"Tolong temani Ken makan siang, ya. Pak."
Haidar menarik napas, menahan diri agar tak mengumpati Wiyana sialan itu.
Melihat layarnya dipenuhi wajah tengil gadis itu, Haidar memutuskan untuk meletakkan ponselnya di atas meja.
Dan, secara otomatis kameranya akan mengarah pada langit langit ruang kerjanya. Wiyana cemberut sebab tak bisa lagi memandangi wajah tampan Haidar.
"Kamu pikir saya tidak punya kerjaan lain?"
Hanya suara yang kini tersisa, tapi Wiyana tak tahu saja. Kalau di tempatnya, Haidar tak bisa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Ya, Haidar sedang melihat wajah Wiyana sembari berpikir keras.
"Sekarang sedang jam makan siang, Pak. Saya tidak minta banyak, lagi pula ini demi Ken."
"Saya tidak bisa pulang, itu hanya akan membuang buang waktu pulang pergi."
Penolakan Haidar membuat Wiyana gemas, Wiyana pikir Haidar tak sedang melihat dirinya.
Wiyana mengangkat tangannya ke layar, berlagak ingin memukul Haidar itu.
Sementara di tempatnya, Haidar hanya bisa geleng geleng melihat tingkah random pengasuh putranya.
"Kamu mau memukul saya rupanya?"
Pupil Wiyana langsung membesar, bodoh! Kenapa dia bisa sangat yakin kalau Haidar tak sedang mengawasi dirinya.
Terpaksa Wiyana kembali menurunkan tangannya, dia semakin mendekatkan wajahnya ke layar ponsel.
Tersenyum manis, agar Haidar tak salah paham.
Tapi, alih alih tak salah paham. Haidar malah ingin muntah melihat ekspresi sok imut Wiyana.
"Jauhkan wajahmu dari layar, itu sangat menyeramkan."
"Shitttt, sangat menjengkelkan sekali."
Ken cekikikan melihat ekspresi kesal Wiyana, dia sedikit terhibur dengan itu.
"Pak, Ken sedang demam. Luka di tangannya kembali infeksi, kalau seandainya pekerjaan Bapak bisa selesai cepat. Saya mohon, pulanglah lebih awal," pinta Wiyana lembut.
Terlepas dari kekonyolannya, Wiyana adalah gadis yang baik. Dia melirik Ken yang sibuk makan dengan hati hati karena telapak kanan bocah itu bengkak.
"Tidak bisa, ada pertemuan dengan klien setelah ini," aku Haidar apa adanya.
Wiyana menghela napas pasrah, tidak ada lagi kesempatan untuk Ken bisa makan siang dengan papanya.
Bahkan di saat Ken sakit pun, Haidar tak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Lama ke duanya diam, hingga tak lama kemudian terdengar suara grasak-grusuk dari seberang. Wiyana pikir itu adalah karyawan Haidar yang datang.
Hampir saja Wiyana mematikan sambungan mereka, tapi dia tahan dan betapa senangnya gadis itu ketika asisten Haidar mengatakan.
"Maaf, Pak. Klien yang ingin mengadakan pertemuan hari ini membatalkan pertemuannya, katanya anaknya sedang jatuh sakit. Dia bilang, akan segara mencari waktu yang tepat untuk kembali mengatur pertemuan dengan perusahaan kita," cakap sang asisten.
"KYAAAAAA!!!" teriak Wiyana kegirangan.
Sangking senang gadis itu sampai naik ke atas kursi, lantas melompat lompat tak jelas.
Ken yang tadinya ikut senang mendadak panik, takut Wiyana jatuh. Haidar sendiri refleks mengecilkan volumenya, dia mendengkus mendengar teriakkan melengking itu.
"Apa apaan kam––"
"Aaaaaaaa!"
Bruk!
Suara orang jatuh terdengar begitu renyah dari seberang, Haidar menaikkan ke dua alisnya.
Cepat cepat dia kembali mengarahkan ponselnya ke wajahnya, ingin melihat lebih jelas apa yang terjadi.
Tapi, sayang hanya langit langit ruang makan yang ia lihat.
"Tente, Tante nggakpapa?" panik Ken, dia hampiri Wiyana yang tengah terlentang di lantai marmer dingin ruang makan dengan mata membesar tanpa kedip.
Ke dua tangannya berada di atas kepalanya, rambut gadis itu berantakan sebagian menutupi wajah manisnya.
"Tente?" Ken menggoyangkan lengan Wiyana agak keras, dia khawatir karena Wiyana tak juga memberikan respons yang berarti.
"Ken apa yang terjadi?" tanya Haidar menarik perhatian Ken.
Ken langsung mengambil ponsel Haidar, dan mengarahkan kameranya pada Wiyana yang masih kaku tak berkutik.
