"Ke mana, Ken?"
"Aku nggak tau," kata Dinda tak santai.
Rencananya dan Dev untuk berangkat berlibur jadi tertunda karena mendadak Haidar muncul di depan pintunya.
"Jangan berbohong, Dinda! Ada yang melihat kamu bersama Ken di taman, bagaimana mungkin kamu tidak tahu di mana dia," kata Haidar santai.
Setelah seharian dia mencari Ken tak tentu arah di jalanan, tapi tak membuahkan hasil apa apa. Tiba tiba sore tadi salah satu anak buahnya menghubunginya dan mengatakan kalau Ken terakhir kali terlihat saat bersama dengan Dinda.
Dan, malam ini Haidar langsung mendatangi kediaman mantan istrinya itu. Ya, Haidar dan Dinda sudah bercerai karena suatu alasan yang Haidar sendiri malas mengingatnya.
"Aku memang ketemu dia di taman tadi pagi, itu pun karena Ken sendiri yang mau ketemu. Tapi, aku...." Dinda tak melanjutkan kalimatnya lagi.
Dia bingung bagaimana menjelaskannya pada Haidar, bagaimana pun dia memberikan penjelasan. Dan, jika penjelasan yang dia berikan tak dipercayai oleh mantan suaminya itu. Pasti Haidar akan marah padanya.
"Tapi apa?" tanyanya cepat, wajahnya masih tak berubah.
Haidar tak menunjukkan ekspresi yang jelas, dia sangat datar dan kaku. Tak ada emosi yang Haidar tunjukkan.
"Aku ninggalin dia di taman karena Dev hubungi aku," akunya sekenanya.
Haidar masih diam, dia tak merespons apa apa. Tapi, dilihat dari tatapannya yang mulai berubah Dinda yakin kalau Haidar pasti akan marah padanya.
"Apa selingkuhmu itu lebih penting dari putramu sendiri?" tanyanya, sukses membuat Dinda mengerutkan wajahnya. Sebab dia tak menduga kalau Haidar akan bertanya bukannya marah.
"Hah?"
"Apa selingkuhmu lebih penting dari putramu sendiri?" ulangnya penuh kesabaran, dan detik itu juga Dinda yakin kalau Haidar yang ini lebih menyeramkan daripada Haidar yang marah.
"Bu--bukan begitu, Ken penting buatku. Tap--"
"Tapi selingkuhanmu jauh lebih penting begitu, bukan?" potongnya cepat, suara Haidar sangat berat dan terdengar begitu dingin.
Dinda mulai keringat dingin mengahadapi Haidar, mendadak otaknya blank tak tahu harus beralasan apa lagi. Dinda hanya bisa menelan ludahnya susah payah.
"Ha--"
"Jangan beralasan lagi, Dinda. Saya tau kamu seperti apa, biaklah. Kalau memang selingkuhanmu lebih penting dari Ken, maka jangan pernah temui Ken lagi!"
Itu adalah kalimat terakhir yang Haidar ucapkan, dia berbalik siap untuk pergi. Tapi, baru dua langkah dia menjauh. Dinda kembali bersuara.
"Haidar, kamu harus dengerin aku dulu! Aku sayang sama Ken, dia putraku. Kamu nggak bisa melarang aku buat bertemu sama dia!" teriak Dinda cukup keras, dia yakin mantan suaminya itu dapat mendengar suaranya dengan baik.
"Saya bisa, karna dia putra saya! Saya yang membesarkan dia, saya buat dia sama seperti saya. Dan, kamu yang sudah meninggalkan dia sejak kecil, tidak bisa mendadak muncul lalu merusak apa yang sudah saya bangun dalam diri putra saya," imbuhnya, sukses membuat Dinda terdiam.
Dia kalah telak, Haidar benar. Dinda yang sudah meninggalkan mereka, dirinya memang bersalah.
Haidar kembali berjalan menuju mobilnya, dia tak akan berhenti sebelum Ken benar benar dia temukan. Dia mana pun putranya itu berada, Haidar harus menemukannya dalam keadaan baik baik saja.
***
"Jadi, lo bawa dia tanpa cari tau siapa keluarganya?"
"Hmmm, ya. Kali gue cari dulu keluarganya di tengah hujan lebat."
