Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 21 - Bocah Bocah yang Nakal

Chapter 21 - Bocah Bocah yang Nakal

Semua pasang mata tertuju padanya begitu ia memasuki ruang rapat, tak lupa mereka para bawahan berdiri dan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat pada sang bos.

Alih alih ikut menundukkan tubuh, Haidar malah duduk dengan santainya.

"Mari kita mulai!" katanya memerintah, dengan itu maka semua karyawan turut duduk kembali.

Belum Haidar membuka sesi awal dalam rapat pada hari ini, mendadak ada jiwa konyol yang sangat berani membuka pintu kaca berat itu.

Tak ada yang berani menyuruh orang itu untuk kembali keluar, mereka malah menunduk dan ada yang melirik Haidar diam diam.

Semua yang ada di sana sudah tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi, pasti Haidar tak akan segan untuk menyuruh orang tersebut agar keluar.

"Tolong ke luar, Pa! Saya sedang rapat, apa Papa tidak bisa melihat?"

Ya, dia adalah Beni––papa kandung Haidar yang dulu memegang kantor yang kini posisinya diduduki oleh Haidar.

Beni pria berusia hampir enam puluh tahun itu segaja pensiun sebab ia ingin Haidar yang mengambil ahli segala pekerjaannya, jarang jarang Beni datang ke sana. Dan, pasti ada alasan besar yang membawa pria tua itu ke sana.

"Ini masalah penting," kata Beni tanpa gentar.

"Apakah itu lebih penting dari pada waktu yang akan saya habiskan?"

Pria paruh baya itu menarik napas panjang berusaha sabar, sulit sebenarnya pura pura sabar menghadapi putranya yang seperti tak punya hati itu.

Ucapan Haidar sangat ketus pada semua orang, bahkan orang tuanya sendiri. Namun, Beni tak keberatan. Sebab dia tahu apa yang sudah putranya lewati selama ini.

"Ini tentang Ken," pungkas Beni.

Pada akhirnya Haidar memberikan lirikan garang pada sang papa, Beni sangat pintar mencari topik yang akan langsung membuat Haidar mendengarkan dirinya.

Bersamaan helaan napasnya yang panjang, Haidar lebih dulu meninggalkan ruang rapat.

Begitu pula Beni mengerok di belakang putranya, Haidar tak mencari tempat pembicaraan yang sunyi. Dia hanya keluar beberapa langkah dari ruang rapat itu.

"Katakan!"

"Apa benar, kamu melarang Dinda untuk menemui Ken?"

Mendengar nama Dinda mendadak wajah Haidar datar, sedatar lantai yang mereka pijaki.

"Apa dia mengadu pada, Papa?"

"Tidak," kilah Beni tanpa pikir panjang.

Haidar berbalik, siap untuk kembali masuk ke ruang di mana dia harus memberikan arahan pada karyawannya.

Tapi, sebelum pergi Haidar mengatakan.

"Ken akan jauh lebih baik jika dia tidak bertemu lagi dengan wanita yang sudah meninggalkan dirinya itu sejak kecil."

"Tapi, kamu tidak bisa berbuat seperti itu, Haidar! Bagaimana pun juga Dinda adalah mamanya Ken, mereka memiliki hubungan darah," balas Beni agak keras.

"Itu adalah sebuah hubungan yang saya sayangkan, tapi hanya karena hubungan darah tidak juga bisa membuat wanita itu berbuat seenaknya pada putra saya. Jangan bahas ini lagi, kalau Papa masih anggap dia sebagai membatu yang baik, maka nikmatilah kebohongan itu sampai akhir," ungkapnya menggebu gebu.

Entahlah, tapi setiap kali nama Dinda disebutkan dalam perbincangan. Maka, secara otomatis akan menimbulkan kekesalan dalam diri Haidar.

Tak mau memperpanjang topik tentang Dinda lagi, Haidar akhirnya yang lebih dulu menarik diri dari perbincangan menyebalkan itu.

***

Siang itu, tepat pada saat jadwal pulang semua siswa siswi sekolah dasar.

Harusnya menjadi hal yang membahagiakan bagi semuanya, tapi hal itu tak berlaku pada Ken.

Alih alih pulang, Ken yang pada saat itu sedang menunggu sopirnya malah diganggu oleh teman temannya yang membenci dirinya.

"Dasar pecundang!"

Ken cukup terkejut sebab kini perbuatan mereka sangat keterlaluan, baju Ken kotor sebab diserang dengan tepung dan telur. Bau tak sedap menganggu penciumannya.

