Di ruang makan dengan meja panjang Ken duduk seorang diri menatapi makanan yang begitu banyak.
Tatapannya sangat kosong, Ken bahkan enggan untuk menyentuh makanan yang tampak sangat menggiurkan itu. Tak pernah makanan di rumahnya tidak enak, semua koki yang memasak adalah koki koki handal.
"Den, silakan dinikmati. Pak Haidar sudah memerintahkan kami untuk memasak makanan kesukaan, Den Ken."
Salah satu koki yang masih memakai celemek berusaha untuk menghibur Ken, semua yang ada di sana tahu apa yang sedang membuat Ken diam seribu bahasa.
"Aku nggak laper," katanya masih diam di tempat duduknya.
Di meja makan Ken melipat tangannya, perlahan mata Ken melirik bangku yang ada di ujung sana. Di sana biasanya papanya duduk, papanya yang selalu kaku dan dingin seperti kulkas berjalan itu tidak suka ada suara ketika makan.
"Aku udah kenyang, papa harusnya bukan menyuruh paman koki buat masak kesukaanku. Tapi, harusnya papa luangkan sedikit waktu buat makan malam bersamaku," ujarnya dapat didengar baik oleh semua orang.
Terhitung ada lima pelayan wanita yang berdiri di sana, dan dua koki rumah itu. Mereka saling bertukar pandang, seakan bicara dari tatapan mereka.
"Den, kami semua di sini. Kami akan temani Den Ken sampai selesai makan."
"Tapi, kalian bukan papa dan mamaku. Aku cuma mau papa sama mama, aku nggak mau makan."
Ken bangkit, dia pergi dari ruang makan. Lagi lagi papanya hanya berkata akan makan malam bersama, tapi nyatanya Haidar memilih untuk pergi tanpa pamit dulu pada Ken.
"Papa kerja untukku, papa cari uang buat aku sekolah. Ayolah Ken, jangan bertingkah seperti anak kecil!" gumam Ken di sela sela langkahnya, dia salah karena sempat berpikir kalau papanya jahat karena tak menepati janji.
Harusnya Ken tidak berpikir demikian.
"Ya, aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu ditemani sama papa. Nggakpapa, Ken. Semuanya masih baik baik aja," serunya lagi sembari menyentuh dadanya. Ken berusaha untuk tersenyum walau sebenarnya itu sulit.
***
Malam yang panjang tanpa sebuah dongeng penghantar tidur, dan tanpa kecupan serta ucapan selamat malam sudah berlalu.
Kini mentari sudah kembali muncul, menggantikan rembulan. Pagi ini terasa sedikit sejuk, Ken bangun lebih awal.
Tangan kecilnya meraba raba bantalnya, dahinya berkerut saat lagi lagi mendapati bantalnya basah.
"Papa nggak boleh liat ini, aku pasti nangis waktu tidur," gumam Ken.
Cepat cepat Ken menepuk nepuk bantalnya, setelah beberapa saat Ken rasa sudah kering dia pergi ke kamar mandi.
Sementara Ken sibuk mandi, di ruang tengah Haidar sudah siap siap untuk pergi ke kantor.
Sembari merapikan dasinya Haidar berjalan cepat menuju mobil, tapi langkahnya terhenti karena kakinya menginjak sesuatu.
"Apa?"
Dahi Haidar berkerut, dia melirik ke bawah. Sedikit mengangkat kakinya dan begitu Haidar melihat apa yang dia injak, kerutan di wajahnya sontak langsung menghilang.
Terkejut? Ya, Haidar sangat sangat terkejut. Tapi, dia masih bisa menyembunyikan rautnya dengan apik, tanpa banyak basa basi. Haidar berjongkok dan memungut benda putih yang tak segaja dia injak.
"Ini....?" gumamnya, dengan benda itu Haidar semakin cepat melangkah keluar rumah.
Ken bersama wajah ceria palsunya sudah siap untuk kembali menipu semua orang.
"Papa pasti udah pergi," kata Ken sedikit cemberut. Detik selanjutnya Ken tersenyum lebar, lantas dia mengangkat tangannya yang masih berbalut perban.
