Chereads / Majikanku Cinta Lamaku / Chapter 15 - Allard Sang Detektif

Chapter 15 - Allard Sang Detektif

Alea dan Gina baru saja sampai di kontrakan Alea setelah sif mereka selesai, Alea masih saja digerogoti dengan perasaan tak tenang. Sebab dari pagi sampai sore menjelang nomor Wiyana masih susah untuk dihubungi.

Alea membuka pintu kontrakan itu dengan terburu buru, begitu dia buka. Dia langsung sadar kalau pintunya masih terkunci rapat.

"Gin, pintunya masih terkunci. Itu tandanya Wiyana masih belum pulang, astaga. Ke mana dia coba, ini udah sore. Bentar lagi Maghrib, gue takut banget dia kenapa kenapa di luar sana. Mana hpnya nggak bisa dihubungi lagi," resahnya tak sudah sudah.

Gina mengusap punggung Alea dengan lembut bermaksud untuk menenangkan temannya itu.

"Sabar, ya. Al, kita tunggu aja sebentar lagi. Mau dicari juga, kita nggak tau di mana pastinya keberadaan Wiyana, kan?" cakap Gina membuat Alea mengangguk membenarkan ucapan gadis itu.

Ya, karena susah dihubungi Alea juga jadi bingung di mana dia harus mencari sahabatnya itu, kota mereka sangatlah besar dan keras. Walau sudah dua belas tahun tinggal di kota itu dan Wiyana sendiri memiliki kemampuan bela diri.

Tetap saja itu hanyalah kota orang, dan Wiyana saat ini sedang demam.

"Gue tau Wiyana itu kalau udah sakit, buat ngomong aja dia males karena lemes. Sekarang dia malah pergi nggak tau ke mana, gue mau nggak panik. Tapi, gue nggak bisa, Gin. Gue takut banget...." keluhnya sembari memeluk erat ponselnya.

Sama seperti Alea yang risau dan bingung, Gina juga turut memeluk Alea. Hanya itu yang bisa dia lakukan, sampai nada dering ponsel Alea yang nyaring menganggu suasana sedih para gadis itu.

Alea menegakkan tubuhnya secepat kilat, dia langsung melihat ke layar ponsel dengan mata berbinar. Dia pikir yang menelponnya adalah Wiyana, tapi kebahagiaan sesaatnya langsung sirna begitu melihat bukan nama Wiyana yang tertera melainkan nama Allard.

Dengan amat sangat berat hati dan terkesan tak minat, Alea mengangkat panggilan itu. Dia letakkan ponselnya di dekat telinga.

"Al, ada apa sama Wiyana. Kenapa hpnya nggak bisa dihubungi?" sapa Allard sang pria tampan dengan profesi sebagai seorang detektif polisi.

Alea mendengkus terlebih dahulu sebelum menjawab itu, lalu setelahnya dia menjawab dengan lesuh.

"Gue nggak tau kenapa, dari tadi juga gue udah berusaha buat hubungi nomornya. Tapi, dia nggak angkat. Gue nggak ngerti, Wiyana segaja atau gimana. Kami berantem tadi pagi, mungkin karena itu dia nggak mau angkat panggilan dari gue. Tapi, kenapa dia nggak angkat panggilan dari lo juga?"

Alea memijat keningnya, mulai pusing memikirkan sahabatnya itu.

Allard yang kala itu tengah menyetir, sontak langsung berhenti mendadak. Wajahnya berkerut, dia sedikit tak mengerti dengan Wiyana.

"Kalau memang kalian ada masalah harusnya dia marah ke lo aja, kan? Kenapa panggilan dari gue juga nggak digubris sama dia, coba?"

"Lo tanya gue?" tanya Alea tak santai.

"Iyalah!" jawab Allard lugas.

Alea memutar bola matanya jengah, dia tak habis pikir dengan Allard itu.

"Gue masih ragu lo berprofesi sebagai detektif, sebab lo nggak pinter. Pola pikir lo juga aneh, ya. Lo ngapain nanya ke gue, sementara lo sendiri aja nggak tau kenapa Wiyana nggak angkat panggilan lo. Tapi, terlepas dari itu. Gue minta tolong, ya. Tolong cari Wiyana, gue tau lo pasti bisa temukan dia dengan mudah," pinta Alea pada akhirnya.

