Napas Allard memburu begitu dia keluar dari mobilnya, kini dia sampai di jalan Pondok Putih tempat di mana penculikan para gadis terjadi sejak beberapa hari lalu.
Matanya menyoroti jalanan dengan tajam, jarak TKP dengan gerbang tinggi di mana Wiyana pernah keluar tidak terlalu jauh.
"Apa sebenarnya yang Wiyana lakukan di balik gerbang itu?" tanya Allard.
Jujur saja sejak malam di mana mereka terakhir bertemu, Wiyana tidak mengatakan apa apa sampai akhir. Dan, sialnya kasus kasus yang dia tangani berhubungan dengan jalan di mana rumah Haidar berada.
Tanpa pikir panjang, Allard mendekati gerbang tinggi menjulang itu. Dahinya berkerut sepanjang perjalanan, dilihat sisi kiri dan kanan hanya ada pohon Pinus yang menjulang tinggi.
Bak sebuah jalan menuju dunia lain, gerbang itu diapit di tengah pepohonan.
Semakin lama Allard semakin dekat, dan dia berhenti tepat di depan gerbang. Di masing masing sisi gerbang terdapat pilar hitam yang sama tinggi dengan gerbang.
Di pilar kanan tampak jelas bertuliskan 'Kediaman Haidar Adityawarman'
"Haidar?" gumam Allard, dia merasa seperti tak asing dengan nama itu.
Buru buru dia membuka ponsel, mengetikkan nama Haidar di situs pencarian. Dan, hanya dalam hitungan detik banyak artikel bermunculan yang membahas tentang Haidar sang pengusaha sukses.
"Jadi, ini kediamannya. Apa mungkin pria dengan muka sedatar ini jadi pelaku penculikan?"
Katakanlah Allard gila karena sempat berpikir kalau Haidar adalah pelaku yang kini sedang dia dan timnya kejar kejar, sembari memandangi potret Haidar.
Lama berdiam di sana lantas Allard menggeleng karena merasa itu sebuah hal yang mustahil, dia kembali memasukkan ponselnya ke saku.
Dilihatnya sekali lagi gerbang tinggi itu sampai mendongak.
"Tapi, gue tetap harus mantau. Cuma ada rumahnya di sini."
Entah bagaimana, Allard rasanya sangat ingin masuk ke dalam dan mengecek apa isi di balik gerbang. Tapi, sayang dia tak sedang bertugas dan membawa surat izin untuk mengeledah rumah seseorang.
Jika, dia nekad masuk dan mencari bukti di dalam sana. Yang ada Allard hanya akan menciptakan masalah.
"Ah, iya. Gue sampai lupa, Wiyana, gue harus kasih tau tuh cewek keras kepala," kata Allard teringat kembali dengan tujuan awalnya.
Awalnya ia tak langsung menghubungi Wiyana, Allard memilih untuk melacak keberadaan Wiyana terlebih dahulu.
Setelah tahu di mana titik gadis itu, betapa terkejutnya Allard sebab Wiyana tepat ada di jalan yang sama dengannya.
"Astaga," latahnya kaget.
Sontak saja Allard langsung celingak celinguk melihat sekitar dengan seksama, siapa tahu dia akan bisa menemukan Wiyana.
Detik itu juga Allard langsung berlari ke sana dan ke sini tak satu pun tempat dari jalan Pondok Putih itu ada yang ia lewatkan.
***
"Ken, mau makan?"
Yang ditanya malah menggeleng, bocah itu masih saja murung. Hanya itu yang Ken lakukan sejak beberapa jam setelah sampai di rumah.
Wiyana menghela napas panjang, dia ikut duduk di samping Ken. Sedikit menunduk guna melihat ekspresi Ken.
Masih tak jauh beda, bocah itu terus menahan tangisnya.
"Apa yang paling kamu rindukan sekarang?" tanya Wiyana lembut.
Mendengar pertanyaan sederhana itu, Ken sontak mendongak. Wiyana tersenyum manis, menunjukkan pada Ken kalau semuanya masih baik baik saja.
"Mama."
Senyum Wiyana sontak menghilang dari wajah cantiknya, mama kata Ken. Itu artinya Dinda, wanita itu juga teman sekelasnya di waktu SMA dulu.
Wiyana menelan ludahnya, dia menunduk guna menyembunyikan kegugupannya.
"Aku kagen mama, kagen mama."
Ken terus mengulang ngulang kalimat itu, Wiyana hampir saja membuka mulutnya untuk menjawab Ken.
