Rumah itu sangat luas dengan dinding serba kaca, dia Haidar menggendong putranya sampai ke kamar Ken.
Di rumah bertingkat dua, dengan luas yang cukup untuk bermain sepak bola hanya tinggali oleh mereka berdua.
Ya, Haidar memilih untuk tinggal sendiri dengan Ken. Ketika dia sudah bercerai dengan Dinda.
Langkah Haidar sangat hati hati menaiki setiap anak tangga, tak butuh waktu lama. Haidar sampai di kamar dengan dinding bercat paduan abu abu dan hitam.
Haidar membaringkan Ken dia atas tempat tidur Ken, Haidar tersenyum sekilas. Setelahnya dia mengusap puncak kepala Ken sembari membangunkan bocah itu.
"Ken, Ken. Bangun!"
Ya, Haidar meminta Ken untuk bangun sebab penampilan putranya sangat kotor dengan tanah di celananya.
"Ken, mandi dulu," ucap Haidar lagi masih sangat sabar.
Ken langsung duduk, dia mengucek matanya sejenak. Ditatapnya papanya dengan wajah super kusut.
"Pa? Ken, udah di rumah?"
"Hmmm," gumam Haidar.
Tanpa diduga duga Ken berhambur memeluk papanya begitu erat, Haidar cukup terkejut sebab tak memperdugakan serangan Ken.
"Kenapa, Ken?"
Haidar membalas pelukan Ken, dia mengusap puncak kepala putranya itu dengan sayang.
"Ken, minta maaf. Pasti hari ini, Ken. Buat, Papa. Pusing lagi."
"Ya, itu benar. Jangan diulangi, oke?" pesan sang papa penuh pengertian.
Dalam dekapan itu Ken mengangguk cepat, dia semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang Haidar. Jarang jarang Haidar mau dipeluk dalam waktu lama.
"Sekarang kamu mandi dulu, abis ini kita makan malam. Papa tunggu kamu di bawah, ya!"
Haidar melepaskan pelukan Ken, Ken sedikit kecewa sebenarnya. Tapi, dia memilih untuk menepiskan perasaan itu. Ken harus terbiasa walau itu sangat menyakitkan baginya.
"Iya."
Haidar menjauh dari Ken, hampir dia keluar dari kamar itu. Tapi, Ken lebih dulu bersuara. Membuat langkah Haidar terpaksa harus terhenti.
"Pa, tadi Ken ketemu sama mama."
"Lalu?"
Sebenarnya Haidar sudah tahu apa kelanjutan dari kisah itu, tapi dia bertingkah seolah tak tahu apa apa. Biarkan saja, semakin Haidar mendengar keburukan Dinda. Maka, akan semakin besar pula rasa bencinya pada sang mantan istri.
"Mama ajak, Ken. Makan di cafe ba--bagus," kata Ken terbata.
Haidar memejamkan matanya sejenak, bersama itu dia menarik napasnya panjang. Mau seburuk apa pun perlakuan Dinda pada Ken, pasti Ken akan selalu mengatakan hal baik tentang mamanya yang kejam itu.
Detik selanjutnya Haidar kembali membuka matanya, tatapannya kosong fokus ke depan.
"Baguslah, Ken. Tapi, setelahnya jangan pernah bertemu dengan mamamu lagi."
Ken langsung turun dari kasurnya begitu mendengar perintah demikian dari Haidar, buru buru Ken berdiri di depan papanya.
Ken mendongak guna melihat wajah datar Haidar yang tanpa senyuman itu.
"Kenapa, Pa?"
"Karna dia bawa kamu ke cafe bagus! Pasti dia juga suapi kamu saat makan, dan juga memeluk kamu ketika hujan lebat tadi benar, bukan?" sindir Haidar.
Lantas matanya yang tajam menatap ke mata Ken, Ken sontak langsung menunduk. Jari jarinya saling bertautan, Ken rasanya ingin menangis ketika teringat bagaimana pagi tadi Dinda meninggalkan dirinya seorang diri di taman.
Dan berakhir di bawah pohon rindang, kedinginan, serta rasa takut yang mencekam karena petir sempat terdengar.
"Apa semua yang, Papa. Katakan dilakukan oleh mamamu, Ken?"
Ken mengangguk, Haidar membuang muka. Sudah jelas jelas Ken hampir menangis, tapi putranya itu masih setia dalam kebohongannya.
"Baguslah, teruslah berkhayal tentang semua hal semu itu!" tandas Haidar terdengar kesal, tanpa mau berlama lama lagi. Haidar langsung pergi dari sana, dengan pintu yang terbuka lebar.
Ken memandangi kepergian papanya dengan sendu, Ken sangat ingin menangis. Tapi, itu tidak bisa Ken lakukan ketika di rumah, sebab saat dia ketahuan menangis oleh Haidar.
Maka, pasti Haidar akan memarahinya. Bahkan yang paling parahnya, Haidar akan memegang tangan Ken dengan begitu erat sampai menimbulkan memar.