Bagaimana pun juga Allard pasti bisa menemukan Wiyana, bukannya Allard pasti sudah terbiasa dalam urusan cari mencari tahu tentang hal hal yang janggal.

Ya, seperti Wiyana sekarang. Wiyana seakan juga menghilang bak ditelan bumi.

"Oke, gue cari dia sekarang!"

Setelah mengatakan itu Allard langsung memutuskan sambungan mereka, dia kembali menghidupkan mesin mobilnya. Allard juga tidak tahu pasti ke mana dia akan mencari keberadaan Wiyana, tapi yang pasti Wiyana harus dia temukan.

Sementara di sana para teman Wiyana sibuk mencari keberadaan gadis itu, di rumah dengan dinding serba kaca itu Wiyana masih duduk dengan amat sangat gugup.

Karena ucapan Ken, Wiyana tidak jadi pulang. Dia tidak bisa menjelaskan pada Ken kenapa dia harus pulang, Wiyana sudah berusaha untuk mencari alasan yang tepat. Tapi, Ken sangat pintar.

Bocah itu langsung bisa tahu kalau Wiyana sedang berbohong padanya.

"Sebentar lagi papa pulang, apa Tante udah laper?"

Ken bersuara setelah beberapa saat diam, Wiyana yang sejak tadi melamun tak jelas. Sembari memikirkan bagaimana dia harus bereaksi ketika di depan Haidar, sontak terkejut saat Ken membuka suara.

"Eh, enggak. Aku belum laper, gimana aku bisa makan. Aku lagi tertekan," gumamnya pelan.

Walau pelan, Ken masih bisa mendengarnya walau samar samar.

"Apa, Tente. Merasa tertekan mau ketemu papa?" tebaknya tepat sasaran, kadang Wiyana sangat penasaran. Sebenarnya bagaimana cara Haidar dalam membesarkan Ken, kenapa Ken bisa tumbuh menjadi anak yang sangat dewasa dan pandai membuat orang lain merasa di pojokan.

"No  ... bukan itu maksudnya, Ken."

"Lalu?" Lihatlah Ken itu akan terus bertanya sampai pertanyaannya menemukan jawaban, Wiyana mulai sakit kepala menghadapi Ken.

Ingat Wiyana masih demam, gadis itu bahkan masih melihat dunia berputar di kepalanya karena efek demam yang belum hilang.

"Ken, denger, ya! Nggak semua pertanyaan itu punya jawaban, kadang ada beberapa pertanyaan yang nggak bisa dijawab dengan perkataan, kamu harus tau ini!" protes Wiyana pada akhirnya ia menyerah untuk berpura pura sabar.

Alih alih takut karena melihat wajah kesal Wiyana, yang notabenenya lebih tua darinya. Ken malah tersenyum penuh arti, lalu dia menjawab lagi.

"Semua pertanyaan itu punya jawaban, karena pertanyaan nggak akan pernah ada kalau nggak ada jawabannya. Semua yang ada di dunia ini memiliki penyelesaiannya masing masing," ungkapnya.

Sukses membuat Wiyana menepuk jidatnya, dia bahkan menggeleng karena tak kuat lagi.

"Siapa yang katakan itu sama kamu, Ken? Tolonglah jangan berpikir sejauh itu, kamu masih kecil!"

"Papa, dan. Karena aku masih kecil mangkanya aku harus berpikir kayak gitu, supaya aku bisa sama kayak papa di masa depan nanti."

Wiyana mengelus dadanya, berusaha sabar. Jujur saja dia rasanya ingin memukul kepala Haidar karena sudah membesarkan Ken dengan cara yang berbeda.

Tak lama setelah perbincangan singkat mereka, terdengar suara derap langkah yang mulai mendekat. Wiyana menahan napasnya, dengan mata yang membesar.

"Papa," sapa Ken lembut. Dia berjalan mendekati papanya. Lantas mencium punggung tangan sang papa walau tangannya terdapat perban.

Selesai menyalim, Ken ingin menjauhkan tangannya. Tapi, Haidar menahan pergerakan Ken.

"Kenapa kamu bisa terluka?"

Hanya empat kata, tapi empat kata itu sudah berhasil membuat jantung Wiyana tak karuan.

Bagaimana pun luka Ken karena dirinya, dialah alasan Ken terluka.

***