Perasaan yang sejak tadi tak enak, bertambah risau sebab ponsel yang dituju tak mengangkat panggilan sama sekali.
"Angkat, dong. Wi!" gumam Alea tak tenang, ketika risau Alea mengigit gigit ujung kukunya guna mengalihkan kepanikan itu.
"Aishhhh," keluhnya sebab sudah lima kali melakukannya panggilan, tak satu pun ada yang Wiyana angkat padahal ponsel gadis itu aktif.
"Gimana?" tanya Gina penasaran, saat ini kafe mereka sedang sunyi. Jadi, mereka menggunakan kesempatan itu untuk menghubungi Wiyana atas dorongan dari hati.
"Nggak diangkat juga."
Gina menarik napas sejenak, dia mulai berpikir apa kira kira alasan Wiyana tak mengangkat panggilan dari Alea.
"Mungkin dia sibuk, Al." Gina, tetaplah Gina. Dia gadis yang sangat suka berpikir positif, walau di keadaan panik sekali pun dirinya akan tetap selalu berpikir positif.
"Enggak, Gin. Wiyana itu belum dapet pekerjaan, nggak mungkin dia sibuk. Sibuk apa coba?" sanggah Alea cepat.
Gina yang tadinya tak ingin berpikir yang tidak tidak, mendadak terhasut dengan ucapan Alea. Hingga kini di otaknya bersarang pikiran pikiran tak baik.
"Mungkin dia kenapa kenapa," ungkap Gina mulai tak tenang.
Alea menatap Gina cepat, dia membesarkan matanya pada Gina agar tak bicara hal hal buruk seperti itu sembarangan.
"Jangan bilang kayak gitu, gue nggak mau Wiyana kenapa kenapa. Dia harus baik baik aja, astaga. Tolong angkat, Wi. Biar gue tenang," seru Alea lagi.
Ditatapnya lama ponselnya itu, sangking sayangnya dia pada Wiyana. Dirinya sampai membuat wallpaper ponselnya dengan foto dirinya dan Wiyana saat liburan beberapa bulan lalu.
"Sabar, Al. Kita harus tetap berpikir positif, habis pulang dari sini nanti kita cari sama sama Wiyana kalau sampai sore hpnya nggak bisa dihubungi, oke?" usul Gina masih berusaha menenangkan Alea.
Alea hanya bisa mengangguk pasrah, tatapan nanar dia berikan pada ponselnya itu.
"Gue nyesel karena tadi marah ke dia, gue tau dia demam. Dan, keras kepala. Hatinya juga nggak baik baik aja, harusnya gue bisa sedikit sabar. Sialnya gue ini juga gampang marah."
Mata Alea berkaca-kaca, tak bisa dia membayangkan hal buruk menimpa sahabatnya itu. Bagaimana pun keras kepala Wiyana, gadis itu tetaplah sahabat terbaik Alea.
Alea tak inginkan hal buruk terjadi pada Wiyana apa pun yang terjadi.
"Ussttt, jangan salahin diri lo sendiri, percaya aja semuanya pasti baik baik aja."
Gina memeluk Alea dari samping, tak ada yang bisa dilakukan selain memberikan pelukan hangat penuh ketulusan darinya.
"Hmmm, semoga Wiyana baik baik aja. Gue inget dia juga jago bela diri, dia pernah pukul wajah bosnya. Cewek yang berani pukul wajah atasannya, pasti nggak akan segan pukul wajah orang yang punya niat jahat sama dia."
Alea baru bisa sedikit bernapas lega, saat kembali teringat keahlian sahabatnya itu yang luar biasa. Ya, Wiyana memanglah yang terbaik dan kuat.
"Gue harusnya inget dia bukan pengecut kayak gue."
"Iya, sekarang lo tenangin diri lo dulu oke. Nggak ada masalah apa apa," tambah Gina lembut.
Alea tersenyum lebar, semakin Gina mengatakan hal hal positif. Maka, semakin Alea senang dan merasa aman. Dia membalas pelukan hangat Gina, mereka saling berpelukan di dapur kafe menguatkan satu dengan yang lain.
"Makasih karena selalu berpikir positif, Gin. Sama kayak Wiyana, lo juga sahabat gue yang paling baik," puji Alea tulus.
