Di bawah payung merah muda, guna menghindari guyuran air langit. Gadis yang sebenarnya sudah basah kuyup dengan sepatu di tangannya itu tampak berdiri kaku di trotoar, dia menunduk memandangi kakinya yang basah.
"Kenapa harus hujan? Kenapa harus hari ini? Argggg!" teriaknya mendadak sukses membuat orang yang kala itu kebetulan melintas terlonjat kaget.
Bahkan mata orang itu membesar karena teriakan Wiyana yang tiba tiba.
"Basah semua!" keluhnya lagi, ingin pulang pun rasanya sudah enggan sebab jarak kontrakannya dari tempatnya berdiri sudah lumayan jauh.
Bagaimana bisa Wiyana pulang, dia sangat kesal. Tapi, dia sadar dia tak bisa menyalahkan Tuhan yang memberikan takdir begitu padanya.
"Ya Tuhan, kenapa harus hamba? Kalau memang hidup ini berputar, kenapa roda yang hamba peluk kagak berputar putar? Apa rodanya macet, hah?" tanyanya sembari menatap ke atas langit.
Wajahnya langsung terkena tetesan air langit ketika dia mendongak, tapi itu hanya bertahan selama beberapa detik. Sebab tak lama setelahnya Wiyana kembali menutupi kepalanya dengan payung kecil itu.
"Tuhan, hamba capek! Kalau roda hamba nggak bisa muter ke atas, cabut aja nyawa hamba, ya. Tuhan!" teriak Wiyana begitu lepas.
Detik selanjutnya terdengar suara petir yang begitu kuat, Wiyana sontak terpekik kaget. Dia bahkan sampai berjongkok sebab terkejut bukan main, matanya terpejam tak menduga akan ada petir sekuat itu.
"Bercanda, Tuhan. Jangan marah," gumam Wiyana pelan masih dengan mata yang terpejam rapat.
Selang beberapa saat Wiyana kembali membuka matanya, saat tak lagi mendengar suara petir dia rasa semua sudah aman. Dugaannya benar semua sudah aman, tak ada lagi petir yang tersisa hanya hujan yang masih tak menampakkan tanda tanda akan mereda.
"Hufff, udah ah. Gue nggak lagi lagi bercanda sama Tuhan," seru Wiyana. Dia memeluk erat berkas berkas pentingnya, malas kembali berdiri. Wiyana melirik jalanan dengan tak minat, awalnya Wiyana hanya melihat lihat saja.
Sampai pada akhirnya dia tak segaja melihat ada pemuda kecil di seberang sana, dia tampak sangat menghindari air hujan dengan berlindung di bawah pohon besar.
Posisi pemuda kecil itu juga sama seperti Wiyana, dia berjongkok dan memeluk dirinya sendiri. Bocah itu memakai seragam sekolah dengan tas di punggungnya.
"Harusnya gue bersyukur, ada yang lebih melarat dari gue."
Wiyana kembali bangkit, dengan meninting sepatunya yang sudah rusak itu Wiyana menyebrang jalan.
Karena hujan, pengendara jadi sedikit berkurang, Wiyana bisa menyeberang dengan mudah. Dia berdiri tepat di depan pemuda kecil yang tampaknya tak ingin basah, tanpa segan Wiyana memayungi bocah itu.
Tak lupa dia menyerahkan sepatunya dan berkas penting, bocah itu mendongak.
"Ayo biar aku payungi, tapi pegang ini nanti basah!" katanya.
Bocah itu tampaknya pintar, dia langsung bangkit dan menerima sepatu rongsokan Wiyana dengan berkas.
"Nggak usah, Tante."
Wajah Wiyana sontak berkerut sebab bocah itu menolak niat baiknya.
"Ck, nggakpapa. Aku nggak makan orang, ayo. Kamu pasti gelandang, kan? Sama, kok. Aku juga hidupnya melarat, jangan sungkan ayo!" ajak Wiyana lagi.
Karena bocah yang belum Wiyana ketahui namanya itu tak juga bergerak, terpaksa Wiyana menarik tangan kecil bocah itu.
"Awsss," ringisnya mendadak. Sukses membuat Wiyana menjauhkan tangannya dari tangan bocah itu.
"Eh, tangan kamu kenapa?"
Wiyana menatap pergelangan bocah tampan itu dengan seksama, di sana tampak memerah sepertinya sangat sakit.
"Sakit?"
"Hmmm," gumamnya sembari menunduk.
"Ayo, biar aku obati."
Kali ini bocah itu tak banyak bicara, dia mengikuti Wiyana. Wiyana tampak begitu fokus memayunginya, sementara gadis itu sendiri basah kuyup.
Bocah tampan itu menatap Wiyana dalam diam, dia tak menduga ada wanita dewasa asing yang mau membantunya sementara orang tersayangnya malah meninggalkan dia seorang diri di bawah pohon itu.
"Kontrakanku masih jauh, kita naik angkot aja. Kamu pernah naik angkot nggak?" tanya Wiyana girang, setidaknya dia bisa sedikit melupakan masalahnya ketika ada teman bicara walau itu adalah bocah asing yang dia sendiri tak ketahui siapa namanya.
"Enggak," jawabnya polos apa adanya tanpa mengada ngada.
