"Kamu tau gara gara kamu aku harus tinggalin Ken sendirian di taman, kenapa panggilnya mendadak, sih?" seru wanita dewasa yang sangat dicintai Ken.
Dia adalah Dinda Amela, yang tak lain dan tak bukan mama dari Ken. Bocah tampan dengan mata bulat, dan memiliki tatapan yang kosong.
"Kenapa memangnya, apa dia masih penting buat kamu? Bukannya kamu udah tinggalkan dia?"
Pria dengan brewok di wajahnya itu melirik tajam ke arah Dinda, menunjukkan kalau dia tak suka jika Dinda terus mengkhawatirkan Ken yang notabenenya memang anak dari Dinda.
"Dev, mau gimana pun Ken tetap putraku," katanya pelan walau tampak sedikit ragu ragu.
"Ck, sudahlah Dinda. Lupakan bocah itu, bukannya kamu sudah pilih jalan ini?"
Dinda diam beberapa saat, Dev ada benarnya. Dinda sendiri yang sudah mengambil jalan terlalu jauh, maka tak ada gunanya sekarang jika dia menyesalinya kembali.
"Kamu bener, tapi...."
"Udahlah, kamu mau liburan kan?"
Mendengar kata liburan, Dinda langsung mengangguk dua kali. Dia terlihat sangat antusias, ya. Dia meninggalkan Ken di jalan itu seorang diri karena mendapatkan telepon dari Dev yang katakan ingin segera pergi liburan.
***
Sudah hampir setengah jam Wiyana menatap Ken dengan bertopang dagu, mereka duduk di meja makan dengan jarak yang begitu jauh.
"Kenapa nggak dimakan?" tanya Wiyana untuk yang ke sekian kalinya, Ken jadi sepuluh kali lipat lebih pendiam saat sebelum dia menangis.
Itulah Ken, dia sebenarnya cenggeng jika sudah menyangkut mamanya yang tak peduli padanya. Tapi, ada papanya yang tegas yang terus saja menekankan padanya kalau dirinya tak boleh menangis.
"Gak laper," katanya pelan.
Seperti yang Wiyana katakan, mereka benar benar berada di kontrakan kecil gadis itu. Dan, tak lupa Wiyana menyediakan makanan dengan lauk nasi dan ikan bagian ekor jatahnya nanti malam untuk Ken. Tapi, tampaknya Ken tidak berminat menyentuh makanan yang dia masak.
"Loh, kok. Bisa?"
Ken mengangkat ke dua bahunya cuek cuek bebek, dia bahkan menatap datar ke arah Wiyana.
"Ck, kamu ini aneh banget."
Dahi Ken berkerut, bocah berusia sebelas tahun itu sebenarnya ingin bertanya aneh apanya. Tapi, dia tahan sebab dia enggan terlalu banyak berinteraksi dengan Wiyana yang mana masihlah orang asing baginya.
"Aku mau pulang," katanya.
Wiyana menaikkan ke dua alisnya mendengar penuturan Ken itu, lantas dia melirik ke arah pintu. Meja makan dengan pintu keluar masuk jaraknya tak terlalu jauh.
"Di luar masih hujan, kamu mau pulang naik apa. Lagian di sini dulu sebentar sampai hujan reda dan makan ikan, kan. Jarang jarang kamu makan ikan," sela Wiyana lagi.
Dia berlagak dermawan memberikan Ken yang dia kira gelandangan makanan, ya. Walaupun itu adalah makanan jatahnya. Tak apa Wiyana akan mengalah, itu bukan suatu masalah besar.
"Aku ngg--"
"Ck, aku lupa. Tangan kamu masih sakit, ya? Ya, udah biarku suapin, ya?" tawar Wiyana dengan semangat empat lima.
Ken tak menjawab, dia tak setuju dan tak juga menolak. Lantas tanpa basa basi, gadis itu langsung berpindah duduk di samping Ken.
Wiyana ambil piring Ken yang masih utuh, bahkan nasi dan ikannya sudah kembali dingin padahal tadi sudah dia panaskan.
"Ayo, aaaa!" seru Wiyana, dia turut membuka mulutnya memberikan Ken perintah untuk mengikuti apa yang dia lakukan.
Wajah Ken sontak berkerut, dia tak pernah disuapin sejak kecil. Maka, dapat suapan dari orang asing yang tampak aneh seperti Wiyana sontak membuat dia sedikit merasa aneh.
"Nggak mau!" tolak Ken sembari mendorong sendok yang sudah melayang di udara itu.
"Ishhh, kok. Enggak mau, ini enak. Banyak gizinya, ayo aaaa!"
Ken menggeleng, dia menutupi rapat mulutnya dengan ke dua tangan.
Wiyana menghela napas, dia tak menyangka kalau Ken menolak makanan darinya.
"Astaga, siapa nama kamu?".
"Ken," jawab Ken cepat masih dengan mulut yang dia tutup rapat.
