Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 18 - Lebih Menakutkan dari Rumah Hantu

Chapter 18 - Lebih Menakutkan dari Rumah Hantu

Kembali canggung tak menentu, mereka kini tampak berdiri di ruang tengah.

"Ini sudah malam, kalau begitu saya permisi pul––"

"Iya, kamu memang harus pulang. Pulanglah!" potong Haidar tak memberikan Wiyana kesempatan untuk bicara banyak.

Wiyana yang malang, dia harus bisa terbiasa dengan sikap Haidar yang sekarang. Sungguh jika saja Wiyana punya sedikit nyali, dia ingin berteriak di depan wajah Haidar dan memaki pria tampan itu.

Kenapa setelah dua belas tahun tak jumpa, Haidar menjadi sangat angkuh. Jika, boleh jujur. Lebih baik Wiyana tidak pernah bertemu lagi dengan Haidar, dari pada kembali bertemu. Tapi, malah menemukan Haidar dengan versi baru yang super menyebalkan.

Yang mana itu adalah sosok Haidar yang amat sangat tak Wiyana suka.

"Iya, saya memang mau pulang."

Haidar mengangguk, tanpa aba aba di pergi dari sana menuju lantai atas. Wiyana melongo melihat pria satu itu.

"Apa dia nggak bisa berinisiatif buat anter gitu?" gumamnya dengan mata masih sibuk melirik Haidar yang semakin jauh ke anak tangga.

"Jangan harapkan itu, Tante."

"Apa, apa nggak mengantarkan seorang gadis pulang juga kebisaan papamu?"

"Sayangnya begitu, papa nggak akan antar Tante sampai ke rumah kecil, Tante. Soalnya halaman rumah, Tante. Becek, jadi. Papa nggak suka," kata Ken sekenanya. Sejauh dia tahu, itulah Haidar.

"Apa kalau jalan di depan kontrakan becek itu salahku? Hah? Astaga  ... apa aku harus aspal dulu jalannya baru dia mau anter aku pulang? Kenapa dia menjengkelkan, sialan itu!" gerutu Wiyana kesal dengan gigi giginya yang berlaga.

Ken tersenyum kecil melihat respon Wiyana, wajar saja Wiyana seperti itu. Dia belum mengenal Haidar, siapa pun yang tahu kebiasaan kebiasaan aneh Haidar. Pasti juga akan bereaksi sama seperti Wiyana.

"Masih ada aku, Tan. Aku bakal anter, Tante. Pulang sampai selamat," kata Ken menawarkan diri.

Wiyana menunduk melihat Ken yang jauh lebih pendek darinya, Wiyana menghela napas panjang. Tak lama setelahnya dia menggeleng lesuh.

"Nggak usah, Ken. Kamu masih kecil, aku bisa pulang sendiri. Setelah ini kamu tidur yang nyenyak, ya!" pesan Wiyana sembari mengusap puncak kepala Ken lembut.

Ken mendongak dengan wajah berkerut, gadis itu menolak dirinya.

"Tapi, Tan. Di sana...."

"Nggakpapa, aku lebih khawatir sama kamu. Oh, iya. Jangan lupa sebelum tidur minum obatnya, oke?"

"Jangan sering pergi dari rumah tanpa pengawasan orang dewasa, ya! Kamu masih kecil, nanti kalau kenapa kenapa gimana?" tambahkan layaknya seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Wiyana terus mengoceh memberikan nasihat demi nasihat pada Ken.

Tak lupa dia mengusap pipi Ken sesekali tangannya juga naik ke puncak kepala Ken, jujur saja. Ken tak pernah mendapatkan perhatian manis seperti itu dari mama maupun papanya, dan. Kini ketika dia mendapatkan perhatian kecil malah dari orang asing seperti Wiyana.

Mendadak Ken merasa aneh, mungkin saja karena dia tidak terbiasa. Walau rasanya aneh, tapi Ken tak bisa pungkiri kalau dia suka dengan setiap sentuhan lembut Wiyana yang gadis itu berikan.

"Oke, inget kataku tadi! Jangan lewatkan apa pun yang aku katakan! Aku pulang dulu, ya!"

Sangkingkan lamanya Ken melamun terpana dengan perhatian serta senyum manis Wiyana, Ken sampai tak sadar kalau Wiyana bicara banyak padanya.

Dan, Ken sepenuhnya tak ingat apa yang baru saja Wiyana katakan padanya.

"Aku permisi, ya. Bye, Ken!" Wiyana pergi dari sana dengan melambaikan tangannya sekali.

Ken masih terpaku di tempatnya, dia hampir ingin mengejar Wiyana. Sebab Ken tahu Wiyana pasti takut, karena jalanan di luar sebelum keluar gerbang utama jalanan di kelilingi oleh ribuan pohon Pinus.