Gina hanya bisa tertawa renyah merespon Alea yang jarang berkata manis.
***
Tepat pada pukul dua belas siang, jam istirahat untuk makan siang sedang berlangsung di perusahaan Adityawarman Group, sementara semua karyawan sudah sibuk beranjak dari meja kerja mereka ke kantin.
Dia Haidar dengan segala ketampanan, dan pakaiannya yang masih sangat rapi. Setia duduk di kursi kebesarannya, di dalam ruangan dengan nuansa tenang dan satu pohon kaktus kecil di atas meja. Haidar berkutat pada ponsel.
Ingin menghubungi salah satu nomor yang ada di kontaknya, Haidar dekatkan ke telinga. Satu, dua kali deringan masih tak diangkat padahal nomor yang dia tuju aktif.
Sampai panggilannya berakhir nomor di seberang tak juga mengangkat panggilannya.
"Kali ini apa lagi?" tanyanya menatap nama si pemilik nomor.
"Ken, angkat!" gumam Haidar, tak mudah menyerah dia terus menghubungi nomor putranya.
Sayang sekali, saat ini ponsel Ken tertinggal di kamar bocah itu dan pemiliknya sedang tak ada di rumah.
"Pasti dia keluyuran tanpa ponselnya, kebiasaan."
Haidar berpindah dari nomor putranya ke nomor rumah, dia hanya ingin tahu apakah Ken kembali pergi tanpa pengawasan orang dewasa.
"Ke mana, Ken?" tanya Haidar langsung tanpa menyapa atau bahkan membiarkan pelayan yang mengangkat panggilannya mengatakan "hallo" barang sekali saja.
"Sejak pagi saya tidak melihat Den Ken di rumah, Pak."
Haidar memejamkan matanya sejenak, dia sudah duga itu. Pasti tak akan ada yang tahu kalau putranya tak ada di rumah.
"Apa sebenarnya yang kalian lakukan, coba lihat ke kamarnya. Apakah dia ada di sana atau tidak, saya terus menghubungi nomornya. Tapi, tidak diangkat."
Pelayan itu langsung melaksanakan perintah sang bos, cepat cepat dia naik ke lantai atas. Sampai di kamar Ken, dia melirik ponsel bercase hitam yang tergeletak di atas meja.
"Astaga, Den Ken!" serunya merasa tak yakin, lagi lagi Ken keluar dari rumah tanpa sepengetahuan siapa pun.
Maka, dirinya yakin kalau hal itu akan menjadi bencana baginya. Dia kembali berlari ke lantai dasar.
"Maaf, Pak. Den Ken, benar benar tidak ada di kamarnya. Saya akan segar cari, dan minta bantuan yang lainnya," katanya takut takut. Bahkan nada suaranya bergetar karena takut Haidar akan marah, walau Haidar jarang menunjukkan emosinya pada orang lain.
Bahkan pelayan sekali pun.
"Hmmm!" gumamnya tak minat, merasa tak ada yang perlu dibahas. Haidar langsung mematikan sambungan mereka.
Dia memijat keningnya, Ken senang sekali membuat dia sakit kepala.
"Anak ini, kenapa tidak bisa mengerti. Saya lelah dia terus berulah."
Tak segaja mata Haidar menangkap bunga kaktus yang sudah lama ada di atas mejanya, tanamam itu menjadi saksi bisu bagaimana kerasnya Haidar bekerja di perusahaannya. Agar dia bisa hidup bebas dari bayangan orang tuanya.
"Kapan saya boleh mengeluh, dan pada siapa saya harus berbagi cerita?"
Haidar melirik jam tangannya, jam itu sudah tiga belas tahun melingkar di pergelangannya dan tak pernah dia lepaskan.
Diusapnya pelan, seakan jam hitam itu sangat rapuh dan akan langsung rusak ketika Haidar menyentuhnya tak hati hati.
Perlahan senyuman terukir di ke dua sudut bibirnya, jam itu tidak mahal. Bahkan jamnya sangat murah, ya. Haidar tau itu jam murah, tapi dia tak keberatan untuk memakainya. Sebab dia tidak tahu siapa yang memberikan jam tangan tersebut padanya.
"Siapa yang memberikan ini sebenarnya, beberapa tahun yang lalu. Jam ini pernah menjadi alasan Dinda marah pada saya."
***