"Nama kamu bagus, cocok sih buat kamu yang ganteng. Tapi...." jeda Wiyana sukses membuat Ken penasaran.
Bocah itu menurunkan tangannya, dia menatap Wiyana dengan begitu polos seakan bertanya tanya apa kelanjutan dari kalimat gadis itu.
"Tapi apa?"
Wiyana tersenyum penuh maksud ketika melihat Ken bicara, secepat kilat dia menyuapkan satu sendok makanan ke mulut Ken.
Ken membesarkan matanya, hampir dia kembali melepehkan makanannya. Tapi, buru buru Wiyana menutup bibir Ken rapat dengan jeri telunjuknya dia letakkan di bibir ranum bocah itu.
"Jangan dibuang!" tegasnya, alis Ken menyatu. Mulutnya yang sudah terlanjur penuh dengan makanan terpaksa mengkunyah.
Wiyana tersenyum bangga pada Ken, lantas dia menepuk puncak kepala Ken dua kali. Ken melirik tangan Wiyana, wajahnya cemberut karena perbuatan Wiyana yang tak jelas.
"Tapi apa tadi?" imbuh Ken masih penasaran dengan kelanjutan kalimat Wiyana, Wiyana tersenyum simpul. Dia kembali menyuapkan makanan ke Ken, kali ini Ken tak menolak.
"Tapi, sayang. Kamu gelandangan," lanjut Wiyana sukses membuat Ken terdesak makanan.
Wiyana sigap langsung memberikan air putih ke Ken, Ken buru buru menenguk sampai airnya tandas tak bersisa.
"Siapa bilang aku gelandangan?"
"Hah?" tanya Wiyana tak paham ke mana arah pembicaraan Ken.
"Aku bukan--"
"Udah makan lagi, nanti kalau udah pulang kamu nggak bakal bisa makan ikan goreng lagi!" seru Wiyana, dia kembali menyuapi Ken dengan cepat.
Walau sebenarnya kesal dengan tingkah Wiyana, tapi Kan tetap menelan makanan itu. Wiyana memang menyebalkan, tapi dia tampak tulus.
***
Di perusahaan raksasa itu, tampak pria berbaju serba hitam dengan kacamata hitam bertengkar di batang hidungnya bejalan dengan tergesa menuju lift.
Wajahnya begitu tegang, tapi ke dua tangannya saling meremas satu dengan yang lain. Dia hanya sedang mengkhawatirkan nasibnya setelah dia memberikan kabar buruk pada bosnya prihal kelalaiannya.
Tak butuh waktu lama, pria itu sampai di depan ruang rapat dia menelan ludahnya susah payah.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita yang tak lain dan bukan adalah karyawan di perusahaan itu, dia bertugas untuk memastikan rapat berjalan lancar tanpa gangguan orang luar.
"Saya mau bertemu Pak Haidar," katanya.
"Ada apa?"
Wajah wanita itu menegang, dia mengangguk dua kali setelah mendengar apa yang pria itu katakan. Tanpa permisi dia masuk ke ruang rapat.
Ruangan bercat putih gading yang begitu luas berisi puluhan orang langsung menatap ke arah karyawan yang membuka pintu, pimpinan rapat kali ini adalah sang bos.
Dia menoleh dengan tatapan tajam, wajahnya begitu datar. Karyawan itu tau dia melakukan kesalahan, tapi apa boleh buat ini berita penting yang harus dia sampaikan.
"Maaf, Pak."
"Kamu tidak lihat saya sedang rapat?"
"Tapi, pengawal putra, Bapak. Datang ke mari dan dia bilang Ken menghilang," katanya dengan satu tarikan napas serta kepala tertunduk dalam.
Haidar membesarkan matanya, tanda kalau dia terkejut. Tapi, itu hanya bertahan selama beberapa detik. Sebab tak lama setelahnya dia kembali tenang.
"Keluarlah, setelah rapat ini selesai saya akan memberikan perintah!" katanya lagi kelewatan santai.
Sementara orang orang yang berada dalam ruang rapat itu menatap pimpinan mereka dengan tak percaya.
"Pak, kita bisa tunda rapat ini. Bukannya putra, Bapak. Harus segera ditemukan?" sela salah satu karyawan yang merasa iba pada putra bos mereka.
Netra abu abu Haidar menatap ke arah karyawan yang bicara, sontak saja karyawan itu langsung menundukkan pandangannya.
"Saya sudah katakan, setelah rapat selesai saya akan memberikan perintah. Ken menghilang itu bukan suatu masalah besar, dia putra seorang Haidar Saadi Adityawarman. Dia juga seorang pria, dia harus bisa melawan dunia saat papanya sedang sibuk," imbuh Haidar terdengar sangat tak berperasaan pada putranya sendiri.
"Apakah saya salah?" lanjutnya masih menatap tajam karyawan yang sudah menunduk.
"Tentu saja tidak, Pak!" katanya, mau bagaimana lagi. Jika, dia katakan Haidar salah pasti akan menjadi bencana baginya.
***