"Saat malam kebun Pinus papa gelap, apa dia nggak takut?" tanya Ken pada dirinya sendiri.

Sementara Ken masih memikirkan Wiyana, gadis yang Ken pikirkan baru saja keluar dari gerbang ke dua. Kini Wiyana benar benar sampai pada jalanan yang harus dia lewati dengan ribuan nyali.

"Jarak dari sini sampai ke gerbang utama satu kilometer, dan sepanjang jalan gelapnya kayak goa. Tolong, Tuhan. Jaga nyawa hamba sampai beberapa menit ke depan setelah ke luar dari jalan setan ini," gumam Wiyana sembari memegangi dadanya.

Jantung Wiyana terpacu cepat, dia merogoh sakunya. Mengelurkan ponsel lalu menghidupkan senter, ponselnya masih dalam mode silent. Wiyana masih saja tak sadar kalau ada puluhan panggilan dari teman temannya.

"Ayo, Wi. Kamu pasti bisa, kamu bisa, kamu bisa, kamu aaaaaaaa," teriaknya menggelegar saat ada sesuatu yang jatuh ke kakinya.

Wiyana memenjamkan matanya, napas gadis itu tersengal sengal padahal dia belum mulai berjalan. Tapi, alih alih berjalan. Wiyana malah memejamkan matanya karena tak berani melihat sekitar.

"Itu apa? Jangan bilang itu hantu!" serunya tak jelas.

Kening bercucuran keringat, tangannya yang memengang ponsel bergetar. Kaki berlapis celana jeans itu juga sudah mati rasa, perlahan Wiyana membuka matanya mengintip ke bawah kaki dan mengarahkan senternya ke bawah sana.

"Yakkkk, ternyata cuma ranting."

Kesal? Tentu saja, Wiyana takut tanpa alasan. Padahal itu hanya ranting pohon, tapi wajar saja dia takut. Sebab suasana di sana tak mendukung untuk membangkitkan keberanian gadis itu.

"Apaan, sih. Norak banget, itu cuma daon kali. Wi, lo jangan jadi penaku––"

Krek....

Mendadak terdengar suara patah dari belakangnya, Wiyana mendelik. Tanpa mau berbalik terlebih dahulu, Wiyana langsung lari terbirit birit dengan senter ponselnya yang bergerak ke sana dan ke sini.

"Jangan takuttttt goblokkkkkk!" teriaknya pada diri sendiri.

Walau sudah berteriak jangan takut, tetap saja Wiyana takut. Untung jalan di sana aspal, jadi tak ada bebatuan yang akan membuat Wiyana jatuh karena dia berlari secepat kilat tanpa mau melihat lihat jalan terlebih dahulu.

"Mama, tolong, tolong ...."

Sudah tahu napasnya terputus putus karena lelah berlari, Wiyana terus saja berceloteh tak jelas semakin membuat napasnya tak beraturan. Jujur di saat saat begini Wiyana jadi merindukan tempat tidurnya yang nyaman.

"Yakkk dikit lagi," serunya dengan semangat empat lima. Betapa bahagianya Wiyana ketika melihat gerbang di sana dan ada lampu jalan jadi cahaya bisa sedikit menghilangkan rasa takutnya.

Begitu sampai di gerbang utama, Wiyana langsung berhenti. Dia membungkuk dengan bertopang pada lutut, mengatur napas yang rasanya sangat menyiksa.

"Apa, Nona. Baik baik saja?" tanya seorang pria dengan baju serba hitam, di sisi kiri telinganya terdapat earphone bluetooth. Mungkin dia salah satu anak buah Haidar yang bertugas di gerbang utama.

"Saya hampir menjelang ajal, tolong air...." pintanya amat pelan.

Dengan sigap anak buah Haidar membiarkan Wiyana minum, di sana tepat di samping gerbang ada pos yang mana itu adalah tempat bagi orang yang bertugas menjaga gerbang.

Mendapatkan air, gadis dengan keringat di sekujur tubuhnya itu langsung menenguk sampai tandas.

"Terima kasih."

"Sama sama."

Salah satu anak buah Haidar membukakan gerbang cepat, dia tentu tahu kalau Wiyana akan pulang.

"Ngomong ngomong jalanan di sana jauh lebih seram dari rumah hantu," ungkapnya tanpa ragu.

"Bos kalian juga lebih serem dari hantu, dan lebih kejam dari nenek sihir. Ah, iya. Mungkin dia kakek sihir."

"Wiyana!"

Mendengar namanya disebut Wiyana langsung menoleh ke arah orang itu, matanya membesar sedikit tidak yakin.

***