"Oh, iya. Aku juga duga, sih. Kamu melarat dan kelihatan kasian banget, mana mungkin kamu mampu naik angkot kan?" tambah gadis itu dengan seenak jidatnya, sontak saja bocah itu melirik sepatunya.
Dia tersenyum kecil, lalu matanya melirik tangannya yang memenangi sepatu Wiyana yang tampak sudah sangat tak layak untuk digunakan lagi.
"Tente, kita mau ke mana?"
"Ke kontrakanku. Kamu pasti laper dan kedinginan, sebenernya di kontrakan nggak ada banyak makanan tapi masih ada sisa ikan goreng, pernah makan ikan goreng?" tanya Wiyana lagi, kali ini dia sedikit menunduk untuk melihat ekspresi bocah itu.
Mereka masih berdiri di trotoar di mana tadi Wiyana berdiri, sebab angkot tak juga melintas mungkin berbincang sedikit akan mencairkan suasana di sana.
Lagi lagi bocah itu menggeleng sebagai tanda dia tak pernah makan ikan goreng, Winaya sontak saja menutup mulutnya. Dia mengusap puncak kepala bocah tampan itu dengan prihatin.
"Kasian banget kamu, ya. Nggak pernah makan enak, ya?"
"Hah?" tanya bocah itu balik merasa ambigu dengan ucapan Wiyana, apa katanya tak pernah makan enak?
"Udah nggakpapa, nanti kamu makan yang kenyang, ya. Nggak bayar, kok! Nah, itu angkot. Ayo buruan!"
Wiyana kembali menarik tangan kecil itu, tapi kali ini di bagian yang tak sakit dan sedikit pelan.
Penumpangnya lumayan ramai, Wiyana bahkan bingung harus duduk di mana. Matanya melirik bagian yang sedikit lega, dia langsung menyuruh bocah itu untuk duduk di sana. Sementara dia duduk di pintu angkot dengan beraninya.
"Jalan, Bang!" serunya dengan semangat empat lima, bocah itu memandangi Wiyana yang duduk membelakangi dirinya.
Wiyana tampak menikmatinya tetesan air hujan yang membasahi wajahnya.
"Tante bodoh," gumam sang bocah. Dia lantas membuang muka, dia menatap kosong ke depan.
Tatapannya sangat kosong, sebab otaknya sedang berperang dengan hatinya.
Kilasan beberapa saat lalu kembali berputar indah di otaknya, ketika dia memejamkan matanya yang indah.
*
Di taman ini dia bocah tampan dengan tas biru muda di punggungnya menatap penuh harap ke arah jalanan, menantikan seseorang yang sudah lama dia rindukan.
"Mama, Ken. Di sini," katanya pelan. Senyumnya sangat manis, matanya bulat, bernetra abu abu, dengan bulu mata lentik dan alis yang tebal.
Bibirnya ranum dengan gigi putih yang tersusun rapi, senyumnya semakin lebar ketika melihat wanita dewasa dengan dress merah terang berjalan mendekati dirinya.
"Mama!" seru Ken melebarkan tangannya menanti sang mama memeluknya hangat.
Namun, alih alih dipeluk. Wanita dewasa dengan lipstik terang itu malah duduk di bangku taman dengan bersedekap dada, senyum Ken sedikit luntur.
Tapi, itu tak banyak. Sebab detik berikutnya dia kembali menebarkan senyum indah, dia berbalik ditatapnya wajah cantik sang mama.
"Ma, Ken. Udah bisa baca dan menghapal perkalian delapan."
"Langsung aja, kenapa kamu mau ketemu sama, Mama?"
"Ken, kagen."
"Bukannya setiap hari kita teleponan, kamu bikin jadwal Mama jadi berantakan."
"Maaf."
"Jangan minta maaf, kamu memang selalu buat semuanya kacau."
*
Kalimat itu yang paling menyakitkan, tanpa sadar KenĀ meneteskan air matanya.
Dia tak sadar kalau dia sedang berada di dalam angkot yang mana banyak penumpang menatap dirinya.
"Eh, Mbak. Anaknya nangis," kata salah satu ibu ibu berdaster sembari menepuk pundak Wiyana.
Wiyana agak terkejut sebenarnya sebab ibu itu menyebut Ken sebagai anaknya, tapi Wiyana tak mau memikirkan hal itu. Dia menatap Ken, Wiyana sedikit tak menyangka Ken menangis dengan mata terpejam.
"Hey, kamu kenapa?"
Melihat Wiyana ingin mendekat, pria yang duduk di samping Ken langsung bangkit. Dia duduk di tempat Wiyana tadi, dan membiarkan Wiyana mendekati Ken yang mereka pikir adalah ibu dari Ken.
Ken menggeleng, dia masih enggan membuka matanya. Wiyana walau kadang tidak waras, tapi dia sangat tidak tegaan. Dia menarik Ken, dan membawa Ken ke pelukannya.
Wiyana menyentuh pergelangan Ken yang memerah.
"Apa tangan kamu sakit, kamu nangis karena ini? Jangan nangis, anak laki laki nggak boleh cenggeng. Tapi, kalau memang sakit banget boleh, kok!"
Ken membeku merasakan pelukan hangat dari Wiyana, dia tak keberatan ikut basah karena baju Wiyana.
***