Di kamar itu dua orang gadis dengan kepribadian yang berbeda tengah bicara saling berbisik bisik, tapi tatapan mereka fokus pada Ken yang saat itu duduk dengan begitu tenang di sofa putih dalam posisi yang membelakangi Alea dan Wiyana.
"Astaga, Wiyana. Lo tolol banget jadi orang, kalau sampai orang tuanya orang kaya dan mafia gimana. Atau lebih parahnya psikopat, bisa abis lo dibunuh!" tandas Alea mulai berpikir tak baik.
Wiyana mencibir, kesal dengan pola pikir sahabatnya yang sangat buruk itu dia tak segan menjitak kening mulus Alea.
"Lo kebanyakan baca novel, sesekali belajar tentang kepedulian sosial sesama manusia. Dia itu gelandangan, gue nemuinnya di pinggir jalan."
"Ish, lo yang harusnya banyakin baca novel supaya pikiran lo nggak terlalu polos," sungut Alea tak santai.
"Ya, otak lo udah kagak poloskan karena kebanyakan baca novel?"
Sementara dua gadis itu terus berdebat, di ruang tengah Ken yang sejak tadi tampak tenang walau sebenarnya dia bisa mendengar bisikan dua gadis di belakangnya.
Ken memainkan ponsel bercase hitam miliknya, yang sejak tadi berada di dalam tas. Dari pagi Ken mematikan daya ponsel itu sehingga tak ada yang bisa menghubungi atau melacak keberadaannya, Ken segaja karena ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu.
"Papa pasti panik, aku harus pulang sekarang," gumam Ken.
Jari jarinya mulai menari dengan lihai di atas layar ponsel, dia mengirimkan satu pesan pada Haidar yang isinya sebuah alamat.
Itu adalah alamat kontrakan Wiyana dan Alea, dia menghela napas ketika pesannya sudah dibaca oleh papanya. Ken kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Tunggu lima belas menit lagi, Ken!" seru Ken pada dirinya sendiri, dia memejamkan matanya. Sungguh Ken sangat lelah, dia mengantuk.
Awalnya Ken hanya ingin memejamkan mata selagi menunggu Haidar, tapi ternyata dia kebablasan sampai ketika Haidar sudah sampai di depan alamat yang Ken kirim bersama belasan pengawalnya, Ken masih belum bangun.
"Suara apa, tuh?" cakap Alea tak santai dengan matanya yang membesar.
Terdengar suara mobil yang sangat banyak dan derap langkah yang mulai mendekat, di luar sana sangat senyap. Mangkanya mereka bisa mendengar dengan baik suara suara dari luar.
"Mobil," saut Wiyana.
Serempak mereka berlari ke jendela, dua gadis itu mengintip ke luar. Mata mereka mendelik ketika melihat belasan pria berbadan kekar dengan kacamata hitam, dan pakaian serba hitam berjalan mendekati kontrakan mereka.
"Kelilingi tempat ini!" perintah Haidar, dia keluar dari mobil.
Begitu kakinya menginjak tanah basah depan kontrakan kecil itu, Haidar menunduk.
Matanya menyipit melihat sepatu pantofel mahalnya kotor karena tanah becek, tak lama setelahnya dia kembali mengangkat kepalanya. Ditatapnya datar pintu kontrakan di depannya.
"Setelah ini pergi ke toko yang sama di mana sepatu saya dibeli, tuntut mereka karena kualitas sepatunya buruk," seru Haidar lagi.
"Baik, Pak!"
"Kualitas bagus katanya, kualitas apa ini. Kena tanah becek warnanya langsung berubah," gerutunya lagi pelan.
Hanya dirinya yang bisa mendengar itu, Haidar tak suka pada barang yang mudah rusak. Dia yakin sepatunya itu akan langsung rusak setelahnya.
"Lo liatkan, Wi! Dia pasti bapaknya tuh bocah, liat anak buahnya banyak amat. Mereka udah kepung kontrakan kita ini," risau Alea.
Dia tak menduga kalau dugaanya akan menjadi kenyataan, dan semoga saja apa dia pikirkan sejak tadi tak juga jadi kenyataan.
"Gu--gue pikir Ken anak gelandangan," kata Wiyana mulai ikut frustasi.
"Gelandangan pala lo botak, liat noh bapaknya punya banyak anak buah. Mana ganteng lagi."
Wiyana mengerutkan wajahnya ketika Alea malah fokus pada ketampanan Haidar sementara dia sendiri bingung harus apa.
***