Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 7 - Masa Awal Hancurnya Sebuah Hubungan

Chapter 7 - Masa Awal Hancurnya Sebuah Hubungan

"Eh, lo kenapa sih? Lumpuh mendadak lo karna diajak ngobrol cowok ganteng?" cibir Alea sembari menatap tak santai ke arah Wiyana yang masih setia duduk di lantai menatap lurus di mana tadi Haidar berdiri.

"Namanya siapa tadi?"

"Hah?"

"Nama dia yang berdiri di sini tadi siapa?" ulang Wiyana sembari menunjuk teras di aman masih terdapat jejak sepatu pantofel Haidar, yang kotor karena tanah becek di sekitar kontrakan dua gadis aneh itu.

"Ha––Haidar!" seru Alea santai dengan dahi berkerut berusaha untuk mengingat walau agak sedikit lupa.

Wiyana menahan napasnya ketika nama itu disebutkan, entah sudah berapa lama dia tak mendengar nama itu disebut oleh orang lain. Bahkan walau sulit dirinya sendiri pun masih berusaha untuk melupakan seseorang yang bernama Haidar itu.

Beberapa detik tak ada yang bersuara lagi di antara mereka, sampai mendadak Alea menjerit tertahan. Dia menutup rapat mulutnya dengan ke dua tangan.

"Wi, jangan bilang kalau dia...."

"Hmmm, dia orangnya," potong Wiyana lesu bukan main.

Alea saja yang baru tahu ketika Haidar sudah pergi, tampak sangat syok. Lalu, apa kabar dengan Wiyana yang syok, terkejut dan rasanya nyawanya melayang ketika kembali melihat sosok Haidar berdiri gagah di depannya beberapa saat lalu.

Dia sendiri harus kuat menahan agar tak jatuh ke lantai karena kakinya mati rasa.

"Astaga, kenapa lo nggak kasih tau gue dari awal?" sungut Alea tak santai, kini dia ikut terduduk di lantai marmer kontrakan mereka itu.

Wiyana menggeleng sebagai tanda kalau itu bukan ide yang bagus.

"Jangankan bicara sama lo, buat pertahanin bobot tubuh gue aja. Gue hampir nggak bisa, gue nggak bisa...."

Alea menangkup ke dua pipi sahabatnya itu, dia buat Wiyana menatap ke arahnya. Wiyana masih sama, tatapnya berubah. Alea tak suka melihat Wiyana yang ini.

"Dengerin gue! Gue tau lo masih belum bisa lupain dia, tapi gue mohon jangan bertingkah kayak gini! Lo harus kuat lagi sama kayak sebelum ketemu sama dia, Wi!" tegas Alea memperingati, dia hanya tak ingin Wiyana bertingkah aneh.

Yang mana itu hanya akan merepotkan bagi Alea, tak ada yang tahu bagaimana repotnya membujuk Wiyana ketika sudah murung hanya karena pria yang bernama Haidar itu.

"Gue nggak bisa bertingkah biasa aja, tadi dia di depan mata gue. Dua belas tahun kami nggak pernah ketemu lagi, setelah gue menghadiri acara pertunangannya sama Dinda. Gue memutuskan untuk pergi jauh dari tempat lahir gue, Al. Lo tau kenapa gue pergi, karna gue menghindari dia."

Mata Wiyana berkaca kaca, kenangan di masa masa tahun terakhir dia menempuh pendidikan tingkat SMA kembali tergiang ngiang di otaknya.

*

Tempat itu adalah sebuah sekolah SMA dengan gedung bertingkat dua, sekolah yang tak terlalu besar sebab masih berada di perkotaan kecil.

Sepasang insan yang baru saja dinyatakan lulus dari sekolah tampak duduk di bawah pohon rindang, depan sekolah mereka.

Mereka adalah Haidar dan Wiyana, menjalin pertemanan selama tiga tahun sejak awal masuk sekolah sudah cukup untuk membuat mereka mengenal satu dengan yang lain.

"Wi."

"Hem?" gumam Wiyana, gadis dengan baju putih yang sudah dicoret coret dengan piloks tampak begitu fokus pada es krim coklat kesukaannya.

Haidar menoleh, dilihatnya wajah Wiyana dari samping. Gadis itu tampak cantik terkena sinar matahari sore.

Haidar terkekeh geli melihat bagaimana cara Wiyana memakan es krim.

"Kenapa?" tanya Wiyana dengan dahi berkerut saat mendengar tawa Haidar.

"Kamu makanannya kenapa ditiup dulu, kan. Es krim dingin, Wi!" ungkap Haidar merasa tak habis pikir, tangannya terangkat guna mengusap sudut bibir Wiyana yang terdapat es krim.

"Kamu juga makannya nggak pernah nggak berantakan."

Wiyana menyengir lebar, menunjukkan jejeran giginya yang tertata rapi pada Haidar.

"Udah kebiasaan," katanya girang. Wiyana kembali menoleh ke depan, lagi lagi fokusnya hanya tertuju pad es krim.

Sebenarnya dia sedang menyembunyikan suara jantungnya yang menggila saat ini, jujur saja ketika berdekatan dengan Haidar. Kerja jantung Wiyana kerap sekali tak wajar, apa lagi ketika Haidar memberikan perhatian kecil padanya sukses membuat Wiyana panas dingin.

"Ya, suatu hari nanti kalau kita nggak bersama lagi. Terus bertemu di tempat yang baru, aku pasti bakal bisa langsung kenali kamu karena cara makan kamu ini," imbuh Haidar lembut.