"Dia kenapa? Kenapa tidak bisa tenang sehari saja?"
"Pa, tante Bodoh jatuh dari kursi. Tadi dia melompat lompat kegirangan," adu Ken.
Mendengar itu Haidar memijat pelipisnya, dia pejamkan matanya berusaha sabar dengan Wiyana.
"Baiklah, Papa pulang sekarang. Buat dia segera sadar sebelum Papa sampai di rumah, atau Papa akan siram wajahnya yang tengil dengan air," gerutu Haidar sembari bangkit dan kembali memakai jasnya.
Ken cekikikan mendengar itu, setelah panggilan mereka terputus. Ken kembali melihat Wiyana, Ken meringis menyaksikan Wiyana tak berkedip sedikit pun.
"Tan––"
"Apa papamu dalam perjalanan pulang?" sela Wiyana sudah bicara normal, tapi masih tak bergerak.
Ken mengangguk, maka Wiyana langsung mengedip ngedipkan matanya berulang kali.
Matanya perih karena dia menahan diri untuk berkedip, Ken melongo begitu Wiyana kembali duduk dengan sangat cepat seperti tak merasakan sakit apa pun padahal dia baru saja jatuh.
Ken, yakin pasti sakit jatuh dari atas kursi ke bawah lantai tadi.
Gadis itu merenggangkan otot otot tangannya, terdengar suara tulang dari pergerakan itu.
Setelahnya Wiyana menatap Ken, dia tersenyum dan mencubit pelan ujung hidung Ken dengan gemas.
"Tadi cuma iklan," ucap Wiyana kelewatan santai.
Dengan entengnya gadis itu malah duduk kembali, sementara beberapa saat lalu dia telah membuat jantung Ken hampir copot.
"Tante beneran nggakpapa?"
Ken mendekati Wiyana, dilihatnya Wiyana dari atas sampai bawah. Wiyana menoleh, dia mengangguk lalu mengibaskan rambutnya dengan bangga.
"Iya, nggakpapa. Tadi, cuma ekting dong supaya papa kamu langsung pulang. Dia nggak mungkin, kan. Biarin salah satu pekerjanya mati di rumahnya yang serba kaca ini?"
Wiyana menaik turunkan alisnya, dia terlihat bangga karena berhasil mengalabuhi Haidar sekaligus Ken.
Ken hanya bisa geleng geleng melihat Wiyana, tapi dia senang. Dan, baru bisa tertawa renyah padahal pertunjukan sudah selesai.
***
Ken dan Wiyana tersenyum senyum tak jelas melihat siapa yang kini tengah duduk di depan mereka.
Makanan yang Wiyana masak sudah dingin karena dua orang itu sibuk memandangi Haidar, layaknya pria itu pajangan.
"Mau makan atau lihat saya?" cibir Haidar sembari melirik tak minat pada Wiyana.
Wiyana yang ditegur malah tersenyum malu malu, Ken sendiri menyembunyikan kegembiraannya dengan menyuapkan makanan ke mulut dengan cepat.
"Makan, Pa!" seru Ken penuh semangat.
Wiyana mengusap puncak kepala Ken sayang, dia senang jika Ken kembali ceria seperti itu.
Haidar harus akui dia sangat menyesal karena memilih pulang, ternyata Wiyana sialan itu sedang bercanda dengannya.
"Lain kali jangan seperti itu, Wiyana!" tegur Haidar.
Wiyana memberikan hormat pada Haidar, dan berseru "siap!"
Wiyana bangkit, dengan senang hati dia mengambilnya nasi serta lauk pauk untuk Haidar padahal pria itu tidak meminta.
Haidar menyaksikan Wiyana dalam diam, bibir gadis itu masih menyunggingkan senyum manis sama seperti saat pertama kali Haidar kembali.
Entah apa yang membuatnya begitu gembira, kadang Haidar ingin bertanya. Tapi, gengsinya lebih besar dari pada rasa penasarannya.
Begitu piringnya sudah penuh dengan makanan, Wiyana kembali meletakkan di depan Haidar.
"Kamu pengasuh Ken, bukan pengusaha saya. Tidak perlu begini seharusnya, saya bisa lakukan sendiri," protes pria tampan itu.
Wiyana tak mau ambil pusing, dia kembali mendekati Ken dan duduk di mana dia seharusnya.
"Kamu dengar saya tidak?"
"Ustttt!" seru Wiyana seenaknya jidatnya.
Haidar ingin sekali rasanya menimpuk Wiyana dengan garpu.
"Saya sedang bicara dengan kamu, Wiyana!"
"Pak, di meja makan tidak boleh bicara. Ingat siapa yang membuat peraturan itu?" jebak Wiyana sangat pintar memainkan Haidar.
"Saya."
"Kalau begitu diam!"
"Shiiittt, gadis ini," gumam Haidar gemas.
***