Tapi, sudah lebih dulu disela oleh seseorang yang baru muncul dan segaja menyela agar pembicaraan seputar Dinda berhenti sampai di sana.
"Kamu pilih papa atau mamamu?"
Dia adalah Haidar, Wiyana dan Ken berbalik. Di ambang pintu sudah berdiri tegak Haidar dengan setelah kantor yang amat rapi bahkan walau sore sudah menjelang.
"Hey, kenapa kamu memberikan pilihan seperti itu?" sungut Wiyana tak mau tinggal diam, yang benar saja.
Memilih antara papa dan mama adalah pilihan yang pastinya sangat sulit untuk bocah seukuran Ken.
"Jawab Papa, Ken!" tegas Haidar.
Ken yang malang, dia tak kuasa menatap ke mata tegas papanya. Maka dengan berat hati, dia kembali menunduk.
Bibirnya yang bergetar menjawab dengan ragu.
"Papa...." katanya pelan.
Mungkin Ken bisa berbohong, tapi nada suara dan gelagatnya sudah cukup untuk menguak kebohongannya.
"Naiklah ke kamarmu!"
Ken tak banyak tingkah, mendapatkan perintah seperti itu. Ia pun langsung naik ke lantai dua di mana kamarnya berada.
Tinggal Haidar dan Wiyana, tatapan mereka bertemu. Hanya bertahan beberapa detik, sebab tak lama setelahnya Wiyana memutuskan untuk membuang muka terlebih dahulu.
"Apa kamu sudah memutuskan?" tanya Haidar, dia tahu Wiyana tahu apa yang dirinya maksud.
"Saya––"
"Tidak usah berpikir panjang, saya akan berikan gaji tiga kali lipat lebih besar pada kamu dari pada para karyawan saya di perusahaan," selanya semakin meyakinkan.
Haidar pikir Wiyana bimbang karena masalah gaji, jika hanya karena uang. Haidar sanggup memberikan gaji sesuai yang Wiyana pinta.
Jika saja pria yang menawarkan itu bukan Haidar, pasti Wiyana akan melompat kegirangan. Tapi, sayang. Karena masih diselimuti perasaan kesal dan dongkol pada Haidar.
Terpaksa Wiyana harus tetap diam dan terlihat tenang.
"Apa kamu tidak bisa mendengarkan perkataan saya dahulu sebelum menyelanya?"
Wiyana tak tahan lagi untuk diam, Haidar sangat pandai memancing dirinya.
"Kamu terlalu lambat," cercanya.
"Baiklah, saya akan bekerja sebagai pengasuh Ken. Tapi, saya memiliki syarat."
Satu alis Haidar terangkat, pekerja macam apa yang memberikan syarat pada calon bosnya.
"Katakan."
"Kamu tidak boleh protes dan ikut campur dengan apa yang nantinya akan saya lakukan pada Ken," katanya lugas tak gentar membalas tatapan Haidar.
"Apa kamu berniat merubah prinsip yang sudah saya tanamkan dalam diri Ken?"
Wiyana menggeleng, dia mengalihkan tatapannya. Matanya mulai berair karena menatap Haidar dalam jangka waktu yang cukup lama baginya.
"Saya hanya ingin sedikit memperbaikinya, saya berjanji tidak akan merusak apa yang sudah kamu bangun sejak lama."
"Baiklah," ucap Haidar sepakat.
Dia menjauh dua langkah, ingin meninggalkan Wiyana. Tapi, pertanyaan Wiyana yang terakhir sukses mengentikan langkah lebar pria tampan itu.
"Di mana mamanya Ken?"
Wajah Haidar sontak datar, sedatar datarnya. Tak ada ekspresi apa pun yang ia tunjukkan, diam diam Haidar mengusap jam tangannya tanpa sepengetahuan siapa pun.
Pergerakan pria itu sangat hati hati, entah ada apa. Tapi, setiap kali Haidar ingin marah, dan jika ia menyentuh jam yang sudah lama melingkar di pergelangannya.
Perasaan Haidar sedikit bisa dikendalikan, detik berikutnya Haidar berbalik.
"Kenapa kamu ingin tau?"
"Karena saya tidak pernah melihatnya."
Haidar tersenyum kecut, dia kembali berbalik. Tak lupa Haidar merogoh sesuatu dari saku jasnya, dan setelahnya dia lemparkan secarik keras itu pada Wiyana.
Wiyana sigap menangkapnya walau tak paham.
"Kertas apa ini?"
***