Wiyana tersenyum senyum tak jelas, dia tak tahu saja apa maksud Haidar bicara tentang tak bersama lagi.

Beberapa saat hening, Wiyana sibuk menetralkan detak jantungnya. Sementara Haidar sibuk menatap wajah Wiyana dari samping, tatapannya berbeda dari biasanya.

'Gimana aku bicara sama kamu, aku tau ini pasti akan merusak kebersamaan kita,' batin Haidar.

Jujur saja dia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada pertemanan mereka.

"Wiyana."

"Ya?"

"Kalau setelah ini kita nggak bersama lagi karna aku langgar janji gimana?"

Dahi Wiyana berkerut, dia sedikit heran pada kalimat Haidar. Tapi, walaupun begitu tak sedikit pun gadis itu menaruh rasa curiga pada Haidar.

"Maksud kamu apa? Janji apa yang kamu langgar?"

Haidar menarik napas panjang, lalu dia hembuskan sekali. Setelah yakin dia bisa, Haidar menyentuh ke dua lengan Wiyana, membuat gadis itu menghadap dirinya.

"Setelah SMA kita nggak bisa kuliah sama sama," katanya pelan.

Perasaan Wiyana mendadak tak enak, dia melupakan es krimnya. Kali ini netra hitam Wiyana menatap mata degan netra abu abu Haidar yang sangat dia sukai.

"Kenapa? Maksudku kenapa kamu bilang kita nggak bisa kuliah sama sama, memangnya kamu mau kuliah di universitas lain? Bilang aja di mana, nanti aku juga bakal daftar ke sana. Itu bukan masalah, Haidar. Aku bakal terus ikuti di mana pun kamu menempuh pendidikan selanjutnya."

Haidar semakin tidak tega melihat respon Wiyana yang tampaknya memang sangat ingin satu universitas.

"Masalahnya lebih dari itu, pertama mendadak orang tuaku minta aku untuk kuliah di luar negeri. Apa kamu bisa ke luar negeri sama aku?"

Kerutan di dahi Wiyana menghilang, dia menurunkan pandangannya.

"Aku nggak bisa, kamu tau aku bukan dari keluarga yang kaya seperti kamu. Aku bisa sekolah di sini juga karena bea siswa."

Melihat raut putus asa dari Wiyana sukses membuat Haidar ingin memukul kepalanya sendiri, sebab Wiyana seperti itu karena dirinya.

"Terus kalau perihal kuliah masalah pertama, masalah lainnya apa?"

Masih dengan pandangan yang ke bawah Wiyana kembali bertanya, Haidar membasahi bibirnya yang mulai kering terlebih dahulu. Sebab perihal ke dua adalah masalah yang paling besar, masalahnya tidak hanya akan merusak pertemanan mereka. Tapi, juga masa depan Haidar sendiri.

"Lagi lagi masalah ini adalah hal dianggap baik sama orang tuaku, mereka menjodohkan aku sama Dinda."

Satu, dua detik. Bahkan sampai satu menit Wiyana masih diam, dia berusaha keras untuk mencerna apa yang dikatakan oleh Haidar.

Pelan tapi pasti, kesadaran Wiyana seakan kembali. Dia melepaskan ke dua tangan Haidar yang bertengger di lengannya.

Sedikit pun Wiyana tak ada niatan untuk mengangkat kepalanya, dia baru mengangkat kepalanya saat sudah berdiri dengan membelakangi Haidar.

"Apa kamu setuju sama perjodohan itu?" tanyanya pelan setelah sekian lama diam.

Haidar menggeleng, dia ikut berdiri.

"Aku nolak, Wi. Aku udah nolak, tapi kamu tau aku ini cuma seorang anak laki laki yang pengecut, aku nggak bisa menolak terlalu lama permintaan mereka. Dan, aku masih bergantung sama mereka. Ak––"

"Kamu terima perjodohan itu?" ulang Wiyana lagi, semakin ke sini suaranya semakin memelan.

Dirinya sangat berusaha untuk menahan suaranya agar tak bergetar.

"Iya."

Pertahanan Wiyana hancur detik itu juga, air matanya berhasil lolos tanpa tahu malu. Bahunya bergetar tanda kalau dia sangat terpukul oleh pengakuan Haidar, wajar saja. Wiyana mencintai Haidar dalam diam selama tiga tahun.

Sakit rasanya mengetahui pemuda yang dia cintai harus menikah dengan teman satu kelasnya.

"Kamu nggakpapa?" tanya Haidar, dia mulai gelisah melihat bahu Wiyana yang bergetar Haidar tahu Wiyana pasti menangis.

"Wiyana jangan nangis, aku mohon!" pintanya berusaha untuk menyentuh.

Tapi, alih alih disentuh. Wiyana sudah lebih dulu berlari dari sana, dia hanya tak ingin Haidar melihat bagaimana dia menangis hanya karena cintanya yang akan hilang.

*

"Udah, ya. Jangan nangis!"

Lagi lagi kalimat yang sama Alea berikan pada Wiyana.

Kesadaran Wiyana kembali, sejak tadi dia kembali ke masa lalu buruk itu.

Enggan mengulang masa suram itu kembali, Wiyana memilih bangkit dibantu Alea.

"Gue nggak mau nangis lagi," katanya penuh keyakinan.

Alea tersenyum senang melihat itu, Alea berhambur memeluk Wiyana guna menguatkan sahabatnya itu.

***