"Ayo balas, apakah kamu hanya akan diam sampai akhir?" tantang si bocah bertubuh gempal itu.

Ken hanya menunduk dalam, dia sedang menahan diri agar tak terpancing.

Tapi, perlakuan bocah bocah yang merundung dirinya semakin tak wajar. Mereka mendorong Ken sampai bocah malang itu jatuh.

Sayangnya tak ada yang menyaksikan adegan tersebut, mereka sudah cukup jauh dari sekolah dan siang itu di taman tempat biasa Ken menunggu sopir sedang sangatlah sepi.

"Lemah!"

"Pecundang!"

"Anak yang tidak disayang orang tuanya memang akan lemah!"

Begitulah ejek demi ejekan yang menghiasi siang harinya, Ken hampir menangis.

Napasnya memburu, dia tak tahan lagi. Semakin ia diam semakin mereka menindas dirinya.

"Orang tuanya bercerai, dia pasti kekurangan kasih sayang," ejak salah satu dari tiganya.

Di sanalah emosi Ken sampai pada puncaknya, Ken bangkit. Dia sudah siap melayangkan tangannya ke udara. Siap memukul wajah bocah sialan yang mambawa bawa keluarganya yang hancur.

Tetapi, pukulan itu tak sampai sebab tiba tiba ada yang mencegah Ken melakukan kejahatan dengan memeluk tubuh kecilnya dari depan.

Kepalanya yang bau dan kotor tak wanita itu pedulikan, dia hanya ingin menguatkan Ken.

"Jangan, Ken! Tetap tenang dan diam, nggak membuat kamu lemah. Tetap diam dan menahan diri jauh lebih baik dari pada memukuli mereka, orang tuamu bercerai bukan suatu masalah yang besar. Mereka tetap orang tuamu, kamu memiliki papa dan mama yang lengkap, oke?"

Suara itu sangat lembut menyapa gendang telinga Ken, detik itu juga tangisnya tak terbendung.

Tidak, Ken menangis bukan karena dia sedih dirundung setiap saat. Tapi, dia terharu karena mendapatkan perlakuan manis dari wanita asing yang berhasil mengambil hatinya.

"Tante Bodoh?"

Wiyana mengangguk, dia mengusap lembut rambut basah Ken.

"Jangan membalas kejahatan dengan kekerasan, Ken! Mereka yang merundung kamu hanya iri padamu," ucap Wiyana lagi.

Tak henti hentinya Wiyana mengucapkan kalimat kalimat penenang untuk Ken, hatinya sakit melihat bagaimana Ken diperlukan begitu buruk oleh anak seusia bocah itu.

Setelah dirasa sudah cukup, Wiyana melepaskan pelukan mereka. Dia menghapus jejak air mata Ken.

Bibirnya menyunggingkan senyum manis, seakan memberitahu Ken kalau semuanya akan baik baik saja.

"Kamu boleh menangis, tapi nggak boleh lama. Keluarkan semua rasa sesak di dada kamu melalui air mata, ya. Jangan ditahan!" ucapnya sembari menyentuh dada sebelah kiri Ken.

Ken mengangguk antusias, dia bersyukur ada Wiyana yang mengerti dirinya.

"Bagus, bocah pinter!" serunya lagi seakan bangga pada Ken itu.

"Dan kalian...."

Wiyana berbalik, diliriknya garang tiga bocah menyebalkan yang sudah menganggu Ken tadi.

"Apa yang kalian dapatkan setelah memerlukan teman kalian seperti ini?" ketusnya dengan mata yang membesar, berbanding terbalik saat tadi ia bicara dengan Ken.

Seperti seorang ibu yang anaknya disakiti, Wiyana bertolak pinggang menantikan jawaban mereka.

"Kami senang, dia sangat lemah. Tidak pernah membalas," sungut yang bertubuh gempal.

Wiyana sedikit membungkukkan tubuhnya, menyamakan tingginya dengan bocah itu. Lantas dia menyentil pelan kening yang bertubuh gempal.

"Dengar, ya! Kalian ini masih anak kecil, sekarang saja perlakukan kalian sangat buruk. Lalu, besarnya mau jadi apa?" omel gadis itu.

"Salahkan dia yang tidak pernah membalas, dia juga tidak pernah menangis atau mengadu pada orang tuanya. Itu karena dia anak yang kekurangan kasih sayang."

Wiyana terdiam mendengarnya, entah bagaimana bisa bocah sekecil itu bicara seburuk itu.

***