Rumah itu ada di tengah padatnya pepohonan, bahkan untuk masuk ke sana tak bisa sembarangan kendaraan. Sebab ujung dari jalan sunyi dengan pepohonan di samping kanan dan kiri adalah kediaman Haidar.
"Kenapa lewat sini, Ken? Apa rumahmu masih jauh? Kan, kita bisa naik angkot sampai ke dalem," kata Wiyana terheran heran.
Jujur saja dia lelah dan takut berjalan hanya berdua dengan Ken, di jalanan sepi itu. Walau jalannya bagus karena sudah aspal, tapi tetap saja. Tempat itu di kelilingi pepohonan yang begitu tinggi.
Dari ujung gerbang utama tadi juga terdapat pos satpam, entah apa maksudnya Wiyana tak tahu.
Di sisi kanan dan kiri sepanjang jalan terdapat gazebo berwarna coklat terang, sepertinya memang disengaja diletakkan di sana.
"Nggak bisa, Tente. Ini udah kawasan papa, nggak sembarangan kendaraan bisa masuk ke sini. Tante, liat kan di depan sana tadi ada gerbang tinggi?" tanya Ken, dia kembali mengingatkan pada Wiyana tentang gerbang besar di ujung sana.
Wiyana mengangguk dua kali, tentu saja dia ingat. Gerbang itu sangat besar, dengan bertuliskan kediaman Haidar Adityawarman. Wiyana agak ngeri sebenarnya, mengingat bagaimana Haidar yang sekarang sangat banyak berubah.
"Itu batasnya, di sini aman. Tante nggak perlu panik, sebentar lagi kita sampai. Tante lihat bangunan di depan sana?" Ken menunjuk ke depannya, di sana sudah terlihat bangunan dengan dinding berwarna putih gading.
"It––itu rumah kamu?" tanya Wiyana sedikit tidak yakin, sementara Ken menggeleng cepat, tanda kalau itu bukan rumahnya.
"Itu cuma tempat tinggal semua pekerja papa," jawab Ken sekenanya.
Wiyana mengangguk dua kali sebagai tanda kalau dia mengerti, Ken berjalan duluan. Diikuti oleh Wiyana, gadis itu terus celingak celinguk melihat ke setiap pohon yang dia lewati.
Tak perlu waktu lama, mereka sudah berhasil melewati rumah para pekerja Haidar. Tapi, masih belum sampai juga di rumah sang bos. Entahlah ada di mana rumah Haidar sebenarnya.
"Apa di sini nggak ada binatang buasnya?" tanya Wiyana mengutarakan isi hatinya, tentu saja dia khawatir di sana ada binatang buas. Sebab jalan yang mereka lewati seperti jalan menuju bahaya dari pada jalan menuju istana Haidar. Jalan itu malah tampak seperti hutan yang menyeramkan, walau saat itu masih siang.
"Ada!" jawab Ken cepat, sukses membuat Wiyana berlari mendekati Ken.
Semenjak Ken bilang di sana terdapat binatang buas, Wiyana tak henti hentinya melihat sekitar. Dia terlihat begitu waspada.
Ken menahan senyumnya agar tak mengembang, dia hanya bercanda soal binatang buas itu. Di sana tidak ada binatang liar, sebab walau konsep lingkungannya tampak seperti hutan. Tapi, Haidar sudah pastikan di sana tidak ada binatang liar.
"Kenapa papamu mau tinggal di sini, sih? Apa dia nggak bisa buat rumah di tempat yang wajar? Kenapa harus di hutan, sih?"
"Ck, Tante. Ini bukan hutan, ini tuh namanya tanaman," katanya kelewatan santai.
Wiyana membesarkan matanya, Ken bilang pepohonan lebat di sana adalah tanaman? Yang benar saja.
"Hah? Apa papamu bercocok tanam dengan pohon pohon sebanyak ini?"
Wajah Wiyana berkerut, dia bahkan menggeleng merasa tak habis pikir dengan ucapan bocah tampan itu.
"Ya, katanya sebanyak pohon yang dia tanam. Adalah hari harinya yang dia lewati tanpa cahaya yang seharusnya," ujar Ken terdengar tak jelas bagi Wiyana.
Apakah Ken baru saja membicarakan soal Haidar lagi, rasanya setiap bertemu dengan Ken. Pasti tak pernah sekali saja bocah itu tak membahas tentang Haidar, yang sangat berbeda dari Haidar yang Wiyana kenal.
