Wiyana menundukkan kepalanya saat ketahuan akan keluar dari ruang inapnya, dengan kondisi yang tak bisa dikatakan baik.
Haidar hanya diam sebenarnya, tapi tatapannya sangat jelas mengatakan kalau ia sedang memperingati Wiyana untuk tidak melakukan hal bodoh itu lagi.
"Saya hanya kesepian," akunya pelan.
Seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tuanya, Wiyana tak berani mengangkat wajahnya pada Haidar dan ke dua tangannya sibuk memilin selimut rumah sakit.
"Kamu bisa hubungi saya," jawab Haidar menarik perhatian Wiyana untuk melihat ke arah pria itu, seakan tak yakin pada apa yang baru saja Haidar katakan.
"Boleh?" tanya Wiyana ragu, Haidar mengangguk sekali sebagai jawaban.
Pupil gadis itu refleks membesar, ah. Apakah dia sedang bermimpi?
"Bapak, nggak lagi sakit, kan?"
"Tidak, kamu yang sakit."
Senyumnya mekar mendengar kalau Haidar benar benar serius membolehkan Wiyana menghubungi pria itu disaat Wiyana kesepian.