"Ken tau papa sayang sama Ken, mama juga sayang sama Ken. Mungkin karna Ken udah besar mangkanya papa sama Mama nggak tunjukkan itu, ya. Ken udah besar, Ken nggak boleh nangis lagi. Nanti papa marah," lirih bocah berusia sebelas tahun itu.
Dengan tangan kecilnya yang terdapat perban, Ken menghapus jejak air matanya.
Tak segaja ketika menghapus air matanya. Ken melihat sesuatu di perbannya.
"Emoticon?" ucap Ken dengan dahi berkerut ketika melihat emoticon yang dibuat dari pulpen dengan emoticon senyum.
"Kapan ini dibuat?"
Ken berusaha memutar otaknya kembali mengingat beberapa saat lalu, ketika tangannya diobati Wiyana.
"Pasti yang buat tante bodoh tadi" gumamnya masih melihat emoticon di sana.
"Oh, iya. Nama tante tadi siapa, ya? Ah, terserah. Bagiku tante tadi bodoh!"
Ya, bodoh. Karena Wiyana mementingkan Ken daripada dirinya sendiri, dimulai dari payung yang Wiyana berikan, lalu duduk di angkot, dan jatah makanannya.
Walau gaya bicara Wiyana aneh bagi Ken. Tapi, tetap saja Wiyana dan kebodohan gadis itu masih melekat di benak Ken.
"Tante Bodoh itu walau aneh sulit buat dilupain, aku belum sempat terima kasih. Nggakpapa, nanti kapan kapan aku mampir ke tempatnya yang kumuh itu buat terima kasih!"
Ken tersenyum simpul, dia mengusap pelan perban yang terdapat emoticon senyum, bentuk yang ada di sana hanya dua mata dengan garis vertikal lalu di bawah mata ada garis melengkung yang dibuat sebagai bibir.
***
Haidar berdiri dalam diam di balkon kamarnya, tatapannya datar ke arah kebun Pinus yang dia taman di sepanjang jalan menuju rumahnya menjadi sorotan mata tajam sang Haidar Saadi Adityawarman.
"Saya sedang merindukan siapa?" tanyanya pelan.
Tak ada yang bisa mendengar dan merespon apa yang Haidar ucapkan, angin berhembus menusuk kulitnya. Sisa sisa hujan masih ada dan sesekali membasahi wajah tampan Haidar.
"Saya benci dengan perasaan aneh ini."
Perlahan tapi pasti, pegangan Haidar pada pembatas balkon mengeras. Buku buku tangannya terlihat jelas, tapi tatapannya masih sama dan wajah itu tak menampakkan emosi apa apa.
"Kenapa semua ini harus terjadi pada saya?"
Haidar memejamkan matanya, terasa panas ketika dia memejamkan mata tajam itu. Dan, begitu Haidar buka kembali matanya memerah karena menahan sesuatu yang siap tumpah dari pelupuk itu.
Lama Haidar berusaha untuk berpikir, sampai kepalanya sakit. Sebenarnya apa yang dia lupakan, tapi. Sedikit pun Haidar tak bisa mengingat apa apa, namun. Sialannya rasa rindu selalu menghantam dadanya.
Malam semakin dingin, Haidar beralih melirik jam tangannya.
Haidar menghela napas panjang, dia harus turun untuk makan malam dengan putranya dan setelah itu Haidar harus kembali keluar untuk urusan pekerjaan.
"Saya tidak pernah bisa santai."
"Permisi, Pak."
Tanpa menoleh Haidar pun tahu siapa yang memanggil dirinya.
"Apa tidak bisa menunggu sampai saya selesai makan malam dengan Ken?" tawarnya.
Pria berusia kisaran empat puluh tahun itu melirik jam tangannya yang mewah, dia turun perihatin.
Dengan sangat berat hati dia menjawab.
"Maaf, Pak. Tidak ada waktu lagi, kita harus pergi sekarang atau mereka akan menunggu lebih lama."
Haidar diam sejenak, memikirkan segala hal dan konsekuensi dari setiap tindakan yang akan dia ambil.
"Baiklah kita pergi sekarang!"
Secepat kilat Haidar berbalik, dia membuka lemarinya. Mencari jas yang sesuai dengan acaranya malam ini, setiap pakaian di lemari besarnya ada catatan.
Hal itu Haidar lakukan guna memperlancar segala urusannya.
"Ayo!"
"Tapi, Pak. Bagaimana dengan Ken?" tanya pria paruh baya itu.
"Saya akan memberikan pengertian padanya setelah ini."
Tanpa sepengetahuan Ken, Haidar kembali keluar dari rumah mewah itu. Ken ditinggal sendiri dengan para pelayan rumah dan pengawal lainya, walau Haidar keluar dari rumah. Dia tak pernah melewatkan penjagaan ketat untuk putra semata wayangnya.
***