Dari sana dia paham, kalau Haidar sudah benar benar berubah. Bahkan saat malam bertemu saat itu pun, Wiyana tak lagi menemukan kebahagiaan dan tatapan hangat dari ke dua netra abu abu Haidar.
"Kenapa, maksudku. Aku nggak paham."
Ken berhenti, maka Wiyana ikut berhenti. Tepat di depan mereka sudah terdapat lagi gerbang begitu tinggi, tapi bedanya gerbang ke dua ini lebih rendah dari pada gerbang yang pertama.
Di sana juga ada gazebo, ada dua di setiap sisi kanan dan kiri. Sebenarnya gazebo seperti itu sudah ada sejak beberapa meter sebelum sampai di gerbang ke dua. Wiyana tak memperhatikan itu, sebab dia hanya fokus pada Ken.
"Kenapa?" Wiyana bertanya, mengapa Ken berhenti di saat mereka hampir sampai.
"Tante, liat pohon kecil dengan pot di sudut sana!"
Ken menunjuk satu pohon yang tingginya sekitar tiga puluh senti masih di dalam pot, pohon itu adalah jenis yang sama dengan pohon di sepanjang jalan.
Wiyana mengikuti arah telunjuk Ken, dia mengangguk.
"Ya, itu pohon Pinus, kan? Eh...." Mata Wiyana membesar ketika dia ingat, bahwa pohon yang dia lewati sejak awal sampai akhir adalah pohon Pinus.
Bahkan untuk memastikannya lagi, dia menoleh ke belakang dan melihat sekelilingnya. Wiyana menutup mulutnya merasa tak yakin, bagaimana bisa pohon pohon itu sama semua.
"Ken, apa papamu yang menanam semua pohon Pinus itu?" tanya Wiyana masih dengan wajah tak percaya.
"Iya, semua pohon di sini papa yang tanam. Mulai dari ujung sana sampai sini, bahkan yang di dalam sana juga."
Semakin Ken bicara, maka Wiyana semakin membesarkan mulutnya sebab tak yakin dengan ucapan bocah itu.
"Kenapa, apa papamu nggak punya kerjaan lain selain tanemin pohon Pinus di sepanjang jalan. Bahkan di sana juga," ungkapnya.
Ken mengangkat ke dua bahunya sebagai tanda kalau dia tidak tahu, yang Ken tahu papanya itu setiap hari tak pernah lupa untuk menanam pohon Pinus baru. Dan, ketika senja Haidar akan membawa bibit Pinus ke luar. Jadilah, pohon pohon yang dulunya hanya bibit tumbuh besar dan gagah.
Menjulang tinggi di atas sana.
"Sebenarnya cahaya apa yang nggak diinginkan sama papamu, Ken? Apa setiap hari dia hidup dengan cahaya itu?"
Ken mengangguk, untuk pertanyaan pertama. Tentang cahaya itu, Ken tidak tahu. Sebab papanya tidak pernah buka mulut tentang itu.
"Ada berapa banyak pohon di sini?"
"Sejauh ini kalau nggak salah, aku pernah liat di catatan jumlah pohon papa cuma baru ada 4.380 pohon," katanya kelewatan santai.
Sementara Wiyana membesarkan matanya mendengar jumlah pohon Pinus yang Haidar tanam sebanyak itu.
"Apa dia tanam sendiri?"
"Ya, bahkan sebelum aku ada. Papa udah tanaman pohon pohon ini, dan waktu kami pindah ke sini. Pohon di sini memang udah banyak, Tan. Walau nggak setinggi sekarang."
Wiyana menutup mulutnya merasa tak yakin, dia berusaha untuk membayangkan bagaimana Haidar merawat pohon pohon itu agar tumbuh setinggi sekarang.
Sibuk dengan urusannya sendiri, sampai Wiyana tak sadar kalau gerbang hitam menjulang di depan mereka sudah berbuka lebar.
"Tante, ayo!" ajak Ken.
Wiyana tersadar, dia mengangguk cepat. Tapi, sebelum kakinya benar benar masuk, dia melihat ke dalam gerbang. Lagi lagi matanya mendelik melihat halaman dengan air mancur di depan sana.
Dindingnya terbuat dari kaca, ada hanya di beberapa bagian saja yang berdinding tembok.
Wiyana terus melongo, dia bahkan lupa untuk kembali menutup mulutnya. Ken hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat respon Wiyana yang sangat berlebihan menurutnya, malas berlama lama. Ken berjalan duluan.
Walau kesadarannya masih belum kembali dan mulut masih menganga lebar. Wiyana tahu Ken sudah masuk, maka. Dia juga ikut berjalan masuk dengan sempoyongan.
***