itu akan cukup untuk kita hidup bersama anak kita?!"
Amelia terkesiap. "A-aku hanya lelah bersandiwara—"
"Belum saatnya, Mel. Kamu enggak mau 'kan kalau nanti hidup susah seperti dulu?"
Amelia menggeleng cepat. "Tentu saja."
"Jadi, kita ikuti saja alur drama ini. Jika kamu bisa memegang dua sekaligus, kenapa harus dilepaskan salah satunya?"
"Apa kamu tidak cemburu? Atau jangan-jangan sebenarnya kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku ...."
"Hei! Kenapa kamu mengatakan hal yang mengerikan seperti itu? Aku sungguh mencintaimu, sampai mau gila rasanya. Tapi, aku akan mengalah karena semua ini demi masa depan kita."
Amelia menghela napasnya berat, sebenarnya dia sudah muak menjalani drama yang pelik ini. "Oke, aku akan coba lanjutkan semuanya."
"Nah, gitu dong."
Pria itu menyeringai. Meski Amelia rasanya muak dengan sandiwara yang tengah dia mainkan, tapi sudah tidak ada jalan lain selain mengikuti alurnya. Dia hanya bisa berharap semuanya sesuai dengan apa yang direncanakan.
Pria itu kembali membelainya dengan lembut, lalu menciumi tubuhnya yang sudah basah oleh peluh. Sedangkan Amelia, hanya bisa menikmati gejolak yang kembali datang menghampirinya. Namun, tiba-tiba saja pria itu menghentikan tangannya, lalu bangkit dan meraih pakaiannya.
"Aku pulang, takutnya suamimu keburu pulang."
Amelia membenamkan tubuhnya di atas dada bidang sang idaman. "Padahal aku masih ingin terus, sayang sekali ...."
"Hei ... kita bisa kembali lakukan itu jika ada kesempatan, tenang saja."
"Janji?"
"Ya, tentu saja kucing nakalku. Saat ada kesempatan, akan kubuat kamu sampai mabuk kepayang ... seperti biasa," godanya seraya mencubit hidung bangir Amelia.
Pria itu segera memakai kembali pakaiannya. Bersiap pergi sebelum sang pemilik rumah sebenarnya kembali.
Sebelum pergi, mereka kembali bercumbu untuk terakhir kalinya. Andai tidak khawatir Robi kembali, mungkin mereka bisa saja kembali melakukannya.
"Bye, Sayang."
"Bye ...."
Pria itu berlalu pergi, meninggalkan Amelia yang masih dalam lelahnya setelah pergumulan tadi.
Dia merindukan saat dimana Robi pergi lama. Dengan bebas bisa mengundangnya tinggal untuk menghabiskan malam yang panas, tapi ada kemungkinan itu akan sulit terjadi kembali.
Amelia merasa cintanya pada Robi sudah memudar, yang dia dapatkan dari pernikahannya hanyalah limpahan kekayaan yang bisa memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, namun tidak dengan yang lainnya.
***
Setibanya di rumah, Robi langsung bergegas menuju kamar. Dia yakin, Amelia pasti masih merajuk, ditambah pulang telat.
Karena itu, sebelum pulang dia sempatkan untuk mampir membeli kue kesukaan Amelia sebagai bentuk permohonan maafnya.
"Tu-tuan sudah pulang?" tanya Narsih yang baru saja selesai mencuci.
"Iya, Bi ... Bibi lagi apa?"
"Baru selesai nyuci, Tuan."
"Lain kali, kerjakan pagi hari saja, Bi."
"I-iya, Tuan."
Tentu saja Narsih akan melakukannya, tapi karena seprai itu menjadi bukti perselingkuhan yang harus segera dilenyapkan, dia tidak bisa membiarkannya sampai esok pagi.
"Bi, tolong kuenya nanti antar ke kamar, ya," titahnya pada Narsih.
"Baik, Tuan. Mau teh atau kopi?"
"Saya mau teh, Amelia biasanya lebih suka dikasih lemon, kan?"
"Baik, Tuan. Nanti saya antar."
Robi melangkah pergi menuju kamarnya, dilihatnya Amelia yang sudah terlelap. Pasti kelelahan karena sore tadi—pikirnya.
"Mel ... Sayang," bisiknya.
Amelia membuka matanya, betapa kagetnya dia saat Robi sudah ada di sisinya dengan tatapan penuh cinta.
"Kapan Mas pulang?"
"Baru saja."
"Sebentar, biar aku buatkan minum dulu," ucapnya seraya bangkit dari tempat tidur.
"Enggak usah, Mas sudah suruh Bi Narsih tadi. Pakai jaketnya, kita duduk di balkon," ajaknya.
Robi membuka lebar pintu kamarnya, membiarkan udara segar masuk ke dalam kamar. Di atas sana, langit sedang terang oleh gemerlap lautan bintang.
Tok tok tok'
"Masuk, Bi."
Narsih datang membawa dua gelas teh hangat dan kue yang Robi beli, betapa senangnya Amelia karena itu adalah kue kesukaannya.
"Mas yang beli?"
"Tentu, siapa lagi?"
"Makasih ya, Mas."
Melihat istrinya dengan lahap menyantap kue pemberiannya, Robi rasa suasana hati Amelia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka berbincang-bincang kecil, menikmati udara malam yang dingin dan indahnya langit malam.
Robi mencoba mencari celah untuk membicarakan terkait kepergiannya dua hari ke depan pada Amelia. Sebisa mungkin, dia tidak mau Amelia sampai merajuk, bisa gelisah hatinya.
"Bagaimana ... enak?" tanyanya.
"Enak sekali, Mas."
"Syukurlah kalau kamu menikmatinya."
Bagaimana tidak ... Amelia memang sedang mengidam makan kue itu, baru saja dia berniat esok atau lusa untuk membelinya. Namun, siapa sangka sang suami justru lebih dulu membelikannya.
"Mami ada urusan apa, Mas?" tanya Amelia seraya menyeruput minumannya.
"Itu, sebenarnya mami minta ditemani mengantar oma berobat, Mel."
"Oh ... lalu?"
"Ya, mau bagaimana lagi ... Mas harus ikut."
Amelia mengangguk-angguk pelan. "Ya sudah, ikut saja ... aku pikir mami minta Mas pergi ke luar kota lagi," ucapnya seraya mengerucutkan bibirnya.
"Tapi ... Kami pergi selama dua hari, Mel."
Dalam hatinya, Amelia berlonjak kegirangan. Namun, tentu saja dia berusaha agar Robi tidak mengetahuinya, Amelia tetap berekspresi tenang.
"Mau bagaimana lagi, kalau Mel larang pun, Mas tetap harus pergi 'kan?"
Robi mengangguk pelan. "Maaf, Mel. Padahal, Mas sudah bujuk Mami untuk ajak kamu, tapi—"
"Jangan di teruskan, Mas ... pergi saja, aku sudah tahu situasinya."
"Maafkan Mas, Sayang ...," lirihnya.
Amelia menghampiri Robi, lalu duduk di pangkuan sang suami. "Jangan khawatir, Mas pergi saja."
"Kamu enggak marah?"
Amelia menggeleng. Bagaimana dia bisa marah karena justru itu hal yang sangat dia tunggu-tunggu.
"Makasih ya, Mel."
"Sama-sama, Mas."
Robi melingkarkan tangannya pada pinggang Amelia. Malam itu mereka menikmati indahnya malam dengan penuh romantisme selayaknya pasangan suami istri yang saling mencintai.
Andai Robi tahu, cinta tulusnya sudah ternoda oleh pengkhianatan sang istri.