"Aku mau ketemu sama tante bodoh dulu sebelum ke sekolah, buat terima kasih."
Ken tersenyum lebar, tanpa mau banyak basa basi lagi. Dia langsung pergi dari sana dan melupakan benda yang harusnya selalu dia bawa, yaitu ponsel.
***
"Lo yakin mau pergi? Lo demam, Wiyana."
Alea sudah siap untuk pergi bekerja, tapi jadi harus terhenti sebab mengkhawatirkan keadaan Wiyana yang tak sehat.
Wajah sahabatnya itu pucat dan tubuhnya juga sangat panas.
"Gue nggakpapa," kilahnya masih berkeras kepala.
Wiyana tetap harus pergi untuk mencari pekerjaan, agar tak terlalu membebankan segalanya ke Alea.
"Ck, nggakpapa apanya. Lo jangan bohongin gue, kemarin lo hujan hujanan kan karena putranya Haidar itu. Terus lo juga pasti masih terkejut karena ketemu sama dia lagi kemarin," ungkap Alea sangat tahu bagaimana Wiyana itu.
Tentu dia tahu, mereka sudah hidup bersama selama dua belas tahun di kontrakan dan kota orang.
"Hmmm, dia juga nggak kenalin gue." Wiyana menatap kosong ke depan, dia tersenyum miris. Sangat kasihan pada dirinya sendiri, dalam situasi itu hanya dirinya yang mengenali Haidar.
Sementara pria itu tidak, bahkan Haidar tak menunjukkan rasa terkejutnya sama seperti Wiyana yang terkejut kembali bertemu dengan Haidar.
"Udahlah, biarin aja. Toh, kalian juga nggak bakal ketemu lagi, kan?"
Mendengar itu Wiyana sontak menatap Alea dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Lo yakin banget ngomongnya?"
Dahi Alea berkerut melihat Wiyana seperti tak senang dengan ucapanya.
"Memangnya apa yang salah sama omongan gue? Dua belas tahun lalu lo memutuskan untuk pergi dari kampung halaman lo cuma karna Haidar, kan? Lo bertekad buat lupain dia, terus apa sekarang cuma karna ketemu beberapa menit itu buat pertahanan yang udah lo bentuk selama dua belas tahun harus hancur begitu aja? Lo mikir nggak, sih?" omel Alea tampak geram dengan Wiyana.
Wiyana memang kadang plin-plan, Alea sendiri muak melihat kadang sahabatnya itu uring uringan karena Haidar.
Wiyana membuang muka, dia menunduk sembari membasahi bibirnya yang kering karena tubuhnya panas. Wiyana benar benar demam.
"Bukan begitu maksud gue, Al."
Alea tersenyum kecut, tanda kalau dia meremehkan ucapan sahabatnya itu.
"Terus apa, Wi? Tapi, ya. Kembali lagi sama lo, sih. Kalau memang lo mau sakit hati lagi, ya. Udah, gue nggak bisa larang lo buat itu. Gue sebagai sahabat yang tau apa yang udah lo lalui selama ini buat lupain dia cuma bisa kasih nasehat yang menurut gue bener. Kalau menurut lo apa yang gue pikir bener adalah salah, it's okey. Lo lakuin aja apa pun sesuka lo, tapi jangan pernah ngadu ngadu ke gue soal apa apa lagi yang berkaitan sama Haidar, ya!" pesan Alea mutlak.
Urat urat di wajah gadis itu tampak jelas, menunjukkan kalau Alea sangat kesal dan serius saat ini.
Puas mengatakan apa yang ingin dia katakan Alea tak menunda lagi kepergiannya dari sana.
"Al...."
Wiyana menatap sendu kepergian sahabatnya, jujur saja dia tidak bermaksud untuk membuat Alea kesal.
Mereka memang sering bertengkar, tapi tak pernah separah hari ini.
"Maaf, Al. Gue pasti buat lo kecewa banget, gue nggak bermaksud."
Melihat Alea sudah jauh, bahkan punggung gadis itu sudah menghilang ditelan jarak. Wiyana pun memutuskan untuk keluar juga, walau dirinya demam tapi itu bukan alasan untuk dia terus bermalas malasan.
***